Aku Pendidik Indonesia: Ada Jiwa Anak Yang Abadi di Manusia

0
Share

Self-Educated

SELF-EDUCATED

Belajar itu pada dasarnya muncul dari Inisiatif sendiri, atau Keinginan sendiri. Untuk peserta didik usia belasan, Inisiatif ini lebih mudah ditangkap dan dikomunikasikan. Namun, untuk peserta didik yang masih duduk di bangku sekolah dasar, bahkan sebelumnya, konsep Self-Educated ini kita pahami demikian: Peserta Didik diajak untuk mengungkapkan apa yang dia inginkan terlebih dahulu. Lumrahnya, sejak usia 2 tahun, anak sudah bisa bertindak sesuai apa yang dia inginkan. Aku mau keluar! Aku tidak mau makan ini! Aku mau nonton itu! Sayangnya, pada usia ini, anak belum terlatih untuk mengkomunikasikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Artinya, begitu anak masuk ke lembaga pendidikan. Statusnya berubah menjadi Peserta Didik. Maka, baik kiranya selalu diajak untuk menyampaikan apa yang diinginkan.

Prinsip Self-Educated menjadi prinsip pertama yang perlu kita pegang menimbang soal hubungan antara pengajaran dan pengetahuan. Pengajaran itu datang dari luar, eksternal. Sementara, pengetahuan itu datang dari dalam, internal. Dalam sistem pendidikan, alangkah baik untuk menghindari terjadinya: begitu banyaknya hal yang diajarkan, tapi begitu sedikitnya pengetahuan.

Prinsip ini diharapkan menjadi dasar untuk proses pembelajaran a la Student-Centered. Pertama, pusat kegiatan belajar mengajar adalah mengembangkan peserta didik, bukan guru. Kedua, kegiatan transfer pengetahuan tidak dalam pendiktean, melainkan memberi ruang bagi Peserta Didik untuk menemukan definisi atau simpulan dari apa yang diajarkan. Prosesnya bisa lebih lama. Sebab, belasan bahkan puluhan kompetensi ditawarkan dalam silabus resmi pemerintah. Ya harus bisa ini dengan indikator itu – harus bisa itu dengan indikator ini. Kali ini, perlu ada kesepatakan; mana yang menjadi prioritas: (a) Apa yang dipelajari? (b) Bagaimana dia mempelajari?

Frederik Herbart (1776-1841) meyakini bahwa anak ibarat rumah kosong. Beragam konsep dan gagasan masuk. Indikator Pencapaian menjadi salah satu gagasan yang dimasukkan ke dalam rumah kosong ini. Guru memetakan kompetensi A dengan materi A’ agar hasil penilaiannya sesuai dengan indikasi. Proses belajar mengajarnya cenderung: peserta didik pasif, guru aktif. Berbeda dengan gagasan Aristoteles sampai Immanuel Kant, yang meyakini bahwa setiap anak terlahir dengan potensi dan idea innata (ide bawaan), setiap anak memiliki kehendak dan hanya dirinya sendiri lah yang bertanggung jawab terhadap proses pembelajarannya.

Saya menemukan sangkut paut dengan problematika mengapa Students Don’t Like School. Terlalu banyak informasi yang diberikan (dan diajarkan). Atau, dipaksakan untuk diserap, untuk dipikirkan, untuk dihapalkan, dan untuk diresapi. Toh, informasi-informasi tersebut tidak menjadi pengetahuan, sebatas ingatan. Saat peserta didik berhadapan dengan pertanyaan atau soal, bisa jadi dia malah kesulitan untuk merangkai jawaban yang muncul dari sintesa informasi A digabung dengan informasi B setelah diantitesiskan dengan informasi C dan D. Begini, misalnya seorang guru memberikan informasi untuk dicatat (syukur-syukur, dihapal – sebab, istilah CBSA dulu adalah Catat Buku Sampai Abis):

***

Informasi:

1. Kata ganti orang pertama tunggal dalam bahasa Ingris adalah ‘I’.

2. Kata ganti orang ketiga tunggal itu bisa ‘he’ untuk laki-kali, ‘she’ untuk wanita, dan ‘it’ untuk binatang, tumbuhan, atau benda mati.

3. Kata kerja atau predikat kata kerja dalam bahasa Inggris untuk orang pertama tunggal tidak menggunakan tambahan akhir ‘-s’ atau ‘-es’.

4. Kata kerja atau predikat kata kerja dalam bahasa Inggris untuk orang ketiga tunggal selalu menggunakan tambahan ‘-s’ atau ‘-es’.

***

Pertanyaan:

Apa bahasa Inggrisnya (bahasa lisannya begini) ‘Budi bicara bahasa Jawa?

Yang diterjadi di dalam otak sang peserta didik:

Oke, Informasi B itu bukan informasi A. Budi adalah informasi B. Karena Budi adalah informasi A, maka Budi tidak bisa menggunakan informasi C yang adalah lawan dari informasi D. Maka, informasi D berlaku untuk informasi B. Hmmm .. jawabnya dengan bangga seolah-olah baru saja memecahkan teka-teki-tika, “Budi speaks bahasa Jawa.”

Apa yang di benak guru:

Kenapa ‘bahasa Jawa’­nya tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris ya? Ini anak sebetulnya ngerti atau tidak?

Karena kurangnya informasi, atau bisa jadi ada informasi lain yang gagal diingat dan tidak menjadi pengetahuan, maka dia tidak bisa menjawab pertanyaan dengan sempurna. Sempurna menurut takaran siapa? Bagi seorang guru yang biasa-biasa saja, jawaban tadi tidak bisa diberi nilai A. Namun, bagi seorang pendidik sejati, dia memahami upaya si anak untuk mensintesis-antitesiskan informasi untuk memunculkan jawaban, “Budi speaks bahasa Jawa.”

Kecenderungan menyalahkan jawaban tersebut membuat peserta didik merasa usaha Self-Centered’nya tidak dihargai. Dia sudah berupaya merangkai pengetahuan-pengetahuan yang ada di dalam kepalanya. Dia lupa atau tidak tahu bahwa ‘bahasa Jawa’ itu dalam bahasa Inggris, bisa diterjemahkan menjadi ‘Javanese’. Proses-proses penilaian dengan indikator-indikator kompetensi terancam bias. Apa yang guru ajarkan belum tentu menjadi pengetahuan bagi si anak. Jika hal ini berlangsung terus menerus, tak heran jika … (isilah titik-titik ini).

Ketimpangan mulai tampak kala Desirability para peserta didik disalahpahami oleh guru. Untuk mengevaluasi dan mendukung aplikasi dari prinsip ini, maka dibutuhkan falsafah ketiga, yaitu Guru Sebagai Fasilitator. Ini demi Feasibilty: Can we do this?

Pages: 1 2 3 4 5