Aku Pendidik Indonesia: Ada Jiwa Anak Yang Abadi di Manusia

0
Share

Cura Personalis

CURA PERSONALIS

Menimbang bahwa peserta didik terlahir sebagai anak yang berpotensi, berkehendak, dan bertanggung jawab pada proses pembelajaran, maka akan muncul beragam keunikan di dalam praktiknya. Ada yang belajar cukup dengan mendengar. Ada yang butuh bacaan-bacaan klasik (living books). Ada juga yang perlu tugas-tugas tambahan.

Konsep dasar cura personalis didasarkan pada konteks hidup pribadi peserta didik. Tidak lantas memperlakukan peserta didik harus berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini justru akan melelahkan seorang pendidik. Jika terdapat 10 peserta didik, tidak berarti ada 10 bentuk pendampingan.

Nilai dasar yang perlu ditanamkan sebelum mempraktikkan cura personalis adalah dengan membiasakan diri untuk saling percaya. Bukan soal integritas terkait kejujuran, melainkan keyakinan setiap pribadi mampu mendapatkan pengetahuan dari beragam metode pengajaran sejauh diberi tempat untuk mengolahnya dengan cara masing-masing sesuai pengalaman hidupnya.

Misalnya, soal tata bahasa cenderung diajarkan dengan pendekatan deduktif. Kalimat yang baik idealnya disusun pada urutan subjek, predikat, dan objek. Bagi mereka yang tumbuh di daerah Indonesia timur, hal ini menjadi tantangan baru. Bagi mereka yang besar di luar negeri, pun juga sama. Secara sederhana, prinsip cura personalis diterapkan demikian: saat ada peserta didik yang berbicara, ‘Bagus sekali buku ini‘ lantas tidak perlu dibenarkan atau direvisi menjadi ‘Buku ini bagus sekali’. Yang ditekankan adalah bahwa pesan dari kalimat ini tersampaikan, bukan strukturnya.

Rasa percaya ditunjuknya pertama kali dari guru kepada peserta didik. Setelah itu, barulan peserta didik bisa menunjukkan rasa percaya untuk dididik atau difasilitasi, bukan didikte. Bias dari cura personalis memang lantas jatuh pada soal bahwa setiap anak diperlakukan secara berbeda seolah-olah tidak bisa diterapkan skala tunggal atau pendekatan umum. Tidak! Prinsip universalia tetap perlu diajarkan. Tujuannya, agar peserta didik juga belajar menghargai perbedaan.

Jika pendidik memperlakukan 10 anak dengan 10 pendekatan, maka 10 anak akan merasa diistimewakan. Dampaknya, menjadi tantangan apakah mereka akan saling bisa menghargai perbedaan. Untuk membantu menanamkan nilai saling menghargai ini, perlu dibangun suasana pembelajaran yang berbasis komunitas. Maka, penting untuk mendukung terciptanya cura personalis dengan menghadirkan area Community-Based.

Sebenarnya, ini bukan konsep yang asing dalam dunia pendidikan kita. Dalam pramuka, pelajaran olahraga, ekstrakurikuler, atau kerja kelompok, prinsip ini dipraktikkan langsung di lapangan. Sampai, muncul candaan, “Kerja Kelompok: yang kerja cuma 1, yang lain berkelompok (ngumpul numpang ngeksis).”

Maka, sebenarnya sembari dipraktikkan di lapangan, peserta didik perlu diajak berefleksi soal kehidupan berkomunitas. Secara umum, peserta didik sudah tahu dan terbiasa berkomunitas di luar kegiatan sekolah. Misalnya, saat bermain game online pun dibiasakan dalam kelompok. Dalam hal ini, seorang guru hadir untuk membantu pembagian tugas. Pembagian tugas ini didasarkan pada rasa percaya dan observasi.

Pengembangan Communty-Based ini akan membantu luluhnya stereotip-stereotip dalam dunia sekolah, dunia belajar, dunia berpikir. Setidaknya, ada 3 stereotip yang selalu muncul:

#1 Anak pintar adalah yang jago matematika

Malcolm Gladwell, dalam buku Outliers, menemukan bahwa orang Tionghoa memiliki sistem angka yang lebih mudah dipahami. Selain itu, mereka menanamkan semangat kerja keras sebagai hasil dari peradaban ribuan tahun sebagai bangsa agraris. Stanislas Dehaene, dalam bukunya, The Number Sense, memandang bahwa bahasa Tionghoa lebih logis digunakan untuk memahami angka dibandingkan dengan bahasa Inggris. Bagi orang Tionghoa, angka sebelas ditulis dengan pemahaman: sepuluh-satu, angka duabelas ditulis: sepuluh-dua, angka dua puluh empat ditulis: dua-sepuluh-empat.

Selain itu, para ahli melihat bahwa kurikulum pelajaran Matematika (dan Sains) di Asia memiliki corak yang berbeda dengan apa yang terjadi di Barat. Di Asia, murid belajar Matematika dalam kombinasi antara kegiatan yang melibatkan partisipasi murid sekaligus dalam bimbingan langsung gurunya, ditambah latihan soal yang terus menerus. Sementara, di Barat lebih ditekankan kesempatan untuk mencari penemuan baru dan eksplorasi lebih lanjut, daripada sekedar memberikan latihan-latihan soal dan menekankan ketepatan jawaban. Di mata para orangtua, bidang Matematika dan Sains dinilai mampu memberikan peluang pada pekerjaan yang bagus untuk anak-anak mereka. Pekerjaan yang bagus juga berarti tingkat kesejahteraan keluarga yang meningkat.

#2 Anak yang pembelajar adalah yang paling giat menghapal

Di tempat kita, kemampuan anak untuk mengucapkan kata dan menghafal arti kata dengan benar mendapat tekanan. Sementara itu, anak-anak di Amerika Serikat belajar membaca dengan membangun kecintaan pada bahasa. Para orang tua dan guru lalu membangun lingkungan yang membantu anak memperkaya kosakata bahasanya. Selain itu, kecintaan terhadap membaca menjadi tekanan. Amerika Serikat telah berhasil membangun suatu budaya membaca secara nasional. Anak-anak dibesarkan dalam budaya cinta membaca sejak dini. Para pendidik di Amerika Serikat sangat menekankan pentingnya kecintaan akan membaca pada orang tua.

Anak-anak kita cenderung mempelajari bahasa dan dunia literasi dengan menghafalkan kosakata. Di sini, buku tugas dan lembar kerja dari sekolah menjadi penting. Meskipun demikian, kecenderungan ini membuat anak-anak tidak mengerti makna keseluruhan kata: konotasi suatu kata sering kali tidak dapat ditangkap. Makna suatu kata harus dipahami dalam konteks penggunaan kata itu, dalam pengalaman harian yang berulang-ulang.

Di Amerika Serikat, para pendidik lebih menekankan kebebasan membaca untuk membangun kapasitas kosa kata dan kecintaan anak dalam membaca. Membaca suatu bacaan atau buku bukanlah melulu tugas sekolah, membaca demi mendapatkan rasa senang bagi anak-anak. Kemampuan anak dalam membaca adalah proses organik yang berkembang natural seiring bertambahnya usia dan tingkat bacaan seorang anak. Para orang tua di Singapura cenderung khawatir ketika pada usia empat atau lima tahun, anak-anak mereka belum bisa membaca.

Karena sedari mula akrab dengan menghafal, anak-anak Asia dirasa kurang memiliki daya pemikiran kritis. Anak-anak Asia tidak dilatih untuk memiliki pemikiran yang bebas dan terbuka. Hal ini tidak sepenuhnya keliru, meskipun tidak seluruhnya benar. Sistem kurikulum kita dengan penekanan pada hafalan yang lalu diaplikasikan untuk menjawab soal-soal yang memerlukan daya pemikiran kritis ini malahan menjadi dasar untuk sebuah analisis kritis untuk memecahkan soal.

#3 Anak yang suka belajar itu sama halnya dengan pekerja keras

Kehidupan sekolah kita terkenal dengan panjangnya jam belajar. Ditambah, jam belajar harian yang lebih panjang. Selesai dengan pelajaran di sekolah, mereka harus melanjutkan belajar di tempat bimbingan belajar (bimbel). Anak-anak yang dididik dalam budaya Barat cenderung dituntut untuk mampu belajar sendiri. Terjadi pergeseran paradigma dalam kegiatan belajar mengajar dalam kelas di Barat. Model pembelajaran “sage on the stage,” yang memandang guru sebagai pusat pengetahuan dan ilmu, telah berganti model menjadi “guide on the side,” yang memberi tekanan pada fungsi guru sebagai kawan belajar para peserta didik. Dengan demikian, para murid diarahkan untuk mengalami proses pembelajaran dengan lebih personal. tidak adanya kebebasan dalam proses belajar. Anak sudah dibimbing sedemikian rupa sehingga dia akan mengerjakan soal sesuai arahan pembimbingnya. Bimbel dipandang seolah-olah menyuapi anak-anak sehingga mereka menjadi tergantung terhadap orang yang menyuapinya.

Pages: 1 2 3 4 5