Aku Pendidik Indonesia: Ada Jiwa Anak Yang Abadi di Manusia

0
Share

Sebuah Mentalitas: Menghadapi Kegagalan

Aku Pendidik Indonesia Sebuah Mentalitas Menghadapi Kegagalan

Salah satu tantangan terbesar bagi orang tua anak-anak Abad XXI adalah bagaimana membentuk anak menjadi pribadi yang tangguh. Orang tua anak-anak Asia sekarang ini bisa dikatakan mengalami kekhawatiran yang cukup besar tentang anak-anak mereka. Pendidikan dipandang sebagai jalan untuk meraih kesuksesan dalam dunia kerja dan kehidupan sebagai orang dewasa. Untuk itulah para orang tua menyiapkan anak-anak mereka jalan terbaik untuk dapat bersaing secara global.

Dalam situasi persaingan yang sedemikian ketat, orangtua perlu mampu mendampingi anak-anak, tidak hanya dalam kesuksesannya, tapi juga dalam kegagalan mereka. Kegagalan merupakan suatu peristiwa yang normal terjadi dalam kehidupan manusia. Manusia barangkali tidak pernah luput dari kegagalan. Namun, kegagalan juga dapat dijadikan satu sarana pembelajaran bagi anak-anak. Demikian, kegagalan dapat pula membawa kekecewaan bagi anak-anak.

Berdasarkan studi Dweck, nampak ada dua macam pola pikir. Pola pikir pertama adalah “pola pikir tetap” (fixed mindset) dan “pola pikir berkembang” (growth mindset).

Pola Pikir BerkembangPola Pikir Tetap
Kemampuan anak bukan suatu proses yang sudah tetap/mandegKemampuan dan bakat anak adalah tetap dan tidak dapat berkembang
Kemampuan anak dapat diasah melalui kerja kerasAnak cenderung melakukan segala sesuatu agar dirinya selalu memilki kesan positif.
Anak disiapkan untuk mampu menghadapi risiko dalam belajar, dan belajar dari pengalaman ambil risiko tersebut.Kegagalan dalam studi adalah cerminan dari kemampuan dirinya sendiri.
Anak dilatih untuk mampu terbuka pada kritik dan saran.Anak takut mengambil risiko dalam belajar karena jika gagal, maka ia akan menghancurkan pandangan positif dirinya sendiri dan pandangan orang lain terhadap dirinya.
Anak diajari untuk tidak takut terhadap kegagalan dan melihatnya sebagai bagian dari proses belajar.Anak marah jika diberi kritikan yang membangun.
Anak dididik untuk percaya bahwa usaha, kerja keras, dan ketahanan pada akhirnya akan membuahkan hasil karena kegagalan adalah pengalaman belajar untuk membantu meraih kesuksesan.Anak takut mengambil risiko dalam hal studi karena memiliki ketakutan akan kegagalan.

Umumnya orang tua Asia cenderung memiliki “pola pikir tetap”, sehingga mereka cenderung menekankan hasil akhir dan membuat anak-anak mereka merasa gagal jika tidak dapat memenuhi harapan dalam studi. Hal ini muncul karena orientasi belajar dalam kultur Asia yang menekankan sistem penilaian angka dan peringkat ranking.

Sementara itu, orang tua di Amerika Serikat sungguh menekankan “pola pikir berkembang”. Meskipun demikian, tidak jarang orang tua di Amerika Serikat lalu jatuh pada kesan terlalu melindungi anak-anak. Mereka meminta guru untuk selalu menggunakan cara positif untuk membangun kepercayaan diri anak. Di Amerika Serikat, anak selalu diperkenankan bertindak berdasarkan keinginan mereka. Hal ini dimaksudkan supaya anak-anak berkembang dalam kebebasan sehingga mereka berani mengambil risiko, mencoba hal-hal baru, berani mengungkapkan apa yang mereka pikirkan, memiliki opini yang original, bahkan menjadi berbeda dari lingkungan mereka.

Lebih lanjut, kegagalan dalam bidang studi cenderung dibebankan pada pundak para guru dan lingkungan tempat anak itu belajar daripada dipahami sebagai tanggung jawab sepenuhnya seorang anak. Sebaiknya, dalam proses belajar anak, kegagalan sebaiknya dilihat sebagai sebuah opsi. Orangtua dan para guru sebaiknya memberikan pemahaman kepada anak bahwa ketika dirinya belajar, ia bisa saja mengalami kegagalan, meskipun begitu ia tetap baik-baik saja. Kegagalan perlu dilihat ulang sebagai sebuah proses yang positif untuk berkembang. Orangtua dan para pendidik layak memberikan dorongan lebih lanjut supaya anak berani mencoba hal baru dan tantangan yang lebih besar.

Penutup: Mencari Keseimbangan

“Tidak semua orang mampu menjadi yang terbaik dalam segala hal. Idealnya emang harus memberikan usaha terbaik namun tidak perlu khawatir jika pada akhirnya gagal.

Perlu dibangun ide kebebasan, membangun minat baca sebagai sebuah kesenangan, anak-anak harus diberi waktu cukup banyak untuk bermain, juga kesempatan untuk bertindak dan berpikir kreatif. Pandangan tentang ujian nasional sebagai bentuk tekanan dan paksaan pada proses belajar anak pun bergeser. Ujian nasional adalah cara untuk mencapai tujuan yang sama antara guru dan para murid, namun juga untuk memastikan seberapa mendalam murid menguasai bahan pelajaran.

Hafalan bukan proses yang sia-sia dalam kegiatan belajar. Menghafal layaknya fondasi yang kokoh dalam bangunan berpikir secara kritis. Pada akhirnya, kita perlu menyadari bahwa saat ini kita sedang mendampingi anak-anak dalam sebuah dunia yang semakin global. Untuk itu, orang tua perlu terbuka pada kultur belajar ‘Barat’ dan ‘Timur’. Perlu adanya usaha untuk mencapai keseimbangan antara kedua kultur belajar ini: baik budaya membaca dan Matematika adalah sama penting, perlunya keseimbangan dalam kebebasan dan struktur yang rapi dalam proses belajar, perlunya mendorong anak untuk mampu mengungkapkan pendapat kritisnya tanpa melupakan kesopanan. Juga, kita perlu memberikan tekanan pada nila-nilai kebaikan dan empati pada anak selain menyiapkan anak-anak yang tangguh dalam menghadapi tantangan hidup di abad XXI.

Sumber Pustaka:

9781472139955 Mindset
LIhat buku
9789798816369 Cinta Yang Berpikir
9780141043029 Outliers
Lihat buku

Artikel ini ditulis sebagai salah satu materi dalam rangkaian program Aku Pendidik Indonesia 2022 yang diselenggarakan dari 10 – 12 Maret oleh Mentari Centre for Teaching Excellence. Sekitar 37n% tulisan ini adalah hasil riset dari teman Periplus, yang dikenal dengan nama Simon Andriyan Permono, seorang AC Milanisti sehati dan sejati.

Pages: 1 2 3 4 5