The Book of Joy

0
Share

Bisakah kesedihan sirna?

Lalu, apakah setelah kita berhasil menemukan sukacita di dalam diri, rasa cemas dan kesedihan akan terhapus dalam kehidupan kita? Pertanyaan ini barangkali muncul di benak kita saat mencoba memahami makna sukacita yang dibicarakan dua pemimpin spiritual paling berpengaruh di dunia ini. Namun demikian, rasanya bukan seperti itu cara kerja sukacita dalam diri kita. Dalai Lama, khususnya, memberi pesan bahwa sukacita tidak serta merta menghapuskan kesedihan dan rasa sakit.

Dalai Lama mengingat apa yang diajarkan oleh guru spiritualnya semasa muda. Sang guru menyatakan bahwa situasi tragis dalam hidup bukan untuk dielakkan. Justru situasi tragis dalam kehidupan hadir untuk dilalui saja. Sebab, ketika kita merasa tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu, justru itulah cara terbaik untuk melampaui saat-saat tragis. Pada akhirnya, Dalai Lama “cuma” berpegang pada prinsip, “rasa sakit tidak dapat dihindari, namun menderita adalah pilihan.” (hlm. 37) Namun, apakah kita menghindar dari penderitaan ketika merasa sakit?

Satu prinsip lalu ditambahkan oleh Desmond Tutu. Sengsara dan kesedihan memang bukan hal yang bisa kita kontrol. Rasa sakit dan penderitaan akan selalu kita alami dalam kehidupan. Di mata Desmond Tutu, itulah bagian dari anyaman kehidupan kita. Kita tidak bisa menghindar saat seseorang menyakiti atau membuat kita menderita. Kadang pula kita ingin membalas rasa sakit atau penderitaan yang kita rasakan. Namun, menurut Desmond Tutu, seiring berkembangnya pertumbuhan spiritual kita akan mampu menerima rasa sakit dan penderitaan.

Rasa sakit dan penderitaan adalah bagian dari kehidupan. Justru, di sisi lain, tidak jarang malahan rasa sakit dan penderitaan merupakan peluang kita untuk bertumbuh secara spiritual.

Rasa sakit dan penderitaan adalah bagian dari kehidupan. Justru, di sisi lain, tidak jarang malahan rasa sakit dan penderitaan merupakan peluang kita untuk bertumbuh secara spiritual. Uskup Agung Desmond Tutu mengambil contoh yang demikian bagus. Contoh itu adalah mantan Presiden Afrika Selatan peraih Nobel Perdamaian, Nelson Mandela (1918—2013).

Uskup Agung Desmond Tutu mengungkapkan bahwa sejatinya Mandela muda saat dijebloskan ke dalam penjara sesungguhnya bisa menjadi seorang pemimpin yang haus darah. Pada saat itu, Mandela adalah ketua sayap bersenjata partai African National Congress. Banyak orang bisa jadi berkata bahwa masa dua puluh tujuh tahun yang dihabiskan Mandela di dalam tahanan adalah pemborosan waktu luar biasa. Namun, menurut Desmond Tutu, masa dua puluh tujuh tahun di dalam penjara bagi Mandela adalah masa yang penting bagi pertumbuhan sisi spiritualnya. Penderitaan yang dialami Mandela mengasah kebesaran jiwanya sebagai manusia. Sebab, Mandela memiliki kesempatan utnuk mendengarkan sisi yang berseberangan dengan ideologi politisnya. Pada prosesnya, Mandela memiliki kepekaan batin yang lebih sehingga mampu melihat mereka yang awalnya musuh politisnya jusa sebagai manusia biasa, yang juga memiliki berbagai ketakutan dan harapan. (hlm. 44)

Hal-hal berat yang membuat kita merasa menderita seringkali memang diperlukan dalam kehidupan. Sebab, tanpa merasakan penderitaan, diri kita tidak akan pernah berkembang dan bertumbuh. Desmond Tutu menambah satu nasihat lagi. “Jika ingin jadi seorang penulis yang bagus, Anda tidak bisa Cuma pergi ke bioskop dan makan coklat bonbon. Anda harus duduk dan menulis, yang memang bisa membuat Anda begitu tertekan, namun tanpa melakukan itu Anda tidak akan mencapai hasil yang bagus.” (hlm. 45)

Pages: 1 2 3