Kekuasaan dalam Sejarah dan Politik: Buku tentang Trauma Kolektif dan  Kekerasan Struktural

0
Share
Buku tentang Trauma Kolektif dan Kekerasan Struktural. Rekomendasi Buku Sejarah

Sejarah, konon, sering dicandrakan sebagai hasil tulisan para pemenang. Kita rasanya tak lagi perlu mendebat adagium ini. Biarkan saja. Toh, kita masih bisa melihatnya, merasakannya, dan menyentuhnya hingga sekarang. Kebetulan juga, isu soal penulisan sejarah juga sedang hangat-hangatnya menjadi perbincangan di republik ini. Namun, tak hendak tulisan ini berkomentar secara khusus soal persoalan yang sedang mengemuka akibat usaha untuk memutakhirkan catatan sejarah bangsa ini. Kita doakan saja usaha baik tersebut menghasilkan buah yang baik juga.

Kembali kepada kalimat pembuka tulisan singkat ini: sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Jika menyelisik lebih dalam, pengandaiannya adalah sejarah kemanusiaan adalah identik dengan konflik. Dalam konflik, selalu hadir dua kutub, pemenang dan pecundang. Alternatif lainnya adalah kesepakatan untuk menjadi pemenang bersama. Namun, adakah pemenang yang benar-benar bisa bersama berdiri sejajar di satu panggung? Kita tahu, jauh di lubuk hati terdalam, kita sama-sama meragukannya. Masalah muncul ketika kita bertanya, dalam sejarah panjang pertikaian yang mengurat-saraf dalam hidup manusia, di manakah letak para pecundang? Apa yang terjadi di dalam kehidupan para pecundang—yang umumnya bukan bagian dari kaum elite? Lalu, bagaimana kita perlu bersikap sebagai manusia saat berhadapan dengan para pecundang dalam pertikaian sejarah, sekaligus sejarah pertikaian ini?

Paul Ricoeur (1913—2005), seorang pemikir berkebangsaan Prancis, pada tahun pembuka milenium ketiga pernah menulis permenungan yang serius, panjang, sekaligus memikat tentang tiga hal sekaligus, yakni ingatan (memory), sejarah (history), dan melupakan (forgetting). Serangkaian kerja intelektual itu kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Memory, History, Forgetting (2006). Di dalamnya, Riceour merefleksikan bahwa ingatan akan masa lalu selalu memiliki dua sisi, yaitu sisi personal—dialami oleh seseorang—dan sisi kolektif—dialami oleh banyak orang. Oleh karenanya, ingatan memiliki titik lemah, karena ia rentan akan distorsi, rekonstruksi, bahkan manipulasi. Dengan demikian, sejarah yang mencoba menjadikan masa lalu melalui metode ilmiah, arsip, dokumen, dan proses verifikasi tidak pernah netral. Sebab, sejarah selalu dipengaruhi oleh sudut pandang tertentu, gaya berbahasa tertentu, dan pola naratif tertentu.

Pada titik inilah, terentang jarak antara sejarah dan kebenaran. Sejarah, tidak lain adalah sebuah representasi atas masa lalu, secara lebih tajam bisa dikatakan bahwa sejarah bukanlah melulu masa lalu itu sendiri, tetapi cara kita menyusun masa lalu melalui narasi. Akibatnya, melupakan bisa bersifat aktif, disengaja. Melupakan bisa dikatakan sebagai pharmakon, sekaligus obat dan racun. Melupakan menjadi racun ketika digunakan sebagai proses penindasan sejarah, misalnya ketika luka-luka sejarah seperti genosida dihapuskan dari daftar bacaan bagi orang-orang muda. Namun demikian, melupakan pun bisa menjadi obat tatkala digunakan dalam proses rekonsiliasi terhadap pihak-pihak yang bertikai dalam pertarungan arus sejarah.

Dalam khasanah kebudayaan Jawa, ada pula satu ungkapan yang nyerempet-nyerempet gagasan tentang lupa dan kekuasaan. Melik nggendhong lali, serakah menggendong lupa. Seniman Butet Kertaradjasa pada akhir April hingga akhir Mei 2024 yang lalu menggelar pameran seni rupa di Galeri Nasional, Jakarta, dengan tema yang sama, Melik Nggendhong Lali. Butet merenungkan betapa kekuasaan, mereka yang memegang kekuasaan, akan mengabaikan hampir segala hal baik, kesantunan; kebaikan bersama; aturan-aturan; rasa malu; hingga moral dan etika. Kekuasaan yang semena-mena melupakan tanggung jawab, bahwa mereka harus dan perlu menjadi pelindung bagi mereka yang terlemah, terkecil, dan terpinggirkan, seperti para korban ketidakadilan para penguasa.

Nah, demi membantu Bibliobesties memenuhi kebutuhan untuk memahami persoalan trauma kolektif akibat keserakahan kekuasaan dan demi mengetahui kompas moral yang mengarah mana yang benar dan keliru, Perimin mencoba memilah dan memilih enam buku. Di dalam daftar pendek ini, Perimin menyodorkan buku-buku nonfiksi terkait dengan seluk-beluk gagasan untuk menjadikan Bumi rumah yang lebih ramah bagi kita semua. Kita semua mafhum, hal ini menjadi kebutuhan mendesak untuk saat ini. Semoga, rekomendasi ini membawa pencerahan dan pengertian yang mendalam untuk menjalani kehidupan.

1. From the Ashes of History

Keywords: Collective Trauma, Political Theory, History of Violence, Social Justice, Reparations, Restorative Justice, Collective Trauma, Populism, Nationalism, International Relations, Political Identities, Armenian Genocide, Black Lives Matter, Mass Violence, Structural Inequalities, Israeli Foreign Policy, American Foreign Policy, Indian Foreign Policy, Political Grievances, Political Cultures

Menggali peran trauma kolektif sebagai kekuatan fundamental dalam politik internasional, buku ini menyajikan analisis mendalam tentang dampak jangka panjang peristiwa kekerasan terhadap kebijakan politik global. Dengan mengkaji tiga kasus sejarah yang relevan, yaitu kebijakan luar negeri India, Israel, dan Amerika Serikat, penulis menunjukkan bagaimana trauma kolektif dapat membentuk struktur kebijakan dan identitas politik bangsa dalam periode yang sangat panjang. Buku ini membahas hubungan antara memori traumatik dan kebangkitan kembali ketegangan politik, yang seringkali terabaikan dalam studi hubungan internasional. Trauma kolektif, yang sering kali tidak tampak atau terpendam selama beberapa generasi, dapat muncul kembali di saat-saat kritis, membentuk kebijakan internasional dan meningkatkan ketegangan antara kelompok politik. Disertasi ini mendorong pemahaman yang lebih holistik tentang kekerasan massa dan konsekuensi strukturalnya yang mendalam terhadap ketidaksetaraan sosial dan keadilan global. 

2. Memory, History, Forgetting

Keywords: Philosophy, History, Memory Studies, Ethics, Phenomenology, Memory, Forgetting, History, Phenomenology, Ethics, Historical Knowledge, Collective Memory, Historical Narrative, Paul Ricoeur, Modern Philosophy, Memory and Identity, Memory and Forgetting, Truth of History, Cultural Memory, Memory Studies, Representation

Bagaimana cara kita mengingat sejarah dan melupakan momen-momen tertentu? Mengapa beberapa peristiwa besar, misal Holocaust, lebih mendalam dalam kesadaran kolektif, sementara yang lainnya, seperti genosida Armenia atau era McCarthy, berada jauh di belakang? Dalam karya monumental ini, Paul Ricoeur mengeksplorasi hubungan antara ingatan dan melupakan, serta bagaimana kedua hal ini mempengaruhi persepsi kita terhadap sejarah dan cara kita membentuk narasi sejarah. Dengan pendekatan fenomenologis, Ricoeur mengkaji bagaimana ingatan akan sesuatu yang telah lewat dapat hadir di masa kini, serta bagaimana sejarah seringkali bergantung pada memori yang terkadang tidak dapat diungkapkan. Bagian terakhir dari buku ini mengajak pembaca untuk merenung lebih dalam mengenai pentingnya melupakan sebagai syarat bagi kemungkinan untuk mengingat, dan apakah ada melupakan yang dapat membawa kebahagiaan, sama seperti ingatan yang membahagiakan.

3. Cultural Trauma and Collective Identity

Keywords: Social Theory, Cultural Studies, Trauma Studies, Sociology, History, Cultural Trauma, Collective Identity, Social Responsibility, Meaning Making Process, Constructivism, Social Narratives, Holocaust, Slavery, September 11, Social Dialogue, Social Groups, Identity Formation, Historical Memory, Trauma Theory, Sociology of Culture, Emotional Responses

Pergeseran pemahaman kita terhadap trauma budaya membuka banyak peluang untuk memahami lebih dalam bagaimana kelompok sosial berinteraksi dengan emosi untuk membentuk identitas kolektif yang kuat. Melalui pendekatan konstruktivis yang mendalam, buku ini menawarkan teori baru mengenai “trauma budaya” dan bagaimana proses penciptaan makna sosial dapat berlangsung melalui dialog terbuka antara berbagai narasi sosial yang bertentangan. Penulis mengungkapkan bagaimana peristiwa traumatik besar, seperti Holocaust Nazi, perbudakan di Amerika Serikat, dan tragedi 9/11, mengubah cara kita melihat tanggung jawab sosial dan membentuk ingatan kolektif. Dengan pendekatan yang aplikatif, buku ini mengkaji berbagai studi kasus yang relevan dan menarik, memberikan wawasan baru mengenai dampak trauma terhadap identitas sosial suatu kelompok. Buku ini sangat cocok bagi akademisi, mahasiswa, dan para pembaca yang tertarik pada kajian sosiologi, psikologi sosial, serta bagaimana sejarah membentuk pola pikir dan identitas kolektif kita.

4. We Don’t Speak of Fear: Large-Group Identity, Societal Conflict and Collective Trauma

Keywords: Psychology, Conflict Studies, Sociology, Social Sciences, International Relations, Collective Trauma, Group Identity, Societal Conflict, Psychoanalysis, Healing, Dehumanisation, Memory, War, Terrorism, Identity, Culture, Law, Justice, Politics, Intergroup Dialogue, Large-Group Psychology, Group Relations, Group Analytic Theory, Historical Trauma, Social Healing, Peace Solutions

Trauma kolektif, identitas kelompok, dan konflik sosial merupakan isu yang memiliki dampak mendalam terhadap masyarakat, mempengaruhi hubungan antar kelompok dan melibatkan generasi yang berbeda. Buku ini menyajikan analisis komprehensif mengenai bagaimana pengalaman traumatik, baik yang bersifat individu maupun kelompok, membentuk dinamika sosial dan interaksi antar kelompok selama bertahun-tahun. Dengan menggabungkan berbagai pendekatan teori dan metodologi dari berbagai disiplin ilmu, buku ini mengeksplorasi bagaimana trauma dapat terwariskan antar generasi dan negara, serta bagaimana hal tersebut menghambat tercapainya solusi damai dalam konflik antar kelompok. Melalui studi kasus global dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Irlandia Utara, Rusia, Israel, Turki, Jerman, Mesir, dan Palestina, buku ini mengajak pembaca untuk memahami keterkaitan antara memori, dehumanisasi, dan identitas dalam pembentukan ketegangan sosial yang berkelanjutan. Penulis menggabungkan teori analisis kelompok, psikologi kelompok besar, serta pendekatan psikodinamis dan ilmu sosial lainnya untuk menawarkan wawasan yang lebih mendalam mengenai penyembuhan trauma dalam skala sosial. Buku ini sangat relevan bagi para akademisi, praktisi di bidang psikologi sosial, dan ilmuwan sosial yang tertarik untuk menggali lebih jauh mengenai dinamika konflik sosial dan proses penyembuhan trauma dalam masyarakat.

5. Cultures under Siege: Collective Violence and Trauma (Publications of the Society for Psychological Anthropology, Series Number 11)

Keywords: Psychological Anthropology, Social Science, Conflict Studies, Trauma Studies, Human Rights, Collective Violence, Trauma, Social Order, Psychoanalysis, Anthropology, Psychological Impact, Global Conflict, Social Dynamics, Human Behavior, Conflict Resolution, War, Victimization, Perpetrators, Interdisciplinary Dialogue, Societal Change, Psycho-Social Effects, Cultural Resilience, Human Rights Violations, Empathy, Peacebuilding, Healing Process

Kekerasan kolektif memberikan dampak yang signifikan terhadap pelaku, korban, serta struktur sosial budaya dalam masyarakat yang mengalaminya. Buku ini menyajikan analisis mendalam mengenai bagaimana peristiwa-peristiwa tragis tersebut membentuk dan mengubah kondisi fisik, psikologis, dan sosial suatu kelompok manusia. Dalam rangka mengkaji fenomena ini, buku ini mengumpulkan esai-esai dari berbagai disiplin ilmu—termasuk antropologi, psikologi, dan psikoanalisis—yang ditulis oleh para akademisi terkemuka dan berdasarkan riset lapangan di berbagai penjuru dunia. Melalui pendekatan interdisipliner, karya ini menyuguhkan perspektif yang provokatif dan terkadang mengganggu, dengan menyoroti sisi gelap manusia dalam konteks kekerasan dan konflik. Meskipun demikian, buku ini juga menawarkan pemahaman baru mengenai cara individu dan masyarakat berupaya berdamai dengan trauma yang ditimbulkan oleh kekerasan kolektif. Pembaca akan diperkenalkan pada dinamika yang lebih luas terkait dengan pengaruh kekerasan terhadap perubahan sosial dan pemulihan psikologis. Buku ini sangat relevan bagi para akademisi, peneliti, dan mahasiswa yang tertarik pada studi tentang trauma, kekerasan, serta perubahan sosial yang terjadi dalam konteks konflik global.

6. Trauma and the Memory of Politics

Keywords: Political Science, rauma, Memory, Genocide, War, Nationalism, Politics, September 11th, Holocaust, Collective Memory, History, Terrorism, Political Systems, Remembrance, Memorials, Museums, International Politics, Social Justice, History of Violence, Political Criticism, Memory Rituals, Political Analysis

Menggali ingatan kolektif terhadap peristiwa-peristiwa traumatis seperti perang, kelaparan, genosida, dan terorisme, buku ini mengajak pembaca untuk memikirkan kembali bagaimana kita mengingat sejarah kelam umat manusia. Dengan menggunakan berbagai contoh dari Perang Dunia, Vietnam, Holocaust, Kosovo, dan peristiwa 11 September, buku ini menyoroti bagaimana praktik memori seperti upacara peringatan, museum, dan monumen dapat berfungsi tidak hanya untuk mengenang, tetapi juga untuk menantang sistem politik yang melahirkan kekerasan tersebut. Ingatan yang dibentuk melalui ritual-ritual ini tidak selalu bersifat nasionalistik, melainkan bisa menjadi alat untuk menganalisis dan mengkritisi ketidakadilan yang terjadi. Buku ini cocok untuk pembaca yang tertarik pada studi tentang politik, sejarah, dan memori, serta mereka yang ingin memahami lebih dalam tentang bagaimana trauma masa lalu masih mempengaruhi dunia kita hingga hari ini. Ideal untuk akademisi, pelajar, serta pembaca umum yang memiliki minat dalam politik internasional, hubungan internasional, dan sejarah.

***

Nah, demikianlah rekomendasi enam buku tentang usaha untuk semakin memahami luka trauma kolektif dari Perimin. Semoga bisa membantu BiblioBestie menjadi penuh sebagai pengarung samudra kehidupan. Salam!

Jika Bibliobesties hendak membaca rekomendasi buku lainnya, temukan di sini!