Metaverse: dalam Praktik Pendidikan Sehari-hari

2
Share
Metaverse dalam Praktik Pendidikan Sehari-Hari

Metaverse, kata yang populer berkat Mark Zuckerberg, ini sebenarnya sudah kita alami dalam hidup sehari-hari. Maklum sajalah, pada 29 Oktober 2021, bos Facebook itu membuat pengumuman penting: Facebook diubah menjadi Meta. Meta inilah yang nantinya, seperti dibayangkan Zuckerberg, bisa menjadi platform bagi semesta Metaverse.

Sebenarnya, konsep Metaverse sendiri konon sudah hadir sejak awal tahun 1990-an. Adalah seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat yang menulis fiksi ilmiah, Snow Crash (1992). Dalam fiksinya, Stephenson menggambarkan sebuah “kota metropolitan virtual”. Di dalam “kota” tersebut, tidak ada hukum yang dapat menciptakan. Jadi, segalanya boleh dilakukan. Protagonis fiksi ilmiah ini, Hiro Protagonist, seorang peretas internet, ingin menjadikan semesta Metaverse sebagai tempat di mana segala yang ideal menjadi kenyataan.

Setelah lebih dari dua-tiga dekade, konsep Metaverse hadir secara nyata dalam dunia gim video. Gim-gim seperti The Sims, Roblox, Mincraft, hingga Sandbox sebenarnya mengimplementasikan gagasan Metaverse. Dalam gim-gim itu, kita sebagai pemain dapat berinteraksi dengan para pemain lain di segala penjuru dunia. Interaksi di dunia virtual ini terjadi melalui perwakilan diri kita yang lazim disebut avatar.

Masa pandemi Covid-19 yang telah berjalan hingga tahun ketiga sekarang ini mendisrupsi segala aspek kehidupan. Dunia pendidikan juga terdampak luar biasa. Ruang-ruang belajar yang sebelumnya penuh para peserta didik menjadi lengang. Hampir semua kegiatan belajar-mengajar beralih ke ruang-ruang virtual. Wacana model pembelajaran virtual dan hibrida di Indonesia menjadi lebih cepat realisasinya.

Menyadari keberadaannya yang akan berdampak pada generasi muda yang akan datang, rasanya kita perlu memberikan informasi terkini soal Metaverse. Hal lain yang sangat krusial adalah kenyataan bahwa Metaverse, sebagai entitas teknologi yang relatif baru, untuk saat ini belum terlalu dipahami dengan baik. Singkatnya, Metaverse masih “mengawang-awang”, dan oleh sebab itu, perlu usaha “membumikan” konsep ini dalam kehidupan dan bidang pendidikan sehari-hari.

Insyaf akan bermacam perubahan yang terjadi dalam banyak aspek kehidupan sekarang ini, Periplus mencoba merespons. Kami ingin mengajak para pecinta buku untuk mendengar beberapa gagasan tentang Metaverse. Kita akan mencermati gagasan-gagasan tentang Metaverse dari kaca mata beberapa orang. Yang pertama, akan hadir seorang wartawan senior dari media nasional, Andreas Maryoto. Di lain sisi, akan hadir Hugo Indratno, seorang pendidik muda yang memiliki perhatian pada dunia teknologi. Keduanya akan “beradu” gagasan dan ditengahi oleh seorang profesional dalam bidang bisnis, AC Mahendra K. Datu. Selain para “senior” di atas, ada pula suara dari dua orang digital natives, Mischka Aoki dan Devon Kei Enzo. Sepasang kakak beradik ini adalah pelajar berprestasi yang telah meraih puluhan medali Olimpiade Internasional di bidang matematika dan sains. Mereka juga sudah mencetak rekok MURI.