Bijaksana Bukan Bajaksana atau Bajaksini

1
Share

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya jelang penghujung Mei, Tere Liye mencak-mencak di laman media sosial. Keras dan makjleb! Seperti biasa, ada koalisis dan oposisi yang muncul sebagai warriors, baik ulung maupun amatir, baik pecinta buku part time atau full time. Tidak menutup kemungkinan mereka yang lagi epic-war pembajakan buku ini adalah sesama penulis, pihak penerbit, redaksi, percetakan, pegiat literasi, pembaca budiman, pembajak buku itu sendiri, sampai abang tukang bakso yang selalu mangkal di depan gerbang penerbit. Semua ambil bagian dalam perhelatan akbar yang sebenarnya bisa diprediksi tiap kali Hari Buku.

Bukan, Perimin bukan mau ngomong soal gaya bicara atau diksi yang digunakan oleh Tere Liye. Sebagian ada di pihak pro, sebagian lagi ada di pihak kontra. Lumrah. Tetapi, coba deh, kita tarik selangkah ke samping untuk ambil jarak dari prahara yang terjadi ini. Dengan begini, kita akan bisa lebih jelas dan jauh dari bias untuk mengambil posisi mencecap peristiwa lalu mengambil makna darinya.

Ilustrasi pembajakan
Illustasi pembajakan: freepik.com

Frankfurt: tragedi pameran dan pembajakan buku

Siapa yang tidak pernah dengar Frankfurt Book Fair. Pentas pameran buku terakbar dan termashyur selama 5 abad terakhir ini pernah memiliki luka serius terhadap pembajakan. Melansir dari tulisan Ronny Agustinus (tirto.id/29 November 2019), Werthers karya penulis besar sekaliber Herr Goethe pun pernah dibajak setelah bookfair ini digelar di pungkasan 1744. Bagi Goethe, pembajakan ini membuat lemak dalam mangkuk supnya tidak banyak.

Pengalaman itu membuat Goethe marah besar. Ia menuliskan artikel yang sangat menohok bagi para pembajak buku. Baginya, pembajakan ini adalah perampokan atas hidupnya sehingga membuat—diri dan karya—nya seakan-akan “sudah mati”. Pungguk merindukan bulan, gerundelannya tidak mendapat jawaban dan niatan baik dari para pembajak. Cetakan-cetakan KW tetap mendapatkan tempat di pasaran.

Tidak hanya Goethe, Tere Liye dan penulis nasional maupun internasional juga merasakan dan melakukan protes yang sama!

Ya kalau mereka tidak mencak-mencak seperti itu, para pelaku perbukuan menurut Undang-undang Sistem Perbukuan Nomor 3 Tahun 2017, antara lain penulis, editor, ilustrator, penata letak, termasuk pihak penerbit-percetakan, tidak akan mendapatkan imbalan atau upah atas karya dan jasanya. Ingat, mereka (para pelaku perbukuan) tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan fotosintesis!

Di saat yang sama pula, era disinformasi makin menjadi-jadi. Kebebasan berpendapat pun makin mendapatkan ruang salah kaprah yang makin luas, bahkan batas merupakan sangsi. Situasi ini yang membuat para pembajak mendapatkan zona nyaman dan alibi untuk tetap memperjuangkan kegiatan yang membunuh kreativitas pelaku perbukuan.

Bisa jadi pula, prinsip para pembajak buku ini seperti para trader saham, baik gorengan atau bukan, yaitu high risk, high return. Mungkin risiko diciduk para pegiat kesehatan ekosistem literasi, dituntut penerbit di meja hijau, sampai disumpah serapah terkena azab keluar kutu buku dari daun telinga atau hidung terjepit kamus John M. Echols dan Hashan Shadily dianggap sepadan dengan pemasukan yang didapatkan. Inilah salah satu usaha membangun swasembada dan ketahanan pembajakan mereka.

Mengikis mata rantai pembajakan

Tidak dapat dimungkiri, mata rantai ini tidak berujung pada pelaku pembajakan saja, namun juga masih konsumen. Transaksi mereka menjadi faktor penentu dalam keberlangsungan siklus ekonomi mikro ini. Bisa dikatakan bahwa dependency ratio antara pembajak, penjual, dan pembeli ini sangat tinggi. Jangan-jangan, secara tidak langsung elite pembajakan ini sudah membuat sistem yang berkelanjutan. Semoga ini hanya asumsi yang tidak menjadi fakta.

Nilai yang ditawarkan selain isinya yang menjiplak buku aslinya adalah harga yang pasti lebih murah. Seluruh umat manusia di segala penjuru bumi pasti terlena ketika mendapatkan informasi harga “murah”, apalagi gratis!

Untuk mulai mengikis rantai syaiton ini, yang paling harus diusahakan adalah menumbuhkan awareness dari hulu hingga hilir. Pertama, para pelaku, sindikat, atau bahkan mafia yang mengusai dunia pembajakan buku harus segera ditertibkan. Tentu saja, persoalan di belakangnya pasti lebih kompleks terkait harkat hidup dan perut orang dan keluarga yang terlibat. Namun, berada di situasi dilematis bukan pilihan. Keputusan tegas harus dibuat.

Ingat, mereka (para pelaku perbukuan) tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan fotosintesis!

Usul saja, mereka dibimbing dan dialihkan sebagai kurator buku di Youtube atau podcast di anchor.fm. Bookvloger juga bisa beradu-tanding dengan foodvloger. Mamen-mamen buku bisalah! Bisa juga tetap di lingkaran percetakan, namun di bidang kardus aqiqah, sunatan, online food, atau kardus masker yang saat ini sangat dibutuhkan. Kalau mau tetap menerbitkan buku, ya daftarkan diri di IKAPI, biar legal dan engga jadi bahan rerasan banyak orang!

Kedua, membangun kesadaran pecinta atau pengguna buku untuk mencintai buku yang asli dan selangkah perlahan meninggalkan pembajakan. Sebenarnya, para pembeli ini sudah memikirkan imbas dari pembelian buku bajakan. Situasi tertentu yang dibarengi himpitan ekonomi pasti jadi kambing hitam untuk tindakan yang diambilnya. Semoga tidak merasakan buku nikah bajakan~

Akhirulkalam, para pemilik lapak atau abang fotocopy sebagai ujung tombak penjualan buku, harus berani mendeklarasikan: “Kami tidak menjual buku bajakan atau melayani penggandaan buku yang memiliki hak cipta!” Menjual buku yang asli pasti lebih barokah. Kalau pun belum bisa, jual saja buku bekas yang asli, melalui “e-migrasi” ke daring atau berinovasi di luring!

Marilah kita dengan penuh khidmat dan bijaksana turut andil dalam mengembalikan lagi kesehatan ekosistem literasi.