KBM Daring: Untung atau Buntung?

0
Share
Pembelajaran Daring

Pada hari Senin (26 Juli 2021) lalu Tyas kelihatan begitu excited. Pagi-pagi dia sudah mandi sendiri. Dikenakannya pakaian favorit untuk hari pertama back to school. Untunglah sekolahnya tidak terlalu kaku mengenai pakaian (seragam).

Sudah beberapa hari sebelumnya Tyas mengharap-harapkan hari pertama tersebut. Mungkin mulai bosan setelah lebih kurang 3 minggu liburan-sekolah. Pada hari pertama itu dia merasa lebih besar karena secara resmi menjadi siswi kelas dua Sekolah Dasar. Dia punya guru-guru baru, juga teman-teman baru.

Di sekolahnya, Kelas 2 dan 3 sengaja dicampur menjadi satu kelas. Bisa dibilang, metodenya semi-Montessori. Tujuannya, mereka yang lebih besar (Kelas 3) ada kesempatan untuk mengajari adik-adik mereka (Kelas 2). Selain mengasah kepedulian, cara tersebut sangat sejalan dengan formula ini: cara belajar yang paling cepat adalah dengan mengajar orang lain.

Pada Tahun Akademik yang lalu (2020-2021), kala itu masih di Kelas 1, Tyas menjalani kelas daring (dalam jaringan) sepanjang tahun. Bahkan sejak kwartal terakhir di Taman Kanak-Kanak, ketika pandemi Covid-19 mulai merebak, sekolah menjadikan pembelajaran online sebagai sarana Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).

Pro-Kontra Daring

Banyak yang menyambut KBM daring tersebut, utamanya anggota Generasi X, Y dan Z. Ini kelompok pertama. Tapi rupanya tidak semuanya siap dan suka dengan cara pembelajaran seperti itu. Mereka lebih suka pembelajaran tatap-muka. Mereka di sini bisa berarti guru, bisa juga orangtua. Ini kelompok kedua. Masing-masing memiliki alasan yang sah.

Kelompok kedua sangat berharap dan berandai-andai agar pembelajaran tatap-muka bisa segera dijalankan. Atau, sebagai komprominya: hybrid! Artinya, sebagian KBM dilakukan daring, sebagian lagi dijalankan tatap-muka. Waktu dijadualkan. Peserta diatur. Yang penting Protokol Kesehatan diterapkan.

Sempat ada wacana bahwa pembelajaran hybrid bisa dilakukan di awal Tahun Akademik 2021-2022 ini. Namun karena trend Covid-19 dengan varian Delta cenderung meroket, Pemerintah, Sekolah maupun Orangtua dipaksa untuk bersikap realistis. Hybrid belum dimungkinkan. Rem darurat cepat ditarik. Pemerintah menerapkan PPKM Level 3 dan 4. KBM pun kembali full daring, setidaknya sampai waktu dirasa aman untuk tatap-muka.

Menarik juga untuk menilik alasan-alasan mereka yang “keberatan” (berkepanjangan) terhadap pembelajaran daring. Mereka tetap menjalankan KBM online, namun lebih karena dipaksa oleh keadaan. Dalam hati, mereka menyalahkan pandemi yang membuat proses Pendidikan kacau-balau.

Mari kita lihat beberapa isu yang biasanya muncul.

Teknologi

Teknologi Pembelajaran Daring

Tidak semua orangtua dan/atau sekolah mampu menyediakan sarana pembelajaran digital. Kalaupun bisa, tidak semua siap “bermain” dengan komputer dan/atau gawai. Infrastruktur jaringan internet juga belum optimal di banyak wilayah. Sinyal masih Senin-Kemis. Kalau pun ada gawai dan sinyal, masih ada keterbatasan kuota internet yang bisa disediakan. Lain kata, alokasi dana untuk belanja pulsa menjadi membengkak. Umumnya, poin-poin ini yang mengemuka.

Namun, suka atau tidak, kita tidak mungkin menghentikan laju perkembangan teknologi, bukan? Dunia sudah lebih terkoneksi dalam jejaring melalui internet. Internet menjadi sarana mengenal dunia. Mesin Pencari (search engine), ragam Pelantar (platform), e-Library dan aplikasi media-sosial de facto telah menjadi sarana pembelajaran yang efektif dan efisien.

Interaksi Sosial

Pentingnya Interaksi Sosial

Beberapa ahli mengkuatirkan bahwa ketika anak tidak lagi bertemu dengan teman lain secara langsung (fisik, tatap muka) maka aspek sosialnya kurang berkembang. Dunia virtual dianggap sebagai dunia imajiner. Mereka membangun relasi dan komunikasi dengan ‘dunia’ yang tidak nyata.

Mungkin itu ada benarnya. Tetapi bahkan ketika secara tatap-muka kita menjalin relasi dan komunikasi dengan orang lain, bukankah kita pun sesungguhnya ber-relasi dan ber-komunikasi dengan sosok yang kita bayangkan di pikiran kita? Lantas apa bedanya?

Barangkali psikologi suatu saat akan membantu mencerahkan. Dibutuhkan waktu minimal satu generasi untuk mengadakan riset serius yang berkelanjutan. Sementara menunggu riset selesai, kita ngapain?

Rasanya lebih bijak apabila membangun jejaring secara positip. Generasi muda lebih merasa sebagai warga dunia global. Dalam jejaring mereka saling menyapa dan saling mendukung. Bila ada inisatif untuk menghambat global warming atau melindungi binatang-langka, misalnya, banyak anak muda yang ambil bagian mendukung.

Fleksibilitas

Guru mengajar dengan protokol kesehatan

Ada beberapa aktivitas pembelajaran yang harus dilakukan secara bersama-sama (sinkronus). Guru bisa kehabisan waktu jika harus selalu memastikan bahwa semua murid hadir secara virtual. Apalagi kalau anak kurang ada motivasi untuk belajar. Singkatnya, kontrol atas disiplin anak serta manajemen kelas menjadi terhambat.

Tiap masalah selalu ada pemecahan atau jalan keluarnya. Untuk setiap konteks sebaiknya selalu kita kerucutkan pada tujuan yang mau dicapai apa. Seberapa mutlak sesuatu mesti dijalankan sinkronus, ini perlu dilihat ulang.

Terhadap sesuatu yang menarik, umumnya anak akan excited dan tertarik. Bila anak tampak bosan atau kurang gairah, perlu dicari tahu kenapa-nya. Kalau gaya pembelajaran adalah kuliah-mimbar yang lalu hanya dipindahkan secara daring, pasti sangat membosankan. Tetapi bila ada unsur gamification, mungkin anak menjadi lebih tertarik karena ada unsur fun tetapi juga menantang.

Justru karena pembelajaran daring, fleksibilitas menjadi lebih dimungkinkan. Anak tidak terikat waktu dan tempat untuk belajar. Sebuah sekolah di bilangan Kelapa Gading (Jakarta) mendapatkan murid dari Thailand dan Philippines ketika menjalankan Summer Program.  Sekitar satu kilometer dari sekolah tadi, sebuah Lembaga Kursus memeroleh beberapa murid justru dari luar Jabodetabek.

Kredibilitas

Orangtua terlibat dalam proses pembelajaran daring.

Tidak sedikit orangtua memindahan anak-anak mereka dari sekolah Internasional (SPK) ke yang Nasional. Alasannya? KBM daring membuat perbedaan antara sekolah bertaraf Internasional dengan yang Nasional menjadi lebih tipis. Kalau LMS (Learning Management System) yang digunakan saja sama, kenapa harus membayar lebih mahal? Buat orangtua, kalau sama-sama kredibel, lebih bijak memilih yang SPP-ya lebih ekonomis. Tidak perlu gengsi. Itu hak orangtua.

Untuk tingkat Pendidikan yang lebih tinggi kerapkali ada pertanyaan demikian: apakah perusahaan akan menerima ijazah atau sertifikat yang diperoleh secara online? Sejauh Lembaga penyedia sertifikat tersebut memiliki kredibilitas, tidak perlu kuatir. Banyak perusahaan yang lebih mengedepankan skills. Yang penting (calon) karyawan bisa melakukan tugasnya dengan baik. Memang ada yang memberikan disclaimer juga bahwa kalau terbukti bahwa ijazah/sertifikat palsu maka yang bersangkutan siap dipecat. Ini sudah soal integritas.

Untung atau buntung?

Pada hari pertama back to school Tyas bertemu dengan guru dan teman-temannya yang baru secara virtual. Saya kurang tahu apakah KBM daring menjadi kebuntungan atau keuntungan baginya. Barangkali ada yang melihatnya sebagai kebuntungan. Menurut mereka, pembelajaran seutuhnya itu hanya bisa dilakukan secara tatap muka. Mungkin.

Tetapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada 10 atau 20 tahun mendatang. Dunia begitu cepat berubah. Konteks kehidupan pasti akan jauh berbeda. Jangan-jangan justru karena sudah terbiasa dengan dunia virtual sejak dini, kelak Tyas dan generasinya menjadi insan yang lebih well-equipped dengan aneka skills yang dibutuhkan untuk era mereka. Semoga.