Kamus, khususnya yang berbahasa Inggris, sudah menjadi bagian hidup saya. Saya tidak malu mengakuinya. Bahkan, hingga saat ini, sesekali saya masih suka membolak-balik halaman-halaman kamus yang saya miliki. Mengapa dan bagaimana saya bisa “akrab” denganya? Baik, saya akan bercerita dengan senang hati.
Perkenalan dengan kamus
Semasa kecil, saya selalu senang saat diajak ke toko buku. Kesenangan ini “ditularkan” oleh paman yang adalah seorang guru. Maklum saja, paman mengajar di kota kecil di Jawa Tengah, Blora, sementara saya tinggal di Ibukota Jawa Tengah, Semarang. Saat mengunjungi saya, rasanya paman juga ingin meng-update bahan bacaannya sebagai pengajar.
Nah, sembari paman saya melihat-lihat bahan-bahan bacaan yang diperlukannya, mata saya biasanya tertumbuk pada rak-rak yang berisi referensi: peta dan kamus. Lalu, Mengapa saya menggemari keduanya? Jawabannya sederhana saja.
Pertama, peta selalu memiliki gambar bentuk dan warna. Belum lagi globe yang berbentuk bola berhias wilayah geografis berwarna-warni: lautan, gurun, pegunungan, dan sebagainya. Yang kedua, kamus menarik bagi anak kecil seperti saya dulu karena bentuknya yang tebal. Di benak seorang bocah, saya membayangkan betapa hebatnya orang dewasa yang mampu membaca buku setebal itu.
Kamus “kue lapis warna-warni”
Setelah lulus dari SMP, saya masuk ke SMA berasrama. Di SMA ini, masa pendidikan berlangsung selama 4 tahun. Tahun pertama yang merupakan masa persiapan kami belajar kurikulum khusus dan tiga tahun selanjutnya kami belajar kurikulum layaknya SMA lain. Satu penting yang masuk ke dalam daftar kebutuhan pokok untuk belajar di SMA adalah kamus bahasa Inggris.
Maka dari itu, saya lalu bersentuhan dengan kamus bahasa Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris paling populer di Indonesia, Kamus Inggris Indonesia dan Kamus Indonesia Inggris karya John M. Echols dan Hassan Shadily. Keduanya secara fisik gampang diingat. Warnanya mirip dengan kue bolu lapis, warna-warni. Inilah yang membuat keduanya sangat menonjol saat ditaruh di rak buku atau meja belajar.
Sebenarnya, saya sendiri penasaran siapakah John M. Echols dan Hassan Shadily penulis kamus paling populer di negeri ini. Baru belakangan ini saya tahu bahwa John M. Echols dan Hassan Shadily adalah pasangan pengajar-mahasiswa di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat. Sejatinya, Hassan Shadily pernah menjadi mahasiswa di Jepang pada 1944—1947.
Pada 1952, Hassan Shadily berkesempatan mendapatkan beasiswa Fullbright dan meneruskan belajar sosiologi di Universitas Cornell. Jamak diketahui pula bahwa Universitas Cornell adalah kampus yang memiliki reputasi mencetak Indonesianis. Di sanalah Hassan Shadily bertemu dengan John M. Echols yang mengajar bahasa Indonesia. Keduanya lalu menyusun kamus Indonesia-Inggris dan terbit pada 1961 dan dilanjutkan dengan menerbitkan versi Inggris-Indonesia pada 1975.
Kamus “sakti” 3000 kata
Karya John M. Echols dan Hassan Shadily yang sampulnya mirip “kue lapis warna-warni” rupanya menjadi pintu masuk ke kamus lain. Tahun pertama di masa persiapan sebelum masuk kurikulum SMA, pelajaran bahasa Inggris dibagi menjadi tiga fokus: vocabulary, conversation, dan grammar.
Menariknya, pada mata pelajaran bahasa Inggris dengan penekanan pada vocabulary, ada tes checking vocabulary. Masing-masing siswa diberi kamus kecil berisi 3000 kata yang fisiknya kecil dan tipis. Setiap hari Sabtu, guru kami akan memberikan tes untuk mengecek kemampuan kami menghafal kosakata bahasa Inggris. Setelah mengerjakan tes kosakata, guru kami akan memberi tugas menghafal antara 100—150 kosakata bahasa Inggris untuk diujikan minggu depannya.
Karena ujian kosakata rutin ini, maka Jumat malam adalah menjadi “hari suci” bagi kami. Pada jam studi Jumat malam, kami akan bergelut dengan kamus “sakti” 3000 kata tersebut. Mulanya, saya sendiri sekadar menghafal kata-kata bahasa Inggris. Namun, kemudian saya menyadari bahwa penguasaan kosakata memang dilatih dengan cara menghafalkan artinya.
Dari Inggris-Indonesia ke Inggris-Inggris
Di tahun kedua masa SMA, pengalaman bergaul dengan kamus bertambah. Karena didorong oleh guru bahasa Inggris, maka saya mencoba menggunakan versi Inggris-Inggris. Kamus Inggris-Indonesia pun hanya akan saya buka hanya dalam keadaan “terdesak”.
Saya masih ingat petuah lain dari guru bahasa Inggris semasa SMA. Beliau berpesan kepada kami untuk mencoba memberanikan diri membaca buku berbahasa Inggris. Nah, mengikuti pesan guru, saya mengikuti kawan lain yang memang memiliki bakat alam dalam bidang bahasa. Saya meminjam buku di perpustakaan karangan J.R.R. Tolkien, The Hobbit.
Namun, setelah membaca lembar-lembar awal, saya rupanya mentok pada halaman kelima. Saya masih ingat, saat itu saya mentok dengan kata “ruddy”. Kata itu digunakan oleh Tolkien untuk menggambarkan wajah umum bangsa Hobbit. Saya mencari lema “ruddy” dalam kamus 3000 kata maupun kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily. Hasilnya nihil!
Setelah tanya sana-sini dan akhirnya bertanya pada kawan yang berbakat alam dalam bidang bahasa, saya merasa begitu naif. Rupanya, kawan tersebut membaca karya J.R.R. Tolkien langsung dalam bahasa Inggris sembari mengulik kamus tebal Inggris-Inggris yang ada di perpustakaan. Kawan tersebut cukup tekun mencatat kata-kata yang artinya tidak dia pahami lalu mengeceknya ke kamus Inggris-Inggris di perpustakaan dan membuat catatan artinya. Semuanya dilakukan dalam bahasa Inggris!
Menambah kosakata dengan membaca
Saat mengingat kembali pengalaman tersebut, saya sendiri merasa culun. Ya, maklumlah, saya masih anak SMA yang sehari-hari berbahasa Jawa. Berani pinjam buku berbahasa Inggris dan icip-icip membacanya pun sudah bisa dibilang bagus.
Pada akhirnya, saya memang menyerah membaca The Hobbits pada halaman kelima. Namun demikian, dalam hati saya berjanji, suatu saat ketika kosakata bahasa Inggris yang saya miliki sudah mencukupi, saya akan membaca The Hobbits dalam bahasa Inggris. Janji ini masih saya pegang hingga sekarang.
Dari pengalaman ini, saya banyak belajar. Saya kemudian memilih bacaan berbahasa Inggris yang lebih pendek. Saya mulai dengan buku-buku readers klasik. Salah satu yang saya ingat adalah membaca—versi readers yang lebih ringkas—Frankenstein karya Mary Shelley.
Buku-buku readers menyediakan kata-kata berbahasa Inggris yang dicetak tebal untuk memperkuat kosakata berbahasa Inggris. Selain itu, buku jenis readers juga menyediakan kamus singkat dan pertanyaan paduan untuk memahami bacaan di halaman-halaman akhir. Buat saya pribadi, dua hal ini sangat membantu dalam memahami bacaan berbahasa Inggris dan memperkuat kosakata bahasa Inggris.
Setiap membaca buku berbahasa Inggris, saya akan menyiapkan seperangkat “senjata”. “Senjata” itu adalah sepasang kamus Inggris-Indonesia dan Inggris-Inggris, buku catatan kosakata bahasa Inggris, dan pulpen. Ketika menemukan kata-kata sulit dalam bacaan-bacaan yang saya temui, saya akan mencatatnya. Saya akan mengecek artinya dalam kamus Inggris-Inggris. Jika masih tidak mengerti, saya baru meminta bantuan kamus Inggris-Indonesia. Nah, dengan berjalannya waktu, kosakata bahasa Inggris saya bertambah pelan-pelan. Lama kelamaan, saya cukup menggunakan kamus Inggris-Inggris untuk mengecek makna suatu kata. Ingat, zaman itu Google Translate belum lahir!
Collins COBUILD
Dalam proses kemudian, kamus rupanya tidak bisa lepas dari meja belajar/kerja saya. Apalagi, tuntutan studi formal yang ditempuh mewajibkan saya untuk melahap buku-buku, referensi, dan jurnal yang hampir seluruhnya berbahasa Inggris. Maka dari itu, rasanya saya memerlukan sebuah kamus bahasa Inggris yang lebih advance.
Setelah mencari rekomendasi kamus bahasa Inggris ke sana-sini, pilihan saya jatuhkan pada kamus Inggris-Inggris terbitan Collins. Tepatnya, Cobuild Advanced Learner’s Dictionary, edisi kedelapan. Di bagian awal, dijelaskan bahwa kamus ini didasarkan pada basis data yang dikumpulkan oleh penerbit Collins bekerja sama dengan Universitas Birmingham, Inggris. Walhasil, kita dapat menemukan 4,5 milyar kata yang diambil dari beragam situs web, surat kabar, majalah, buku, juga bahan dari radio, televisi, dan percakapan sehari-hari. Edyan!
Apa yang menarik dari kamus ini? Buat saya sendiri ada satu hal . Setiap lema dalam kamus ini diterangkan dengan konsep, bukan dengan kata padanannya. Saya beri contoh saja. Biar tidak tambah pusing, saya comot lema yang maknanya tidak terlalu panjang.
age|less /eɪdʒləs/ 1. ADJ If you describe someone as ageless, you mean that they never seem to look any older. [LITERARY] □ She was rich, beautiful and seemingly ageless. 2. ADJ If you describe something as ageless, you mean that it is impossible to tell how old it is, or that it seems to have existed for ever. [LITERARY] □ …the ageless oceans. (Collins Advanced Learner’s Dictionary, 2014: 29)
Dari contoh di atas, kita dihadapkan pada makna kata “ageless”. Keduanya memiliki kelas kata sifat. Makna pertama, mengajak kita membayangkan seseorang yang awet muda. Sementara, pada makna kedua, kita diminta membayangkan sesuatu yang sulit kita tebak usianya. Bisa jadi, sesuatu itu sudah ada sejak lama, atau bahkan akan tetap ada selama-lamanya. Menariknya, kamus ini menyajikan kalimat maupun frasa yang dapat membantu kita “membayangkan” makna yang termaktub.
Lihat koleksi kamus-kamus dari penerbit Collins di bawah ini:
***
Konon, akar kata “kamus” dalam bahasa Indonesia adalah kata “qamus” dalam bahasa Arab. Arti “qamus” sendiri dalam bahasa Indonesia adalah kamus, leksikon, atau thesaurus. Nah, yang menarik, kata “qamus” sendiri mengakar pada kata Yunani, Ωκεανός (okeanos). Arti Ωκεανός sendiri tidak lain adalah “samudra”.
Artinya, “kamus” layaknya samudra tempatnya ilmu, khususnya ilmu bahasa. Di sini, kita bisa membayangkan kedalaman dan keluasannya sekaligus. Maka, rasanya tidak salah memelihara kebiasaan membaca buku setebal itu sebab, di dalam samudra kata, tentu kita dapat menemukan hikmat dan keindahan bahasa.
Temukan tulisan lain tentang pendidikan di Jendela Edukasi.