The Moment of Lift

0
Share

Ketika masih duduk di bangku kuliah, seorang kawan pernah bergumam tentang artinya menjadi perempuan. Di kampus, kawan tersebut dikenal sebagai salah satu dedengkot grup diskusi feminisme. “Menjadi perempuan itu,” demikian ujarnya, “adalah menjadi pantai, juga senja. Perempuan itu ada di pinggiran, dekat dengan batas.” Penggalan ingatan di atas muncul begitu saja ketika membaca The Moment of Lift, buku yang ditulis oleh Melinda Gates. Melinda tidak lain adalah mantan istri Bill Gates, taipan teknologi asal Seattle, Amerika Serikat.

Melinda French Gates lahir dan tumbuh di Dallas, Texas, dari keluarga Katolik. Ibunya adalah ibu rumah tangga biasa. Ayahnya seorang insinyur yang bekerja pada proyek Apollo. Sejak belia, Melinda telah tertarik pada dunia teknologi informasi. Melinda menempuh studi lanjutan dan meraih gelar sarjana pada bidang teknologi informasi. Ia pun melanjutkan studi pada bidang bisnis hingga meraih gelar magister. Memasuki dunia kerja, Melinda sempat mendapat tawaran dari IBM, namun ia lebih memilih perusahaan kecil bernama Microsoft. Ia menghabiskan sembilan tahun menempati beberapa posisi hingga pada posisi General Manager informasi produk. Saat ini, Melinda berfokus kepada kegiatan kemanusiaan demi mengembangkan kehidupan sebanyak mungkin orang.

Menjadi filantrop feminis

Apakah Melinda seorang feminis? Pertanyaan bagus! Melinda, di bagian awal The Moment of Lift, mengajukan pandangan sendiri tekait soal menjadi seorang feminis. Saat ditanya untuk pertama kalinya apakah dirinya seorang feminis, Melinda menjawab, “Saya tidak tahu apa yang seharusnya dikatakan, karena saya dahulu bahkan tidak berpikir bahwa saya seorang feminis.” Melinda membutuhkan dua puluh tahun untuk merumuskan apa artinya menjadi seorang feminis. “Bagi saya, sederhana saja. Menjadi seorang feminis berarti memercayai pandangan bahwa setiap perempuan harus menggunakan suara dan mengembangkan potensi yang mereka miliki, selain bahwa para perempuan dan laki-laki harus bekerja sama menyingkirkan rintangan dan mengakhiri padangan-pandangan bias yang menghalangi kemajuan para perempuan.” (hlm. 7)

Gerakan filantrofi yang dikerjakan Melinda membuatnya berkeliling dunia dan bertemu dengan beragam kebudayaan. Selain itu, melalui sembilan bab buku ini ia juga berbagi kisah tentang para perempuan di segala penjuru dunia. Melinda dengan penuh perhatian mengisahkan cerita kehidupan para perempuan dari kawasan Sub-Sahara di Afrika, negara-negara di anak benua Asia seperti India dan Bangladesh, terselip pula sepenggal kisah perempuan dari negara di kawasan Asia Tenggara seperti Filipina dan Indonesia.

Kakenya ingin jadi guru

Membaca The Moment of Lift, kita akan menemukan beragam kisah yang bercerita tentang betapa perempuan hingga saat ini selalu berada pada area “pinggiran”—sebagaimana diungkapkan di awal. Di India, Melinda bertemu dengan seorang perempuan yang ambil bagian dalam sebuah kelompok yang mengusahakan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan. Kepada Melinda, perempuan itu berkisah, “Dulunya saya tinggal dalam ruangan terpisah di rumah. Bahkan, saya tidak diperbolehkan berada dalam satu rumah bersama ibu mertua. Saya diberi kamar di belakang rumah, dan saya bahkan tidak punya sabun. Maka, saya mencuci menggunakan abu, tetapi sekarang saya punya uang untuk membeli sabun. Sari yang saya pakai pun selalu bersih. Dengan demikian, ibu mertua saya lebih menghormati saya. Ia mengizinkan saya masuk ke dalam rumah utama. Saya sekarang punya uang sehingga bisa membelikan sepeda bagi putra saya.” (hlm. 25—6)

Kisah menarik lainnya hadir dari kawasan Sub-Sahara, tepatnya di Kenya. Tersebutlah seorang gadis suku Masaai berumur 13 tahun bernama Kakenya Ntaiya. Layaknya perempuan Maasai lain, dia harus menikah dengan laki-laki yang ditunangkan dengannya sejak berumur 5 tahun. Namun, Kakenya memiliki cita-cita mulia, yaitu menjadi seorang guru. Untuk itu, dia harus tetap melanjutkan pendidikan saat masuk usia akil balig. Akhirnya, Kakenya mengajukan tawaran pada ayahnya. Ia mau menuruti tradisi “sunat perempuan” asalkan dia tetap diperkenankan untuk melanjutkan pendidikan dan tidak menikah di usia 13 tahun. (hlm. 105—6)

Kakenya pada akhirnya bisa menempuh pendidikan tinggi. Ia mendapatkan beasiswa untuk belajar di Amerika Serikat. Ia bahkan mendapatkan gelar doktoral (Ph.D) dari Universitas Pittsburg di bidang pendidikan. Kemudian, Kakenya bekerja di PBB dan ia memiliki sekolah, Kakenya Center of Excellence, yang berdiri pada 2009. Kakenya Center menyediaan seragam, buku-buku, bahkan program kelompok belajar yang pada gilirannya berimbas pada dua hal, yaitu (a) orang tua harus setuju supaya anak-anak perempuan mereka tidak perlu “disunat” dan (b) anak-anak perempuan mereka tidak dinikahkan selama masih bersekolah. (hlm. 107—8)

Persoalan jender dan kesetaraan

Persoalan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan muncul karena persoalan peranan jender. Jender secara sederhana dipahami sebagai pembedaan peran-peran yang dibentuk oleh lingkungan sosial-budaya untuk setiap laki-laki dan perempuan. Misalnya saja, sopir bus atau angkutan kota secara tradisional diidentikkan sebagai pekerjaan untuk laki-laki, sementara penata busana umumnya untuk kaum perempuan. Pembedaan jender ini yang kemudian menjadi semacam “tradisi”.

Salah satu pelatihan pemberdayaan yang dilakukan oleh Melinda dan yayasannya adalah memberikan pelatihan tentang bagaimana mengemban peran jender, khususnya milik kaum perempuan. Program ini dilakukan di Malawi, sebuah negara di sebelah tenggara Afrika. Salah satu program di sana adalah Person versus Thing (Orang lawan Benda). Di situ, seorang istri bertukar peran dengan seorang suami. Si istri meminta si suami melakukan beragam pekerjaan yang pada umumnya dikerjakan oleh si istri. Seorang pria memberi komentar begini; “Awalnya, kata ‘jender’ tidak memiliki arti. Istri saya berulang kali menjelaskannya kepada saya, namun saya tidak pernah paham bagaimana bisa seorang lelaki mengerjakan pekerjaan perempuan atau seorang perempuan mengerjakan pekerjaan laki-laki.” (hlm. 129)

Cara berpikir para suami kemudian menjadi lebih terbuka. Mereka mulai mau membagi tugas perkerjaan rumah dan juga mendiskusikan bersama para istri ketika memutuskan sesuatu. Bahkan, seorang suami juga mengungkapkan betapa menyenangkan melihat istri mereka menentang keputusan yang diambil sepihak, sebab apa yang dikatakan si istri sungguh masuk akal. Dialog jender seperti yang terjadi di Malawi ini menggetarkan hati Melinda. Ia memandang bahwa pasangan yang menjunjung nilai kesetaraan dalam sebuah pernikahan akan mendorong kesejahteraan bersama. Kesejahteraan ini pada gilirannya akan membuat setiap pribadi yang ada di dalam keluarga tersebut menjadi lebih berkembang. Perkembangan setiap pribadi dalam keluarga ini menumbuhkan rasa hormat syarat bagi hubungan yang setara. (hlm. 153)

Ilustrasi oleh Mondriyan

Bill Gates saja mau!

Sisi lain dari bias jender yang membuahkan hubungan laki-laki dan perempuan yang cenderung tidak setara adalah pandangan “kerja bakti” (unpaid work) yang dilakukan perempuan. Selama ini, pekerjaan rumah para perempuan umum dilekatkan dengan kodrat perempuan sebagai “ibu rumah tangga”. Barangkali, dalam kultur tertentu, pandangan ini tidak dapat dikatakan keliru. Melinda melalui The Moment of Lift mengajak kita lebih dalam melihat persoalan “kerja bakti” yang dilakukan para perempuan di rumah.

Melinda mengungkapkan bahwa di seluruh dunia, waktu yang digunakan perempuan bekerja mengurus pekerjaan rumah tangga dua kali lebih panjang dibandingkan laki-laki. Di India, perempuan menghabiskan rata-rata 6 jam untuk pekerjaan rumah tangga, sementara laki-laki hanya 1 jam. Lain halnya dengan Amerika Serikat, di sana para perempuan menghabiskan rata-rata 4 jam untuk pekerjaan rumah tangga, sementara laki-laki hanya 2,5 jam. Perbandingan lebih baik dapat kita temukan di Norwegia. Rataan waktu yang dihabiskan perempuan untuk mengerjakaan pekerjaan rumah adalah 3,5 jam, sementara untuk laki-laki adalah 3 jam. Rataan waktu ini, menurut Melinda, adalah waktu yang diperlukan untuk menyelasaikan program studi S1 maupun S2! (hlm. 117—8) Bayangkan jika perempuan memiliki waktu yang lebih pendek dan dapat berbagi beban pekerjaan rumah tangga, akan ada lebih banyak perempuan yang dapat mengambil program pendidikan yang lebih tinggi! Dengan demikian, dapat diandaikan bahwa perempuan dapat lebih maju baik dalam bidang pendidikan, finansial, juga politis. (hlm. 118)

Menutup uraian tentang The Moment of Lift, saya ingin menyoroti pengalaman Melinda sendiri bagaimana dirinya dan Bill berbagi tugas pekerjaan rumah tangga. Sekolah Jenn—anak pertama pasangan Melinda dan Bill yang waktu itu duduk di TK—terletak di wilayah yang cukup jauh. Melinda bersambat karena harus mengemudi untuk mengantar-jemput Jenn dua kali sehari. Bill menedengarkan keberatan Melinda dan menawarkan diri untuk mengantar Jenn ke sekolah, meskipun Bill harus sedikit memutar lebih jauh untuk berangkat ke kantornya. Melinda cukup terkejut karena respon Bill. Bahkan, Bill menjawab dengan ringan, “Aku bisa menghabiskan waktu untuk dekat mengobrol dengan Jenn dalam perjalanan ke sekolah.” Bill kemudian mengantar Jenn dua kali seminggu. Rupanya apa yang dilakukan Bill berdampak pada situasi sekolah Jenn. Setelah tiga minggu kemudian, Melinda mengamati bahwa banyak para ayah yang mengantar anak-anak mereka pergi ke sekolah. Melinda kemudian mengecek ke salah satu ibu kenalannya. Si ibu itu menjawab, “Kami melihat Bill mengantar Jenn ke sekolah, lalu kami ceritakan kepada suami-suami kami, ‘Bill Gates saja mengantar anaknya ke sekolah, harusnya kamu juga bisa, dong!’” (hlm. 125—6)

Tulisan ini pernah dipublikasikan juga di akun Kumparan milik Periplus Bookstore Official.

Baca pula tulisan tentang Hari Ibu Nasional sebagai peringatan perjuangan kesetaraan perempuan Indonesia di sini.