Mari berandai sejenak, meluangkan benak yang penat di antara agenda yang padat. Utamanya kalian para Generasi Y dan Z. Memasuki dunia dewasa, kalau tidak mau disebut menua, kadang kala kita merindukan masa kanak-kanak. Utamanya adalah dunia ketika semua tidak diukur waktu, angsuran, atau bahkan pertemanan yang diukur dari kadar toxic atau support system-nya. Lebih dari itu, yang paling dirindukan adalah hari minggu pagi yang penuh dengan kartun atau anime di tiap stasiun teve. Sungguh, hidup yang sederhana dan prasaja adalah sebuah keistimewaan. The art of simple living.
Mana yang paling terngiang di relung ingatan? Doraemon, Crayon Sinchan, Ninja Hatori, Kobo Chan, Chibi Maruko Chan, P-Man, Sailor Moon, atau Dragon Ball? Apakah ada kartun favorit kalian yang belum tersebut? Silakan tuliskan di kolom komentar. Sudah barang tentu, mayoritas dari kaliang ingat dan hafal betul tiap jalur suara atau lagu temanya. Tidak luput juga bagi kalian para pembaca setia komik atau manga Jepang yang dipinjam dari rental buku dan komik deka rumah. Bagaimana, sudah senyum-senyum sendiri lantaran ingatan ini?
Dari kanal teve dan lembaran komik, mau tidak mau harus diakui bahwa Indonesia sudah “dijajah” Jepang kembali melalui budaya. Bedanya, tidak ada yang dirugikan atau pertumpahan darah dalam perkenalan budaya ini. Melalui hiburan mata dan pikiran ini, kita juga diajak untuk mengenal budaya Jepang. Arsitektur rumah dan dekorasinya, baju, perayaan tahunan dan bunga Sakura adalah beberapa hal menarik yang bisa kita temukan dalam kartun tersebut. Tidak salah kalau ada yang bilang Jepang secara cerdas mengenalkan budaya dan pariwisata melalui komik dan kartun anak-anak.
Zen sebagai jalan hidup
Budaya Jepang sangat dipengaruhi oleh ajaran Zen yang bisa ditelusuri sampai pada jaman dinasti Song sekitar abad 11 Masehi. Ajaran Zen yang awalnya merupakan salah satu ajaran dari Buddha aliran Mahayana menyebar seiring berkembangnya perdagangan antara China, Korea dan Jepang. Berasimilasi dengan Konfusianisme dan Shinto, Zen bukan hanya diterapkan dalam hidup beragama, namun juga menjadi filosofi dan karakter hidup orang Jepang. Selain itu, ajaran ini menjadi dasar kebudayaan Jepang yang kita kenal antara lain dalam bentuk arsitektur, kaligrafi, kesenian dan ikebana.
Keunikan budaya Jepang inilah yang membuat orang tertarik mempelajari Zen walaupun berasal dari berbagai latar belakang budaya, adat dan agama. Buku dan seminar bertema Zen selalu menarik perhatian banyak orang, tetapi banyak juga yang merasakan kalau ajaran Zen itu terlalu kompleks dan susah untuk diaplikasikan dalam hidup keseharian mereka. Di sinilah kekayaan dari Zen, dari sesuatu dengan kompleksitas tinggi dikonversi dalam rupa yang semenjana, sahaja, alias prasaja. Tentu saja, semua itu terjelma dalam rupa yang sangat manusiawi dan lumrah dalam hidup saban harinya.
Dalam keseharian inilah Zen menemukan wajah yang bisa diraba. Yang paling kentara adalah dalam kesemenjanaan orang-orang Jepang. Jika kita ingat lagi mengenai kartun yang berlatar belakang kehidupan seorang anak bersama keluarganya, yang paling mencolok adalah tata ruang keluarga yang hanya terdiri dari meja dengan selimut musim dingin, televisi, dan lemari kecil. Pula kamar tidur, hanya ada lemari dan alas tidur gulung yang rapi ketika digelar. Konsep yang ditawarkan adalah sahaja dan lega. Amat jarang kita melihat perabotan yang sekadar untuk gimik bagi penghuni atau tamu.
100 langkah sederhana
Shunmyo Masano melalui “The Art of Simple Living”(ISBN : 9780241371831) bisa membantu kita untuk menggapai kesahajaan dalam hidup. Buku ini berisi 100 langkah sederhana untuk membantu kita menerapkan secara langsung dalam hidup harian. Langkah-langkah tersebut disusun praktis per dua halaman yang bisa kita baca sambil lalu saking singkatnya.
Dari 100 langkah yang ada, ada beberapa yang cukup menarik untuk ditelaah. “Make Time for Emptiness” merupakan latihan nomor satu dari buku The Art of Simple Living. Pengarang mengajak kita untuk berlatih mengosongkan pikiran. Sesuatu yang cukup sulit dan langka yang bisa kita dapatkan di saat ini. Saat pikiran kita penuh dengan masalah, rencana, angan dan lain sebagainya, mengosongkan pikiran sejenak membuat kita mengistirahatkan pikiran dan otak. Selain itu, latihan ini membuat kita bisa sementara menjernihkan pikiran sehingga mampu menimbang lagi dengan baik.
“Dunia ini panggung sandiwara”, begitu lirik salah satu lagu band God Bless yang terkenal. Entah sadar atau tidak, dalam keseharian memakai topeng dan bermain sandiwara seperti lagu tersebut. Kita mungkin makin merasa rapuh, tak berdaya, dan jenuh pada lika-liku kehidupan, apalagi ketika harus “bermain sandiwara” di depan orang lain dengan terlihat kuat dan gembira. Bisa juga kita dipaksa “menikmati” hidup yang jauh dari apa yang kita harapkan. Karena saking lamanya hal itu terjadi, kita sering jadi lupa akan sosok asli kita sendiri. Bukan hanya sifat dan perilaku, impian kita bisa jadi turut terkubur di dalamnya.
“Discover Another You” adalah bagian yang membantu kita menemukan kembali jati diri kita yang polos dan tanpa topeng. Kita pun dituntun menuju sumur untuk menimba kembali nilai yang perlahan kita tinggalkan.
Hal umum yang kita lakukan dan salah satu psikologi dasar manusia adalah membedakan dirinya dengan orang lain. “Kenapa dia bisa begini, tetapi aku kok gak bisa, ya?” atau “Kok dia sukses sedang aku masih begini-begini saja?” adalah hal yang lazim kita pikirkan. Master Shunmyo mengajak kita untuk “Seek not What You Lack”. Kesuksesan orang lain bukan suatu hal yang harus dicemburui. Bukan tidak mungkin kalau “waktu kita” belum tiba. Kemungkinan lainnya adalah bentuk kesuksesan berbeda dibandingkan orang lain. Mungkin juga untuk mencapai keberhasilan saat ini, banyak kerja keras dan pengorbanan yang harus dibayar oleh setiap orang.
Rasanya, berhenti untuk membandingkan diri dengan orang lain perlu dihentikan. Tidak bisa kita hidup selamanya di bawah bayang dan intervensi orang lain. Syukur untuk segala kelebihan dan kekurangan adalah kunci hidup lebih bahagia. Tidak begitu lancang kiranya jika hal ini juga dipadankan dengan falsafah lokal Nusantara, “Narima ing pandum”. Artinya, menerima atas segala pemberian atau rahmat. Menerima apa yang diinginkan itu mudah, maka menerima apa yang tidak diinginkan itu adalah syukur paling tinggi.
Kunci: Tekun dan Setia
Buku kecil ini sungguh menarik untuk dibaca, terutama sebelum beraktifitas di pagi hari. Seperti disinggung sebelumnya, setiap langkah dan penjelasan di dalam buku ini singkat dan bisa kita baca lalu refleksikan selama 5-10 menit. Atas alasan ini, tulisan Shunmyo sangat cocok untuk menemani perjalanan kita ke tempat kerja, kampus, atau sekolah. Setidaknya, kita bisa langsung kita menerapkan ketika sampai tujuan. Apapun latar belakang kita, kesahajaan adalah kepingan penting dalam dinamika hidup.
Setiap latihan yang tertulis di dalam buku The Art of Simple Living ini sederhana tetapi memiliki kekuatan yang besar untuk membentuk karakter dan kebiasaan seseorang. Karena merupakan buku latihan, pembaca harus mau membaca, merefleksikan, dan menerapkan terus setiap langkah dalam buku ini secara berkelanjutan. Sehingga, sampai akhirnya semua usaha itu menjadi sebuah kebiasaan hidup. Pertanyaan nakalnya, “Kalau hanya mengambil salah satu atau beberapa latihan saja boleh tidak?” Tentu saja boleh, yang paling penting adalah konsisten untuk tekun dan setia berlatih.