Kemalangan dan pilar kebahagiaan
Penderitaan dan kemalangan memang bagian dari kehidupan kita sebagai manusia. Meskipun begitu, dalam percakapan antara Dalai Lama dan Uskup Agung Desmond Tutu, merasa bahwa masuk ke dalam diri—menyelidiki diri kita sendiri—akan banyak membantu kita mencapai sukacita sejati. Meditasi, menurut keduanya, juga mampu membantu kita belajar menenangkan reaksi-reaksi emosional kita. Proses mengenali diri dan kebiasaan bermeditasi ini akan membuat diri kita tidak terlalu rentan terhadap rasa-perasaan dan cara berpikir yang hanya akan membuat kita terpuruk dalam penderitaan. Singkatnya, inilah proses yang bisa kita lakukan untuk membangun kekebalan mental (mental immunity)diri kita sendiri. (hlm. 86)
Di bagian lain The Book of Joy, Dalai Lama pun menggarisbawahi bahwa kebenaran pertama dari Buddhisme adalah hidup ini dipenuhi penderitaan. Dalam bahasa Sanskerta, “penderitaan” ditulis menggunakan kata dukkha. Kata dukkha ini sangat dekat hubungannya dengan kata dalam bahasa Indonesia, duka yang menurut KBBI berarti: susah hati; sedih hati. Dalam bahasa aslinya, dukkha bisa diterjemahkan sebagai stres, kecemasan, penderitaan, atau ketidakpuasan. Kata ini juga sering digunakan untuk menggambarkan kondisi penderitaan mental maupun fisik yang kita alami sebagai manusia. Kata dukkha ini juga terkait dengan proses alami kehidupan manusia: lahir, jatuh sakit, atau menjadi tua renta.
Dalai Lama juga tidak menganjurkan agar kita menghindari kemalangan. Justru sebaliknya, dalam kebudayaan Tibet, ada pepatah yang berbunyi, kemalangan-kemalangan dapat berubah menjadi peluang.
Kata dukkha sendiri memiliki antonimnya sendiri, sukha. Kata sukha dalam bahasa Sanskerta tentu sangat dekat terkait dengan kata bahasa Indonesia, suka, yang dalam KBBI berarti: berkeadaan senang, girang hati; senang hati, senang; gemar, atau menaruh simpati; setuju. Sementara itu, kata sukha dalam bahasa Sanskerta berarti kebahagiaan, kemudahan, atau rasa nyaman. Nah, menarik bahwa di dalm buku ini dibahas akar kedua kata ini yang bisa ditarik dari budaya orang-orang Arya. Orang-orang Arya yang nomaden, mengasosiasi kata dukkha dan sukha dengan kondisi jalan. Mereka menyebut jalanan bergelombang yang tidak rata dengan dukkha dan jalanan yang rata-mulus dengan sukha. Metafora jalanan ini sangat menarik. Kehidupan barangkali layaknya sebuah jalan yang memiliki bagian yang bergelombang, namun juga tidak sedikit bagian yang gampang dilalui.
Dalai Lama juga tidak menganjurkan agar kita menghindari kemalangan. Justru sebaliknya, dalam kebudayaan Tibet, ada pepatah yang berbunyi, kemalangan-kemalangan dapat berubah menjadi peluang. Ada satu pepatah lagi, kata Dalai Lama, yang mengatakan bahwa sebenarnya pengalaman-pengalaman yang menyakitkan itulah yang menyinari hakikat kebahagiaan. Dalam buku ini, diulas juga delapan pilar sukacita. Kedelapan pilar tersebut bisa dibagi menjadi dua bagian besar. Bagian pertama terkait dengan pikiran (mind), yakni perspektif (perspective), kerendahan hati (humility), humor (humor), dan penerimaan (acceptance). Di lain sisi, empat bagian lain terkait dengan hati (heart), yakni pengampunan (forgiveness), rasa syukur (gratitude), belas kasih (compassion), dan kemurahan hati (generosity).
***
Buku setebal 384 halaman ini sangat cocok bagi mereka yang ingin menggali kedalaman. Bagi mereka yang ingin mencari inspirasi bagi pergulatan pribadi The Book of Joy ini juga layak dibaca. Sebab, di dalam buku ini, kita tidak hanya mendapatkan percakapan hangat antarsahabat yang sekaligus tokoh spiritual dunia. Tentu saja, kita bisa menimba inspirasi dari kedalaman batin keduanya yang memancarkan sukacita. Lebih dari itu, di bagian-bagian akhir The Book of Joy ini, kita dapat menemukan beberapa latihan pribadi untuk menemukan sukacita kita sendiri.
Nah, kalau Anda memang sedang mencari sebuah “buku panduan” untuk hidup lebih bahagia, The Book of Joy sedang memanggil jiwa Anda. Alih-alih teralihkan oleh hiruk-pikuk dunia: hasrat untuk cepat kaya sebelum usia 30, gejolak pasar saham dalam rupa candle-sticks yang sebentar-merah-sebentar-hijau, atau sensasi pedih-perih cinta yang bertepuk sebelah tangan, rasanya akan lebih bijak untuk sejenak membaca satu dua halaman buku yang mencerahkan ini. Semoga, Anda benar-benar bisa mencicipi sukacita setelahnya!