Bayangkan satu hal yang membuat kehidupan manusia menjadi rumit. Untuk saya, mudah saja. Bayangkan kita hidup tanpa aksara, tanpa huruf. Anda tentu tidak akan membayangkan apa yang saya minta pada kalimat pertama tulisan ini, bukan? Lalu, kira-kira sejak kapan umat manusia menggunakan aksara? Satu lagi, sudahkah Anda tahu bahwa 8 September diperingati sebagai Hari Aksara Sedunia?
Sejarah literasi masa prasejarah
Sejarah keberaksaraan manusia bisa ditarik pada masa 8000 SM. Adalah Bangsa Sumeria yang mulai menggunakan sistem penulisan sederhana untuk menunjukkan jumlah makanan yang tersimpan di lumbung. Baru pada kisaran 3500 SM mereka menggunakan aksara untuk mencatat perjanjian dagang. Mereka menggunakan metode piktogram dan menyusun tulisan dari kanan ke kiri, meskipun belum mengenal spasi. Oleh sebab inilah Bangsa Sumeria dianggap sebagai penemu tulisan. Waktu berjalan, dan tercatat pada sekitar 1200 SM, Bangsa Phoenisia menggunakan 22 abjad yang menjadi cikal bakal alfabet modern.
Di wilayah Indonesia sendiri, catatan aksara baru muncul pada kisaran tahun antara 350—400. Hal ini ditandai dengan penemuan Prasasti Yupa yang dibuat pada masa Kerajaan Kutai. Lokasi Kerajaan Kutai diperkirakan berada di wilayah Muara Kaman, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Prasasti ini sendiri berbahasa Sanskerta dan ditulis menggunakan aksara Pallawa.
Pada kisaran abad ke-9 hingga abad ke-13, orang-orang Tionghoa mengembangkan beragam teknik cetak. Baru pada 1440, Johannes Gutenberg menemukan teknik cetak yang digunakan pada zaman modern. Namun demikian, baru pada 1450 terciptalah mesin cetak yang sudah disempurnakan dan siap digunakan untuk kepentingan komersial.
Sejarah perkembangan keberaksaraan lalu berkembang pesat pada paruh kedua abad ke-20. UNESCO sendiri mendefinisikan literasi sebagai “kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi dan menghitung, menggunakan cetakan dan bahan tertulis yang terkait dengan berbagai konteks.” Selain itu, literasi juga melibatkan rangkaian pembelajaran sehingga setiap orang mencapai tujuan mereka dalam mengembangkan pengetahuan dan potensi masing-masing. Pada akhirnya, literasi juga terkait dengan partisipasi penuh dalam komunitas dan masyarakat yang lebih luas.
Hari Aksara pada abad ke-20
Sejarah peringatan Hari Aksara Sedunia berawal dari paruh kedua Abad ke-20. Adalah Konferensi para Menteri Pendidikan se-dunia yang diadakan di Tehran, Iran, pada 1965 menjadi titik mulanya. Dalam konferensi tersebut, dibahas bagaimana melakukan usaha pemberantasan buta aksara dalam skala global. Di sini, dipahami pula bahwa memberantas buta aksara akan berpengaruh pada perkembangan kesejahteraan bangsa-bangsa yang ada di dunia.
PBB pada 1966 kemudian melalui Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan tanggal 8 September sebagai Hari Aksara Internasional. Setahun kemudian, Hari Aksara Internasional lelu diperingati secara global setiap tahunnya. Pada 1975, UNESCO melaksanakan sebuah simposium yang membahas persoalan keberaksaraan. Di sini, dihasilkan dokumen yang dikenal dengan Deklarasi Persepolis yang menggambarkan bahwa usaha literasi berkontribusi pada kebebasan dan perkembangan manusia. Literasi dimengerti bukan hanya terpada pada “proses belajar keterampilan membaca, menulis, dan berhitung.”
Dekade 1990-an mencatat dua peristiwa penting dalam usaha mempromosikan literasi secara global. Pada 1990, PBB mengumumkan tahun itu sebagai Tahun Literasi Internasional (International Literacy Year). Selain pengumuman tersebut, peran penting literasi mendapatkan sorotan dalam Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua yang diadakan di Jomtien, Thailand pada 5—9 Maret 1990 ini. Selang tak berapa lama, pada 14—18 Juli 2997, diadakan Konferensi Internasional Pembelajaran Orang Dewasa yang kelima (CONFINTEA V) di Hamburg, Jerman. Kesempatan ini menghasilakn Deklarasi Hamburg tentang Pembelajaran Orang Dewasa. Literasi bagi orang dewasa mendapat perhatian dalam konferensi ini.
Memasuki milenium ketiga, usaha di bidang literasi tidak surut. Pada 26—28 April 2000, UNESCO menyelenggarakan Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal. Pertemuan ini menghasilkan Kerangka Aksi Dakar. Kembali, persoalan keaksaraan mendapat perhatian, khususnya bagi para remaja dan orang dewasa. Selain itu, ditetapkan bahwa tingkat buta aksara pada orang dewasa di seluruh dunia harus dikurangi hingga mencapai 50 persen. Selain itu, UNESCO pada 2003—2012 menetapkan kampanye Dekade Literasi PBB. Program yang diusung adalah Literacy Initiative for Empowerment (LIFE) yang berfokus untuk meningkatkan tingkat melek huruf secara internasional. Pada periode 2009—2010, UNESCO mengadakan CONFINTEA VI di Brasil.
Pada konferensi ini, dihasilkanlah Belém Framework of Action yang mempromosikan pendidikan untuk orang dewasa yang berlangsung sepanjang hayat. Selain itu, UNESCO juga meluncurkan Laporan Global tentang Pembelajaran dan Pendidikan Orang Dewasa untuk pertama kalinya (GRALE I). Dari laporan tersebut, diketahui bahwa meskipun banyak negara telah menerapkan pendidikan bagi orang dewas, tidak selalu tersedia dana yang cukup demi mencapai potensi yang optimal. Selang lima tahun kemudian, tepatnya pada 19—22 Mei 2015, diselenggarakanlah Forum Pendidikan Dunia di Incheon, Korea Selatan. Hasilnya adalah Deklarasi Incheon yang menetapkan komitmen bersama untuk menyediakan pendidikan berkualitas yang inklusif dan merata hingga 2030. Lebih lanjut, kesadaran akan pembelajaran seumur hidup dan peran penting literasi mendapat peran yang sangat penting.
Literasi di masa pandemi
Setelah mengetahui bahwa perjuangan dalam bidang literasi selama lima dekade belakangan, kira-kira perkembangan apa yang terjadi baru-baru ini? Untuk 2021, UNESCO mengangkat tema Literacy for a human-centered recovery: Narrowing the digital divide (Melek huruf untuk pemulihan yang berpusat pada manusia: Mempersempit kesenjangan digital). Sangatlah menarik untuk mencermati tema yang diangkat oleh UNESCO dalam memperingati Hari Aksara Internasional 2021 ini. Sebab, UNESCO nampak memperhatikan faktor pandemi yang disebabkan oleh Covid-19.
Menurut dokumen Literacy for a human-centered recovery yang dirilis oleh UNESCO, setidaknya tiga hal pokok yang membuat pandemi Covid-19 sangat memengaruhi gerakan literasi secara global. Pertama-tama, tentu situasi pandemi berdampak pada mereka yang hingga saat ini masih dalam keadaan buta aksara. Laporan tersebut mencatat bahwa masih ada sekitar 773 juta orang muda dan dewasa yang belum melek huruf. Kondisi yang demikian, membuat mereka yang masih dalam kondisi buta aksara menjadi rentan dalam mengelola kesehatan, pekerjaan, dan kehidupannya. Oleh karenanya, pemulihan dari kondisi pandemi perlu mengintegrasikan aspek literasi orang-orang muda dan dewasa. Di sini, gagasan proses pembelajaran sepanjang hayat menjadi krusial.
Perkara kedua yang perlu diperhatikan adalah kesenjangan akses internet di seluruh dunia. Pandemi Covid-19 menyebabkan pergeseran cepat dalam bidang pendidikan. Pembelajaran daring dan campuran menjadikan ketersediaan akses internet menjadi mutlak. Sementara itu, International Telecommunication Union mencatat bahwa setengah dari penduduk dunia (sekitar 3,7 miliar orang) tidak menggunakan internet. Misalnya saja, di wilayah sub-Sahara Afrika, tercatat hanya 7,7% populasi yang memiliki komputer di rumah. Laju pertumbuhan akses internet dalam skala rumah tangga di wilayah tersebut juga termasuk rendah, yakni pada kisaran 22%. Dari data ini, terlihat bahwa ketidakmerataan infrastruktur masih menjadi kendala pembelajaran daring. Bahkan, menurut laporan Bank Dunia, di negara-negara seperti Burkina Faso, Burundi, dan Chad, setidaknya 85% penduduknya belum memiliki akses listrik pada 2018.
Pokok terakhir yang perlu mendapat perhatian adalah kesadaran bahwa dengan adanya pandemi Covid-19, literasi menduduki peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Literasi yang pada paruh kedua abad ke-20 dipahami sebagai keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung, telah mengalami pergeseran semakin kentara berkat situasi pandemi. Keberaksaraan sekarang ini juga terkait dengan keterampilan digital. Secara ringkas, keterampilan ini dipahami sebagai kemampuan untuk menggunakan peranti digital, aplikasi komunikasi, dan jaringan internet untuk mengakses, mengelola, memahami, mengintegrasikan, mengomunikasikan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi dengan aman dan tepat seturut kondisi lingkungannya.
Berkat pandemi Covid-19, pola interaksi antarmanusia mengalami perubahan. Peranti-peranti teknologi memiliki peran lebih luas dalam bidang pekerjaan dan pendidikan. Setelah hampir dua tahun diterpa pandemi, orang mulai terbiasa bekerja, belajar, dan berinteraksi menggunakan peranti teknologi. Literasi layak dimaknai sebagai usaha sepanjang hayat. Selain itu, literasi sangat terkait dengan keterampilan digital.