JS:
Iya, setelah “krismon”. Pada saat itu, saya merasa bahwa Indonesia harus bangkit kembali. Keresahan muncul saat melihat isi toko buku yang isinya buku-buku terjemahan. Sementara itu, ada banyak buku bagus yang tidak dipilih untuk diterjemahkan. Untuk saya, ini sayang sekali.
Tapi, saat itu, pertanyaanny jelas. Dengan latar belakang krisis moneter, bagaimana caranya bisa survive. Inilah satu tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu, kita membutuhkan passion. Kami sebenarnya memulai dengan mendistribusikan majalah dan buku, serta membuat peta, Periplus Travel Map. Kemudian, kami juga menyuplai ke Kinokuniya buku, koran, dan majalah sampai hari ini. Selain itu juga ke Gramedia. Saya hanya merasa ada urgensi untuk mecerdaskan anak-anak Indonesia. Anak-anak Indonesia harus bisa lebih mengglobal. Saya merasa, harus ada “paksaan” agar anak-anak Indonesia terbiasa membaca dalam bahasa Inggris. Sebab, bahasa Inggris adalah bahasa global. Saya melihat, kita boleh bersyukur karena anak-anak Indonesia bisa belajar di “sekolah internasional” (Satuan Pendidikan Kerja Sama—SPK). Dahulu, “sekolah internasional” hanya diperuntukkan bagi anak-anak ekspatriat, belum ada sekolah nasional plus. Saya rasa, sistem pendidikan kita juga perlu berubah, menyesuaikan tren dan zaman. Saya sendir merasa senang melihat pertumbuhan sekolah-sekolah nasional plus yang membuat sekolah nasional juga harus beradaptasi.
Mungkin, dulu zaman Mas Iyas sekolah, anak-anak mengejar NEM (Nilai EBTANAS Murni) untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri. Maka, demi mengejar NEM tinggi, segala macam cara dilakukan. Ada yang pakai joki, yang penting NEM-nya tinggi. Saat ini, kita bersyukur karena Mas Menteri (Nadim Makarim—Mendikbud) menghapuskan ujian nasional. Saya kira, itu adalah ajakan bagaimana anak-anak sekarang bisa belajar living skills di sekolah. Tapi, saya juga merasa prihatin dengan kemajuan teknologi, karena anak-anak sekarang jadi tergantung dengan layar gawai. Kalau anak satu atau dua tahun nangis, dikasihnya Ipad atau tablet. Itu menyedihkan banget.
IL:
Nggak papa kok, Pak. Itu isinya podcast Endgame, sebetulnya. (Audiens tertawa.)
Pak, tapi maaf saya potong sedikit. Bicara soal kecerdasan anak, saya tumbuh dalam keluarga yang menjadikan membaca buku sebagai sebuah paksaan, atau malahan siksaan. Buku pertama saya adalah Treasure Island (1883) karya Robert Louis Stevenson. Buku itu membuat saya berpikir sangat luas, karena saya harus membayangkan berjalan di sebuah pulau, dan seterusnya. Tapi, dalam sebuah obrolan di podcast Endgame, Pak Judo pernah berkata bahwa kebiasaan membaca diawali dari rumah dan sekolah. Saya mau mulai dari sisi sekolah dulu, Pak. Pandangan Bapak tentang sistem pendidikan di Indonesia selama ini bagaimana, Pak? Apakah sudah cukup mengakomodasi sisi literasi?
JS:
Saya rasa, untuk sekarang ini, sudah sangat mendukung. Tinggal gurunya sekarang. Apakah gurunya tetap membaca buku? Saya kira, dukungan dari sekolah juga sangat penting. Guru bahasa Indonesia atau Inggris bisa membuat proyek bersama. Misalnya, membiasakan anak-anak (membaca atau meminjam buku) ke perpustakaan. Namun demikian, guru juga harus membiasakan anak-anak menceritakan bacaan. Jika anak-anak hanya dibiasakan membaca tanpa dilatih bercerita, berani tampil di depan, hal ini juga tidak membuat kita maju. Dari berani bercerita, saat anak bertambah besar, dia harus dilatih menuliskan pengalaman harian yang dialaminya, seperti kalau kita mengikuti seminar, kita bakal ditanya apa pendapat kita.
Nah, anak-anak di kelas perlu dilatih untuk berpikir terbuka. Di sini, guru juga harus memiliki keterbukaan. Zaman dahulu, kita sering kali dibuat tidak berani mengkritik guru. Guru tidak bisa lagi mengajar dengan ancaman, misalnya kalau memprotes, anak akan diberi nilai nol. Ini akan membuat anak tidak berani kritis. Saya rasa, guru-guru muda sekarang ini juga sudah terbuka. Harapan saya, guru senior yang sudah berpengalaman mendidik juga bisa memiliki keterbukaan.
HL:
Saya rasa, kita harus mulai hal ini dari awal, ya. Waktu anak masih kecil, kita harus bertanya kepada mereka, misalnya liburan dari mana. Ini akan membuat anak terbiasa bercerita, membuat presentasi sejak kecil.
IL:
Tapi, kalau bicara sejarah, kita tahu sejarah itu sudah ditulis, tahun-tahun dan apa yang terjadi di dalamnya. Hal yang lebih penting, saya rasa adalah bertanya kenapa itu terjadi. Kira-kira, format pembelajaran sejarah yang tepat untuk zaman sekarang itu seperti apa?
HL:
Sebenarnya, banyak sejarah yang sudah ditulis. Tapi, itu ditulis dua ratus atau seratus tahun yang lalu, oleh orang memiliki pendapat yang sangat berbeda. Nah, ini ada masalah interpretasi. Interpretasi kita sekarang bisa sangat jauh berbeda. Pertama-tama, kita harus kembali pada fakta-fakta yang ada. Sebab, banyak sekali di antra fakta-fakta itu yang kita tidak tahu. Jadi, kita mulai dengan fakta-fakta, lalu dilanjutkan dengan interpretasi sendiri. Itu yang kita lakukan dengan sejarah, karena kita belajar membedakan antara fakta dan interpretasi. Misalnya, saya menulis buku tentang Majapahit, maka saya mulai dengan membaca Nagarakertagama oleh Prapanca. Ya, meskipun teksnya tidak mudah untuk dibaca dan dipahami. Prapanca juga melakukan interpretasi. Ada hal-hal yang sengaja dia tidak tulis, karena buku ini akan dipersembahkan pada Hayam Wuruk, rajanya. Prapanca juga ingin menulis hal-hal yang menyenangkan raja. Jadi, interpretasi memainkan peran yang sangat penting. Belum tentu sumber sejarah dari masa lalu juga menyajikan kebenaran objektif.
IL:
Kalau begitu, bukankah menulis sejarah adalah tindakan yang berisiko? Sebab, misalnya dalam buku Majapahit, Herald menulis dengan sangat detail di dalamnya. Di sini ditulis bagaimana Raffles sarapan bubur dengan suwiran daging, sayuran, dan telur. Pada bagian lain, diceritakan bagaimana Hendrik Domis digigit oleh nyamuk-nyamuk di Mojokerto. Hal-hal detail seperti ini membuat kita, pembaca sekarang, masih terhubung dengan kejadian yang terjadi ratusan tahun lampau. Bagaimana menurut Herald?
HL:
Ya, sebenarnya bagian itu adalah fakta, sebab ada seorang yang menulis jurnal yang menceritakan detail seperti itu. Itu sengaja dimasukkan ke dalam buku supaya “hidup”. Sebab, kita bisa saja menulis: “Raja ini lahir pada tanggal sekian.” Namun, kita juga bisa menulis: “Tiba-tiba, di kraton orang berlarian dan berteriak, ‘Ada anak yang baru dilahirkan! Kita akan punya raja baru!’”
Dalam menulis buku, kita perlu hal-hal detail. Saya mencoba menggunakan detail-detail yang saya dapatkan dari buku-buku yang lain. Misalnya dalam Bomantaka, di sana disebutkan hal-hal detail tentang makanan. Disebutkan bahwa orang makan rawon. Detail-detail seperti ini bisa dimasukkan agar cerita sejarah dalam Majapahit menjadi lebih hidup.