“I Read, Therefore I Write”—Endgame Townhall

0
Share
Diskusi berjalan dengan hangat. (Foto oleh @move.shot)

IL:

Sebelum ke Mas Heru, kita berikan tepuk tangan terlebih dahulu. (Audiens bertepuk tangan.)

Pak Judo, sebelum naik ke panggung, tadi saya sempat bertanya bagaimana cara menjalani proses ini semua? Untuk saya, it’s too good to be true. Saya memiliki siniar, beberapa kali kami berbincang dalam bahasa Inggris. Tapi, hasilnya saya malah dihujat. Kok, mereka yang kurang pandai, tapi kok saya “dimarahi”. (Audiens tertawa.)

Pak, bagaimana bisa Periplus, sebagai toko buku yang menjual buku-buku berbahasa Inggris, tersebar di seluruh Indonesia? Lalu, di tengah-tengah situasi toko-toko buku yang harus menutup gerainya, Periplus dengan margin keuntungan yang tipis, masih bisa bertahan? How do you do it?

JS:

Intinya, kalau kita mengerjakan sesuatu itu harus dengan passion, dengan hati. Kalau kita tidak melakukannya dengan sepenuh hati dan juga kerja keras, semua akan bisa terlaksana. Kita juga butuh konsistensi. Kita juga bisa melibatkan teknologi, dengan big data, misalnya, kita bisa melihat buku mana yang disukai oleh pembaca Indonesia. Sebab, ada banyak buku yang terbit setiap hari, maka dibutuhkan proses kurasi dengan hati. Rasanya, itu yang paling penting. Ini juga termasuk bagaimana Menyusun display buku di toko kami. Saya rasa, kami belum sempurna. Masih jauh lah. Tapi, kami berusaha mengarah ke sana. Namun, saya rasa konsistensi dan perhatian penuh pada pekerjaan, itulah yang membuat kita berhasil menjadi lebih baik.

IL:

Wow, luar biasa. Kita berikan tepuk tangan. (Audiens bertepuk tangan.)

Kita kembali soal globalisasi tadi, Mas Heru. Banyak sekali kisah yang kita miliki. Bahkan, Anda juga punya cerita (tentang Jakarta dan Indonesia) sejak tahun 1990-an. Tapi, Indonesia masih kekurangan pencerita tentang Indonesia yang bisa berkompetisi dengan negara-negara lain. Bagaimana menurut Anda?

HL:

Maksudnya kompetisi itu bagaimana?

IL:

Maksud saya, berkompetisi untuk menceritakan kekayaan Indonesia, seperti Mas Heru yang bercerita tentang Majapahit kepada audiens internasional. Bagaimana cara mengajak anak-anak muda memahami kekayaan budaya Indonesia dan menceritakannya kepada dunia internasional?

HL:

Begini, saya menulis buku Majapahit ini seperti perjalanan penemuan diri. Saya datang ke Indonesia pada 1990, saya suka Indonesia, saya suka makanannya, lalu punya istri orang Indonesia, bisa bicara bahasa Indonesia sedikit. Lalu, saya merasa perlu mengerti sejarahnya. Rasa saya, ini cuma pikiran saya saja, kelahiran Indonesia itu mungkin dimulai dari zaman Majapahit. Lalu, nanti kalau ada orang membaca buku saya dan tergerak untuk datang ke candi-candi, meriset sendiri, mereka juga akan menemukan diri mereka sendiri (pada akhirnya).

Pernah, suatu kali di Yogyakarta, saat melakukan roadshow buku Majapahit bersama Periplus, ada beberapa ibu yang bercerita pada saya—setelah membaca Majapahit—bahwa mereka ingin datan ke Candi Penataran. Penataran itu candi besar, teletak di Blitar, nomor tiga setelah Borobudur dan Prambanan, saya kira. Tapi, ketika datang ke sana, saya melihat candi itu hanya dikunjungi lima atau sepuluh orang. Artinya, masih ada banyak hal yang bisa kita gali sendiri di dalam sejarah kita ini. Mungkin, tidak perlu sampai menulis buku, tapi kita bisa melakukan riset sendiri untuk pengetahuan pribadi.

IL:

Majapahit hampir saja terlupakan. Dan, akhirnya diketahui banyak orang, meskipun mungkin masih banyak orang yang belum tahu. Tentang sejarah Indonesia, ada atau tidak subjek atau topik yang layak didalami agar tidak lagi terlupakan seperti Majapahit?

HL:

Ya, benar. Sayang sekali, sekitar 130 tahun yang lalu, kita tidak tahu apa itu Majapahit. Sebab, Nagarakertagama sendiri baru ditemukan pada 1849 di Lombok. Lalu baru diterjemahkan oleh Jan Brandes, sehingga cerita Majapahit baru ada setelahnya. Ada banyak cerita soal sejarah Indonesia yang tidak kita ketahui. Misalnya saja, kita tidak tahu Borobudur dibangun oleh siapa, kapan dibangun, kenapa dibangun, atau mengapa dibangun di tempat itu? Buat saya, masih ada banyak hal yang belum kita ketahui. Jadi, untuk saya sendiri proses menulis sejarah, sekali lagi, adalah proses penemuan (discovery) diri sendiri.

IL:

Sungguh mendalam sekali, Mas Heru. Silakan teman-teman, kita beri tepuk tangan. (Audiens bertepuk tangan.)

JS:

Saya rasa, Candi Borobudur itu juga bentuk literasi. Borobudur, candi dalam tradisi Buddhisme, memiliki relief-relief yang mengisahkan bagaimana perjalanan manusia mulai dari dunia hingga kepada nirwana. Di situ, ada soal antropologi, kosmologi, hingga kepercayaan pada Yang Ilahi. Lalu, di Candi Prambanan, kita bisa menemukan kisah Ramayana dan Khrisnayana dalam tradisi Hindu. Saya rasa, ini adalah sebuah peninggalan, warisan leluhur yang luar biasa. Kisah tersebut kan seperti “tulisan”, meskipun dibuat dengan cara yang lebih susah—gambar yang dipahat pada batu. Sungguh, Indonesia ini memiliki budaya yang luar biasa!

IL:

Mungkin, terakhir saya akan bertanya, “Apa yang membuat Anda khawatir?” Minat pembaca buku tidak lagi tinggi, dengan adanya teknologi. Pada 2015, saya dengar Periplus ingin menawarkan produk e-book untuk penggemar buku dan akrab dengan teknologi baru pada waktu itu, namun rupanya tidak berjalan cukup baik. Bahkan, buku fisik kembali digemari saat ini. Adik saya saja meminta buku sebagai hadiah sekarang ini. Ada harapan, sebenarnya. Namun, saya tetap ingin tahu apa yang menjadi “ketakutan” saat bicara soal dunia buku atau mengurus toko buku.

Pages: 1 2 3 4 5