“I Read, Therefore I Write”—Endgame Townhall

0
Share
Judo Suwidji mengungkapkan optimisme dalam dunia buku. (Foto oleh @move.shot)

JS:

Sebenarnya, saya tidak merasa begitu takut, karena saya kira buku itu adalah sesuatu yang memberikan rasa khas ketika kita pegang. Tadi saya ceritakan betapa bedanya kita saat melihat peta yang dicetak dan peta di Google Maps. Feel memegang buku fisik itu sama sekali berbeda dengan gawai untuk membaca buku elektronik, apalagi untuk buku-buku yang serius.

Saya kira, sekitar sepuluh tahun yang lalu, minat masyarakat di Eropa Barat dan Amerika Serikat pada e-book itu menurun. Kurang lebih 4—5% setiap tahun, hingga yang terberat pada 2018—2019. Namun, e-book kembali populer pada masa pandemi COVID-19, sehingga penjualannya melonjak hingga 8—12%, karena toko buku ditutup dan orang tidak boleh keluar rumah. Akan tetapi, tren buku cetak kembali naik setelah pandemi berlalu. Bahkan, di level perguruan tinggi, buku teks kuliah, oleh para dosen, diminta lagi kembali dalam bentuk cetak.

Pasar Asia dan Eropa Timur memiliki karakteristik yang berbeda lagi. Mereka justru merasa lebih nyaman menggunakan e-book di ruang-ruang perkuliahan. Buku-buku banyak yang dipindai, dijadikan digital, untuk dijual lagi di pasar gelap. Saya rasa, kondisi ini tidak baik untuk para penulis.

Inilah yang menjadi persoalan dengan teknologi yang sudah maju. Segala hal dijadikan digital. Namun, sebagai manusia, kita tetap membutuhkan feeling, rasa menyentuh buku fisik yang tak tergantikan oleh buku digital. Memang, di dunia perguruan tinggi, orang banyak membaca jurnal. Namun, untuk level pendidikan dasar dan menengah, orang masih membutuhkan buku yang dicetak secara fisik. Sebab, di negara-negara Eropa Barat dan Australia, para guru melarang siswanya membaca gawai, karena bisa menyebabkan kecanduan ponsel atau tablet pintar. Hal ini, tidak jarang menyebabkan dampak buruk pada kesehatan. Jadi, banyak orang yang mengalami kerusakan retina karena radiasi yang dipancarkan oleh layar.

Meskipun demikian, Periplus tetap menyediakan buku digital, khususnya untuk kalangan perguruan tinggi. Tentu saja, ini untuk memenuhi kebutuhan kalangan tertentu. Meskipun, secara umum orang masih menikmati membaca buku fisik untuk perpustakaan pribadi atau kantornya.

Lalu, ditanyakan mengapa Periplus masih bisa bertahan? Ya, karena kami menanggap toko buku itu serupa dengan supermarket. Misalnya saja, kita datang berbelanja dan melihat buah atau sayuran yang layu, kita tidak akan datang lagi ke supermarket tersebut. Toko buku juga harus demikian. Buku-buku yang dipajang harus merupakan buku-buku terbaru, sehingga orang melihat koleksi toko buku tersebut selalu segar.

Lalu, kita juga perlu menggunakan teknologi. Hal ini tidak dapat terhindarkan. Kami terus menggunakan bantuan teknologi untuk membuat kurasi dan rekomendasi buku yang cocok untuk masyarakat Indonesia. Ada cerita menarik. Sampul muka buku Majapahit karya Herald ini dibuat oleh kecerdasan buatan (AI). Saya diberi tahu bahwa gambar sampul muka ini dikerjakan dalam waktu kurang dari seminggu berkat bantuan AI.

HL:

Jadi, awalnya ini adalah gambar Candi Kidal, namun gambarnya jadi terlalu ramping, sehingga tidak begitu bagus untuk halaman sampul muka. Lalu kita coba dengan Candi Brahu, tapi lalu terkesan seperti monumen. Nah, pada akhirnya gambar Candi Kidal dan Brahu digabungkan, sehingga jadi seperti yang ada pada sampul muka buku Majapahit.

IL:

Wah, teman-teman, luar biasa sekali. Sekali lagi kita beri tepuk tangan. (Audiens bertepuk tangan.)

Saya berterima kasih banyak, karena Periplus telah membentuk kita selama ini. Tentu saja, buku-buku yang kita baca juga disediakan oleh Periplus. Tepuk tangan untuk Pak Judo. (Audiens bertepuk tangan.)

Oke, kita masih punya waktu tiga menit. Saya akan nekat mengambil risiko. Peraturan dari Pak Gita kepada saya adalah, “Iyas, jangan bicara politik.” (Audiens tertawa.) Tapi, beliau tidak berkata bahwa Mas Herald tidak usah berbicara soal politik. (Audiens tertawa.)

Mas Heru, apa yang menurutmu mirip antara Kerajaan Majapahit dengan “kerajaan” politis sekarang ini? (Audiens tertawa, bersorak, dan bertepuk tangan—Iyas bergumam, “Saya pasti tidak akan lagi diundang di acara ini tahun depan.” Lalu, Iyas tertawa.)

HL:

Saya bukan ahli politik. Sepertinya, banyak yang ahli politik di sini. Tapi, ada pelajaran, bukan hanya untuk Indonesia saja; juga untuk negara-negara lain. Sebetulnya, di Majapahit, orang yang paling kuat itu Gajahmada. Setelah ia meninggal, kekuasaan Majapahit mulai menurun karena Perang Paregreg dan peperangan yang mengikutinya sehingga Majapahit hancur.

Nah, mereka hancur karena tidak memiliki institusi yang kuat. Kekuatan kerajaan ada pada orangnya. Dan, untuk menstabilkan negara, kita perlu institusi yang kuat yang bisa diteruskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Kita perlu hukum yang tegak. Ajaran trias politica, kita tahu, menawarkan hal ini. Jadi, kita perlu institusi atau kelembagaan sangatlah penting untuk memajukan kebudayaannya. Akhirnya, hal ini bukan untuk Indonesia saja, tapi juga untuk semua negara di dunia.

IL:

Jawaban yang luar biasa sekali. Aman. (Audiens bertepuk tangan.)

Sekali lagi, terima kasih banyak untuk Pak Judo dan Mas Heru untuk obrolan ini.

JS dan HL:

Terima kasih kembali.

Pages: 1 2 3 4 5