Belakangan ini, di rekomendasi kanal video singkat Youtube saya, berseliweran video pendek seorang pemuda Indonesia yang saat ini bekerja di New York, Amerika Serikat. Ia bekerja di bidang kuliner. Rupanya, anak muda Indonesia ini juga pernah mengikuti kontes memasak yang ditayangkan oleh televisi swasta. Lalu, apa yang menarik dari tayangan yang dibuat oleh anak muda ini? Tidak lain adalah bagaimana dia membandingkan, barangkali tidak secara langsung maksudnya demikian, kehidupan harian antara New York dan Indonesia. Dengan bersemangat, melalui video-video singkat itu, ia menceritakan berapa dolar AS yang dia belanjakan untuk menu makan siang di New York. Pada satu kesempatan, anak muda ini mampir ke sebuah restoran masakan Indonesia ternama di New York. Ia memesan semangkuk bakso seharga US$15 atau mendekati Rp 240.000,00. Sebagai pencuci mulut, ia juga memesan semangkuk es doger yang dibanderol US$ 7.5 atau mendekati Rp 120.000,00. Tentu saja, harga-harga makanan “biasa” di Indonesia ini tidak bisa disokong dompet para pejuang UMR!
Kesenjangan antarnegara
Akan selalu menarik bagi kita untuk melihat perbandingan kehidupan sehari-hari di luar negeri dengan apa yang kita alami di Indonesia. Saya juga memiliki pengalaman pribadi soal ini. Sekitar 2008, saya pernah mengikuti acara pertukaran mahasiswa internasional. Saya turut mendampingi beberapa mahasiswa Indonesia, Jerman, dan Korea Selatan untuk live-in di perkampungan di bantaran Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta Pusat. Kebanyakan warga Bukit Duri itu sendiri berprofesi di bidang informal. Mereka, para peserta live-in, itu harus turut merasakan rumitnya mengais rezeki bagi kaum miskin kota. Ada sebagian yang turut bekerja bersama tukang ayam potong. Sebagian lagi turut membantu pembuat sapu lidi dan ijuk. Seorang mahasiswi yang berasal dari Jerman ternyata sangat sedih dan tidak tega demi melihat ada ratusan keluarga yang tinggal dan bermukim di bantaran sungai. Ia tidak pernah membayangkan bahwa ada begitu banyak keluarga yang tinggal di bantaran kali dan berjarak dari aspek kebersihan dan kesehatan yang memadai.
Di benak saya, dua pengalaman inilah yang muncul ketika membaca kabar soal penganugerahan Hadiah Nobel Ekonomi 2024 kepada tiga ekonom, Daron Acemoglu dan Simon Johnson (keduanya bekerja di Massachusetts Institute of Technology, AS), serta James A. Robinson (The University of Chicago). Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia menetapkan ketiga ekonom yang berbasis di AS ini sebagai penerima Nobel Ekonomi, karena karya mereka yang meneliti ketimpangan serta kesenjangan tingkat kesejahteraan yang terjadi di berbagai negara di dunia. Nobel Ekonomi sendiri sejatinya bukan warisan Nobel. Nama resminya agak panjang, yaitu The Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences in Memory of Alfred Nobel. Betul-betul panjang dan tentu tidak mudah untuk dilafalkan lidah orang Indonesia.
Hadiah Nobel Ekonomi
Namun demikian, ada perkara yang melatarbelakangi mengapa Hadiah Nobel Ekonomi—kita sebut demikian dalam bahasa Indonesia—memiliki nama yang begitu panjang. Pertama-tama, Hadiah Nobel Ekonomi memang bukan “orisinal” dari Alfred Nobel sendiri. Kita semua paham bahwa Alfred Nobel adalah penemu dinamit dan menjalankan usaha memperdagangkan senjata, serta memegang beberapa hak paten. Hadiah Nobel ini bersumber dari harta yang diwariskan oleh Alfred Nobel sendiri. Secara kebetulan, pada 1888 media Eropa mencatat obituari atas nama Alfred Nobel dan mengenangnya sebagai orang yang menemukan cara membunuh dengan cepat dan mengakibatkan korban yang banyak. Padahal, pada saat itu yang meninggal adalah Ludvig, kakaknya.
Akibat salah kutip tersebut, Alfred Benhard Nobel ingin mengubah citra dirinya. Ia tidak ingin dikenal sebagai penemu cara membunuh secara cepat dan menjatuhkan banyak korban. Oleh karena itu, ia mengambil keputusan untuk menghibahkan sebagian besar hartanya untuk orang-orang yang telah memberikan kontribusi besar pada kemanusiaan. Lalu, ditetapkanlah kelima Hadiah Nobel untuk bidang Perdamaian, Fisika, Kimia, Kedokteran, dan Sastra. Karena Hadiah Nobel Ekonomi bukan orisinal gagasan Alfred Nobel, maka perlu disebut bahwa hadiah ini diberikan sebagai kenangan penuh hormat—in Memory of—atas Alfred Nobel.
Kedua, pemberi Hadiah Nobel Ekonomi adalah hibah dari bank sentral Swedia, Sveriges Riksbank, kepada Yayasan Nobel. Pemberian hadiah ini sendiri baru dimulai 73 sejak kematian Alfred Nobel, yakni pada 1968. Hibah Sveriges Riksbank juga bertepatan dengan peringatan 300 tahun berdirinya bank sentral Swedia itu. Hadiah Nobel Ekonomi 2024 ini sendiri bernilai 934.000 Euro, atau sekitar Rp 15,8 miliar.
Dua macam institusi
Lalu, sumbangan apa yang ditawarkan trio Acemoglu, Johnson, dan Robinson (AJR) pada bidang ekonomi? Ketiga sahabat ini menyoroti bagaimana pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh negara-negara modern tidak pernah lepas dari pilihan sistem politik yang dianut. Lebih tepatnya, Trio AJR melakukan penelitian bagaimana institusi-institusi yang dimiliki negara modern membentuk sekaligus memberikan pengaruh pada kesejahteraan negara tersebut. Penelitian tersebut secara mendetail bisa diikuti dan ditelaah dalam Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012). Buku yang ditulis Acemoglu dan Robinson ini mengajukan sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak rumit, mengapa ada negara yang sukses dan ada negara yang gagal. Patokan kesuksesan atau kegagalan yang ditakar adalah Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Ukuran ini didasarkan pada pendapatan rata-rata penduduk sebuah negara yang dihitung berdasarkan pendapatan nasional sebuah negara dibagi dengan jumlah penduduknya.
Ketika menjawab pertanyaan dasar di atas, Trio AJR menemukan bahwa di antara negara-negara modern, terdapat jurang pemasukan yang sifatnya ajek, tetap, dan tak berubah. Jika melihat data, kita akan menemukan jurang kemakmuran negara-negara di dunia ini memiliki jarak yang hampir tak dapat dijembatani. Menurut Trio AJR, 20% negara paling kaya di dunia memiliki kekayaan 30 kali dari 20% negara paling miskin. Sungguh ketimpangan yang tak terbayangkan. Jurang kemakmuran yang tercermin dari angka PDB ini disebabkan oleh perbedaan institusi-institusi ekonomi dan politik yang dimiliki masing-masing negara di dunia. Ringkasnya, perbedaan aturan main yang diterapkan oleh setiap negara dalam bidang politik akan sangat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan negara-negara di dunia. Institusi politik dan ekonomi yang saling terkait, menurut Trio AJR, menjadi gagasan kunci untuk memperkecil jurang kesejahteraan negara-negara di dunia.
Sebelum mengupas lebih jauh soal institusi, rasanya layak menyebut gagasan yang ditawarkan Trio AJR tentang latar belakang jurang kesejahteraan negara-negara di dunia. Pada 2001, Trio AJR menuangkan gagasan penelitian mereka dalam “The Colonial Origins of Comparative Development: An Empirical Investigation” yang dimuat dalam The American Economic Review. Semuanya berawal dari era kolonial yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa di benua Afrika, Asia, dan Amerika. Kolonialisme pada gilirannya membuahkan institusi yang memiliki dua corak yang khas di wilayah-wilayah tertentu.
Bermula dari kolonialisme
Corak pertama adalah institusi yang ekstraktif, sedangkan corak kedua adalah institusi inklusif. Institusi ekstraktif dijalankan oleh sekelompok elite yang mengeruk kekayaan negara tersebut demi keuntungan mereka sendiri. Contoh institusi ekstraktif adalah apa yang dilakukan Belgia terhadap wilayah koloninya, Kongo. Di lain sisi, institusi inklusif membuka peluang bagi sebanyak mungkin bagian masyarakat untuk turut serta secara aktif berpartisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi suatu negara. Australia, Selandia Baru, atau Amerika Serikat, misalnya, adalah negara-negara yang dijalankan oleh institusi inklusif.
Dalam paper tersebut, Trio AJR melihat pula kaitan antara kolonialisme dan tingkat kematian (mortality rate) yang terjadi di wilayah-wilayah koloni. Setidak-tidaknya, mereka mendapatkan data tingkat kematian dari para pelatut, tentara, dan uskup—kita harus memahami bahwa kolonialisme Barat bersandar pada semboyan 3G; gold, glory, dan gospel. Ada pola menarik yang teramati dari data tingkat kematian ini. Semakin rendah tingkat kematian penduduk koloni, akibatnya orang-orang Eropa di koloni cenderung lebih banyak, sehingga masyarakat cenderung membentuk institusi-institusi bercorak inklusif. Pun sebaliknya, semakin tinggi tingkat kematian penduduk koloni akan membuat penduduk Eropa di dalam koloni lebih sedikit. Akibatnya, masyarakat akan cenderung dijalankan oleh institusi-institusi ekstraktif.
Institusi-institusi inklusif di tanah koloni umumnya mengakui hak-hak kepemilikan dan mempromosikan demokrasi. Inilah yang membuat negara mampu meraih kesejahteraan. Sementara itu, institusi ekstraktif akan cenderung mempromosikan perampasan-perampasan atas hak milik demi kepentingan elite pemerintahan. Bentuk pemerintahan pun akan bercorak autokrasi, sehingga kekuasaan pemerintahan berada di tangan satu orang secara mutlak. Institusi yang bercorak inklusif dalam jangka waktu yang panjang akan membuat sebuah negara mencapai kesejahteraan. Sebaliknya, institusi yang bercorak ekstraktif, seiring berjalannya waktu, akan membuat sebuah negara sulit untuk keluar dari kemiskinan.
Teori konflik dan persoalan kepercayaan
Dari sini, kita bisa mengajukan sebuah pertanyaan: jika institusi yang inklusif bisa mendongkrak kesejahteraan sebuah negara, mengapa hal ini tidak banyak yang mengadopsinya? Trio AJR menjawab pertanyaan ini dengan mengajukan kerangka model teori permainan. Gagasan dasarnya ada pada konflik antara kelompok elite yang menguasai kekayaan dan pemerintahan dengan kelompok massa yang lebih miskin. Di sini, kita bisa melihat persoalan mendasar, yaitu persoalan kepercayaan (the problem of credibility).
Untuk menjelaskan persoalan ini, ada tiga tahap yang harus dipahami. Pertama, bayangkan seseorang dari golongan elite penguasa yang tinggal di sebuah kastil. Dari menara kastilnya, penguasa ini biasanya mengumumkan kebijakan yang akan diterapkan ke seluruh negeri. Pada suatu kali, di benak sang penguasa, terlintas gagasan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sang penguasa menjanjikan perubahan di bidang ekonomi. Ia berkomitmen pada orang banyak untuk lebih memberikan perlindungan lebih hak milik, misalnya saja memberikan pengurangan pajak. Hal ini akan berjalan jika ada perubahan pada institusi politik yang mengatur kebijakan untuk masyarakat biasa. Masyarakat pada dasarnya paham, bahwa tanpa institusi yang sifatnya inklusif, elite penguasa bisa “merampas” apa yang mereka miliki dengan mengubah kebijakan bersama. (Lihat Gambar 1) Institusi ekstraktif, menurut Trio AJR, akan masuk dalam jebakan kondisi konflik antara kaum elite penguasa politik dan ekonomi berhadapan mayarakat biasa yang tidak memliki akses pada penguasaan politik dan ekonomi. Inilah yang dikenal dengan “masalah komitmen” (the commitment problem).
Tahap kedua, berhadapan dengan “masalah komitmen”, massa orang biasa ini hanya memiliki kekuatan mobilisasi. Massa biasa memang tidak memiliki akses pada kekuasaan politik dan ekonomi. Namun demikian, massa itu sendiri adalah kekuatan, karena jumlah mereka. Sejarah telah membuktikan bagaimana massa yang turun ke jalan untuk menuntut hak-hak mereka telah membuat nyali para penguasa lalim ciut. Massa yang turun ke jalan menuntut perubahan sosial akan melahirkan revolusi. Ketika revolusi sosial terjadi, hanya ada dua kemungkinan yang tersaji. Revolusi bisa menempuh jalan menggunakan kekerasan, berdarah-darah. Revolusi Prancis yang terjadi pada 1789 yang menggulingkan pemerintahan elite Prancis. Akibatnya, pada 1792 Raja Louis XVI dan permaisurinya, Marie Antoinette, dianggap bersalah dan dijatuhi hukuman pancung. (Lihat Gambar 2) Namun demikian, pilihan revolusi tanpa kekerasan pun masih terbuka. Rakyat Filipina pernah melakukan demonstrasi massal yang relatif damai untuk mengakhiri rezim Ferdinand Marcos dan menggagalkan pelantikan Corazon Aquino sebagai presiden. Kejadian ini menjadikan politik Filipina menjadi lebih demokratis.
Yang pasti, revolusi yang diusahakan oleh massa menuntut reaksi dari elite penguasa. Elite penguasa bisa saja memberi janji pada massa untuk melakukan perubahan sosial. Namun demikian, massa masih bisa menyangsikan janji yang ditawarkan oleh elite penguasa. Masalahnya, massa juga tidak bisa dianggap terlalu naif dan akan percaya begitu saja atas apa yang dikatakan oleh elite penguasa.
Ketika massa mulai menuntut revolusi, mau tidak mau, institusi kekuasaan harus berubah. Revolusi memang menjadi ancaman bagi rezim penguasa. Berhadapan dengan revolusi, pilihan terbaik yang bisa dibuat oleh rezim penguasa adalah “membagi” kekuasaan. Kekuasaan yang terbagi inilah yang membuat institusi-institusi politik dan ekonomi jadi lebih terbuka pada perubahan. Akibatnya, sebagian dari massa inilah yang memegang kekuasaan dan menentukan pembagian “kue” ekonomi. Konsep penguasa tunggal tidak lagi laku dan ditinggalkan oleh masyarakat. Institusi semakin inklusif dan sistem politik demokrasi menjadi jalan terbaik bagi kondisi sosial masyarakat. (Lihat Gambar 3)
Menurut The Royal Swedish Academy of Sciences, yang memberikan Hadiah Nobel Ekonomi 2024 pada Trio AJR, penelitian ketiganya, terutama dalam How Nations Fail, telah memberikan sumbangan baik secara teoretis dan empiris. Secara Teoretis, penelitian Trio AJR membuat kita memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana institusi-institusi terbentuk, juga mengapa institusi tersebut menolak atau turut dalam perubahan sosial. Lalu, secara empiris, penelitian Trio AJR memperlihatkan bagaimana dampak institusi-institusi sosial terhadap kesejahteraan sebuah negara. Secara ringkas, pekerjaan dan penelitian Trio AJR membawa wawasan tentang pentingnya mendukung demokrasi, membangun bersama institusi politik dan ekonomi yang lebih inklusif, sebagai salah satu cara penting untuk meraih perkembangan ekonomi. Dengan demikian, jurang perbedaan pendapatan di antara negara-negara di dunia semakin bisa dihapuskan.
Sekilas kritik
Konon, kita mengenal sebuah pepatah bijak, tak ada gading yang tak retak. Meskipun penelitian Trio AJR tentang kerentanan sebuah negara telah menghabiskan waktu lebih dari satu dekade, sejak 2001 hingga 2012, dan mengantar ketiga sahabat sepemikiran ini meraih Hadiah Nobel Ekonomi 2024, gagasan mereka pun masih menuai beberapa kritik. Yuen Yuen Ang, penulis How China Escaped the Poverty Trap (2016) dan pengajar Ilmu Politik pada Johns Hopkins University, Amerika Serikat, menilai bahwa kerangka pemikiran yang digunakan oleh Trio AJR untuk melihat persoalan jurang kesenjangan kesejahteraan di antara negara-negara hanya menyederhanakan persoalan pada kualitas institusi-institusi sebuah negara saja. Ketiganya seolah-olah melupakan faktor-faktor lainnya, seperti kebudayaan, geografi, sejarah, dan hubungan internasional.
Ang mengusung pandangan bahwa proses perkembangna sebuah negara bersifat “ko-evolusi”. Ada evolusi—perubahan yang berlangsung sedikit demi sedikit dalam waktu yang relatif panjang—bersama antara pasar dan masyarakat. Negara seperti Tiongkok di era modern, misalnya, cenderung tidak memiliki institusi-institusi yang sifatnya inklusif. Namun demikian, di mata Ang, Tiongkok modern mengalami proses yang disebutnya sebagai “improvisasi terarah” (directed improvisasion). Pertumbuhan ekonomi Tiongkok terjadi secara signifikan di bawah institusi pemerintahan yang menurut Trio AJR bersifat ekstraktif. Pemerintahan Tiongkok yang didominasi oleh Partai Komunis Tiongkok, misalnya, memang memiliki pola yang ekstraktif, meskipun pada prosesnya selalu melakukan eksperimen yang membuat pertumbuhan dan tingkat kesejahteraan Tiongkok melejit dalam 50 tahun belakangan. Ang memandang bahwa perubahan institusional yang disyaratkan oleh Trio AJR niscaya berjalan cepat, sehingga mengabaikan proses dan perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan. Ang juga melihat seolah-olah jurang kesenjangan kesejahteraan antarnegara hanya bisa diusahakan melalui demokrasi model masyarakat Barat. Padahal, Tiongkok atau Singapura membuktikan bahwa rezim autokrasi bisa juga membuahkan kesejahteraan.
Selain Ang, kritik juga diungkapkan oleh Jared Diamond, sejarawan penulis Guns, Germs, and Steel (1997). Diamond melihat bahwa Acemoglu, dan kawan-kawan, mengabaikan peranan aspek geografis dalam mewujudkan kesuksesan sebuah negara bangsa. Menurut Diamond, aspek-aspek geografis sebuah negara yang meliputi akses pada jalur perdagangan, sumber daya alam, dan iklim adalah aspek penentu kesusksesan sebuah negara, terutama pada fase-fase awal perkembangannya. Trio AJR, memang memberi perhatian pada aspek geografis, meskipun titik berat gagasan mereka tetaplah aspek institusional. Inilah yang menyebabkan pandangan Trio AJR dirasa terlalu menyederhanakan persoalan. Padahal, sejauh kita bisa berpikir dengan sedikit rasional, perubahan institusi politik dan ekonomi sebuah negara tetap dipengaruhi oleh situasi lokal yang dimilikinya, warisan sejarahnya, dan realitas geopolitisnya.
Jason Hickel, antropolog, penulis, dan pengajar pada London School of Economics memberikan penjelasan yang berseberangan dengan pandangan Trio AJR. Ia melihat bahwa penduduk koloni dari Eropa mengalami perkembangan yang lebih cepat bukan karena memiliki institusi-institusi yang lebih baik. Menurutnya, perkembangan itu diraih berkat mereka memegang teguh apa yang menjadi inti dari kolonialisme yang mengarah pada faktor geopolitik dan perdagangan. Kedua faktor ini pada gilirannya digunakan untuk membiayai industrialisasi berkat kelebihan hasil sumber daya alam dari wilayah koloni. Kebijakan industri yang digunakan terhadap pemerintahan kolonial ini juga dilindungi oleh pemerintahan Barat, sehingga tidak pernah menjadi sasaran bagi intervensi militer, sanksi, atau kampanye yang mengakibatkan ketidakstabilan politik. Pemerintahan kolonial akan selalu didukung oleh pemerintahan dari negara Barat. Menurut Joon Chang, kondisi ini seolah menendang tangga menuju pembangunan dan kemakmuran wilayah koloni. Kritik yang ditawarkan Hickel dan Chang ini tentunya mempertanyakan kembali kepercayaan bahwa mengimpor institusi Barat, seperti demokrasi, ke wilayah koloni adalah obat mujarab untuk mencapai kemajuan dan kesetaraan kesejahteraan.
***
Penganugerahan Hadiah Nobel Ekonomi 2024 kepada Trio Acemoglu, Johnson, dan Robinson, para ekonom, menandakan betapa kita semua memiliki kerinduan terdalam untuk meraih kesetaraan dan memangkas jarak kesenjangan. Plihan yang ditempuh oleh Trio AJR menitikberatkan pada gagasan bahwa institusi-institusi yang baik atau buruk akan menentukan tingkat kesejahteraan setiap negara. Kritik muncul atas pilihan penekanan gagasan Trio AJR pada institusi. Sebab, ada beberapa contoh anomali yang tidak dapat dijelaskan secara komprehensif oleh teori yang diajukan oleh Trio AJR. Teori yang mereka sajikan terkesan terlalu menyederhanakan persoalan, dan mengabaikan kerumitan yang melatarbelakangi mengapa sebuah negara bisa mencapai tingkat kemakmuran yang mencukupi sementara negara lain tidak pernah mencapai tingkat kesejahteraan yang layak. Pada akhirnya, gagasan yang ditawarkan oleh Trio AJR adalah penelitian yang memberikan bukti-bukti yang kuat. Penelitian ini memberi kerangka gagasan yang berguna tentang pentingnya institusi-institusi sebuah negara. Namun demikian, kerangka pemikiran ini memerlukan kelengkapan analisis terhadap faktor geografis, budaya, dan perubahan institusi yang berjalan perlahan-lahan.
Karya Trio AJR mencerminkan jalan panjang manusia meraih kesetaraan dan keadilan. Mungkin, inilah cita-cita terdalam umat manusia, dambaan terdalam kita sebagai manusia. John Lennon bahkan telah menggambarkan dengan baik kerinduan ini. Tentu saja bukan lewat gagasan akademik melalui esai atau buku tentang teori perubahan sosial. Lennon punya caranya sendiri, yakni melalui sebuah lagu yang ditulis pada 1971 berjudul Imagine. Dalam lagu itu, Lennon menulis betapa dirinya merindukan sebuah dunia yang dibangun atas kesadaran bersama, tanpa ide tentang kepemilikan pribadi yang akan memunculkan kaum tamak di satu sisi dan orang-orang yang kelaparan di sisi lain. Manusia, dalam dambaan Lennon, hadir sebagai sesama saudara dalam kemanusiaan.
Imagine no possessions/I wonder if you can/No need for greed or hunger/A brotherhood of man.
Jika Bibliobesties ingin membaca ulasan lainnya, temukan di sini!