Merawat Kebahagiaan a la Biksu Haemin Sunim

0
Share

Jumat, 5 Juli 2024, sekitar pukul 20:00 waktu Seoul. Seorang pria, berkepala plontos, dengan jubah Buddhis Zen abu-abu muncul di layar. Pria itu berkata, “Di Seoul cuacanya sedang bagus hari ini, meskipun kami memang sedang masuk ke masa-masa musim penghujan.” Pria yang berbicara soal cuaca di Seoul malam itu bukan kaleng-kaleng. Dialah Haemin Sunim, seorang biksu Buddhisme Zen dari Biara Buddhis Haein di Korea Selatan. Latar belakang pendidikan Biksu Sunim juga bukan kaleng-kaleng, karena ia pernah mencecap pendidikan di universitas kondang di dunia, seperti Universitas Berkeley, Harvard, dan Princeton. Biksu Sunim juga mengajar religi Asia di Hampshire College di Massachusetts, Amerika Serikat selama tujuh tahun.

Biksu Haemin Sunim tampil di layar seminar web senja itu demi mempromosikan buku terbarunya, When Things Don’t Go Your Way: Zen Wisdom for Difficult Times (2024). Sebelumnya, Biksu Sunim telah menulis dua buku, The Things You Can See Only When You Slow Down (2017) dan Love for Imperfect Things (2018). The Things You Can Only When You Slow Down sendiri adalah permenungan Biksu Haemin Sunim atas dunia modern yang bergerak cepat, hampir-hampir tak terkendali. Gerak serbacepat ini sendiri, dalam pandangan Biksu Haemin Sunim, hanya menyisakan sedikit ruang untuk bersyukur atas hal-hal kecil dalam kehidupan. Sementara itu, dalam Love for Imperfect Things, Biksu Sunim mengingatkan agar kita sepenuhnya menerima kekurangan diri sendiri untuk merajut kembali hubungan dengan diri dan orang lain yang membahagiakan. Untuk mencapai kesempurnaan, terutama dalam konteks cinta kasih, pertama yang harus kita bereskan adalah urusan dengan diri kita sendiri.

Buku terbaru Biksu Haemin Sunim, When Things Don’t Go Your Way adalah sebuah pengalaman personal—ia memakai istilah “perjalanan pribadi” (personal journey)—ketika menjalani masa-masa berat dalam hidup. Buku ini juga bisa dikatakan sebuah refleksi yang membawanya pada level apresiasi yang semakin tinggi pada kehidupannya, baik sebagai Biksu Buddhisme Zen dan manusia seutuhnya. Biksu Haemin Sunim, meskipun telah larut dalam hidup rohani, tetaplah seorang manusia yang mampu merasakan kekecewaan, kemarahan, kecemburuan dan perasaan manusiawi apa pun. Struktur buku ini juga tidak rumit. Enam bab yang tersaji dalam buku ini disusun dari tiga esai yang memang bertumpu pada pengalaman personal, lalu dijahit bersama stanza yang menggambarkan pengalaman “a-ha” dan pengalaman “aduh”.

Dari perjumpaan selama sekitar dua jam melalui ruang virtual yang lalu, setidak-tidaknya ada empat hal yang mengemuka. Keempat hal itu layak mendapat perhatian secara saksama. Empat hal ini sebenarnya sekadar kilasan-kilasan, tak hendak merangkum secara baku dan menyeluruh perjumpaan dengan Biksu Sunim. Sebab, bukankah pada kilasan-kilasan, yang seolah terserak-serak dan tidak menyeluruh, sebuah perjumpaan menjadi bermakna?

Biksu Sunim juga manusia

Apakah sebagai biksu yang telah menjalani laku rohani ketat, juga telah menulis beberapa buku permenungan tentang laku Buddhisme Zen masih bisa merasa tidak bahagia? Jawaban Biksu Haemin Sunim cukup jelas: masih. Di bagian awal When Things Don’t Go Your Way, Biksu Sunim menceritakan bagaimana hatinya juga sempat hancur ketika membaca reaksi orang lain atas dirinya.

Hal ini berawal pada musim dingin 2020, saat Biksu Sunim menyetujui wawancara dengan sebuah televisi Korea yang lazim mendokumentasikan kehidupan sehari-hari tokoh ternama di Korea. Biksu Haemin Sunim kala itu tinggal di sebuah rumah yang dibelinya berkat royalti dari penjualan bukunya untuk orang tuanya. Kepemilikan rumah itu pun sudah diserahkan pada ordo Buddhisme tempatnya mengabdi. Namun, berkat acara itu, Biksu Haemin Sunim malahan mendapat kecaman di sana-sini. Di akun media sosialnya, ia dihujat karena dirasa tidak menjalankan kehidupan seorang biksu yang berjarak dengan urusan kepemilikan. Seorang biksu yang lebih senior pun menulis komentar yang menyebutnya sebagai seorang “parasit” dan “sang penghibur” tanpa secuil pun pengetahuan tentang Buddhisme “sejati”.

Biksu Sunim benar-benar merasa kewalahan menanggapi berbagai tuduhan yang diarahkan kepadanya. Bakan, rumor itu bergulir lebih jauh, dan membuat kisah bahwa rumah yang dimilikinya adalah sebuah rumah mewah. Rumor lainnya mengatakan bahwa Biksu Haemin Sunim memiliki sebuah mobil Ferrari. Hal ini sungguh meremukkan hatinya, sebab Biksu Sunim bahkan tidak memiliki SIM terbitan kepolisian Korea!

Menghadapi kesusahan itu, Biksu Haemin Sunim membiarkan dirinya merasa sedang tidak baik-baik saja. Dengan mengakui dan merangkul ketidakbahagiaan, Biksu Haemin Sunim masuk pada taraf penerimaan. Menerima pengalaman sebagaimana adanya, seburuk, segelap, dan sepahit apa pun adalah praktik untuk menyerap pelajaran dari apa yang terjadi. Setelahnya, yang dilakukan Biksu Sunim adalah sejenak menarik diri dari lingkungan sekitar. Pada titik ini, sangat penting untuk megidentifikasi rasa-perasaan yang menyelimuti. Pada akhirnya, Biksu Sunim berhasil mengidentifikasi akar dari rasa-perasaan yang menyelimutinya pada masa-masa berat itu: rasa takut.

Mengapa kita tak berbahagia?

Setelah menemukan bahwa rasa takut sebagai akar emosionalnya, ia masuk lebih dalam ke wilayah batinnya dan bertanya pada dirinya sendiri, “Apa yang sebenarnya membuatnya takut?” Pertanyaan ini lalu membuatnya tersadar bahwa ia memiliki ketakutan ketika tidak lagi bisa menyediakan apa pun yang dibutuhkan orang-orang yang menggantungkan hidup kepadanya. Setelah menyadari ini dalam keheningan, secara tiba-tiba Biksu Haemin Sunim teringat pengalaman masa kecilnya.

Sunim kecil tengah tersesat di sebuah pasar yang cukup besar. Dengan gelisah, ia mencari-cari di mana ibunya. Haemin Sunim kecil mulai menitikkan air mata dan mengalami kepanikan yang luar biasa, sehingga terasa seperti berdiri di hadapan maut. Lalu, entah dari mana seorang perempuan yang lebih tua meraih tanggannya dan berjanji mengantar Sunim kecil pada ibunya. Haemin Sunim kecil menurut dengan sedikit terpaksa.

Setelah sampai di rumah si perempuan tua, Haemin Sunim kecil melihat seorang lelaki dengan sosok menyeramkan. Sunim kecil justru tidak menemukan ibunya. Demi merasakan hawa yang tidak benar, Haemin Sunim kecil kabur meninggalkan rumah perempuan itu dan berlari kembali ke pasar secepat yang dia bisa. Setelah berkeliling pasar dengan panik selama beberapa waktu, Haemin Sunim kecil akhirnya melihat ibunya hampir putus asa mencari-carinya.

Trauma yang dialami Sunim kecil ini memengaruhi masa dewasa Biksu Sunim. Ketakutan utama yang menjadi akar emosional Biksu Sunim adalah rasa takut ditinggalkan. Selama bertahun-tahun, rupanya Biksu Sunim mengabaikan sisi masa kecil batiniah dirinya sendiri, yang jika diperhatikan, selalu merasa terpisah dari cinta kasih, kehangatan, dan rasa aman akibat trauma masa kecil yang dialaminya.

Trauma, hal-hal berat, dan segala kesulitan secara umum diyakini sebagai sumber kesengsaraan. Namun, mengapa sejatinya kita tidak merasakan bahagia? Biksu Sunim memiliki jawaban yang jelas untuk pertanyaan ini, tentu saja dipengaruhi spiritualitas Zen Buddhisme. Kesengsaraan hadir dalam kehidupan kita karena kita tidak mampu menemukan kedamaian dalam ke-apa-ada-an. Ada dua aspek yang bisa diperdalam di sini, yaitu menguasai (grasp) dan menolak (resist).

Gagasan dasarnya adalah demikian. Ketika kita melihat atau mengalami sesuatu atau sebuah peristiwa yang menyenangkan, pikiran kita akan “melekat” pada barang atau peristiwa yang menyenangkan tersebut. Sebaliknya, ketika mengalami peristiwa atau melihat barang yang membuat hati tidak senang, secara otomatis pikiran kita akan meminta kita menghindarinya. Mungkin, gambarannya seperti seorang anak yang disodori ayam goreng tepung dengan merek terkenal dan brokoli dan wortel rebus. Secara umum, anak yang diberi ayam goreng tepung akan merasakan sensasi rasa yang enak sehingga akan terus-menerus meminta orang tuanya membelikan ayam goreng tepung tersebut. Di lain sisi, brokoli dan wortel rebus yang dirasakan si anak tidak seenak ayam goreng tepung, tentu akan dihindari. Si anak mungkin hanya akan bertahan pada gigitan pertama dan melepeh brokoli dan wortel rebus yang disediakan orang tuanya.

Dalam Buddhisme Zen yang didalami oleh Biksu Sunim, penderitaan yang sering kita alami tidak lain bermula dari aktivitas mental yang secara ajek terarah pada bermacam objek. Keterarahan mental pada objek-objek yang banyak dan beragam ini membuat pikiran kita seolah-olah berayun ke sana kemari: mencoba menguasai apa yang tidak kita miliki, sekaligus menolak semua yang sudah kita punya. Biksu Sunim menggambarkan dengan bagus kondisi ini: sebuah situasi bergumul dan sibuk secara kekal (a perpetual state of struggle and busyness).

Pikiran yang berayun ke sana kemari inilah yang kemudian membuat kita merasa menjadi “korban” ketika sesuatu berjalan tidak seperti yang kita harapkan. Lebih jauh lagi, menurut Biksu Sunim, pikiran tidak lain adalah sebuah agen antara yang bertugas untuk menafsirkan rasa-perasaan apa yang muncul di dalam diri kita terkait apa yang sedang terjadi di sekitar kita. Tafsiran kita atas realitas inilah yang sebenarnya menjadi sumber bagi kesengsaraan (atau bahkan kebahagiaan) yang kita rasakan.

Ambil contoh sederhana, misalnya ada sebuah pines yang tergeletak di lantai yang tanpa sengaja terinjak kaki. Pikiran kita akan menggerakkan tubuh untuk mengangkat kaki, berteriak mengaduh, dan mencabut pines di telapak kaki. Namun demikian, pikiran yang terlatih akan mampu membuat kita waspada dan berhati-hati ketika melangkahkan kaki sehingga kita tidak menderita karena menginjak pines tanpa sengaja. Padahal, jika kita mau jujur dan melihat secara apa adanya, pines yang tergeletak di lantai tidak membuat diri kita tertarik untuk menginjaknya. Sebab, situasi ke-apa-ada-an adalah netral, artinya pines yang tergeletak di lantai hanya tergeletak begitu saja. Kita bisa menyingkirkannya sehingga tidak membahayakan diri kita atau orang lain. Namun, kita bisa saja tanpa sengaja menginjaknya (atau juga tidak menginjaknya), sehingga membuat telapak kaki kita kesakitan.

Belajar mencintai dan mengasihi

Dalam diskusi yang terjadi pada kesempatan seminar web tersebut, Biksu Sunim mendapatkan pertanyaan yang cukup menarik dari seorang panelis. Tema pertanyaannya adalah tentang memberi perhatian tentang diri sendiri (self-care). Biksu Sunim mengajak kita menyadari bahwa memang ada banyak hal di dunia ini yang bisa memantik rasa sengsara dalam diri kita. Namun demikian, ada sisi lain yang perlu kita kembangkan, yaitu kesadaran bahwa diri kita berharga. Dalam bukunya yang lain, Love for Imperfect Things, Biksu Sunim menulis bahwa kita perlu benar-benar menyadari bahwa “siapa pun diriku, aku layak untuk mendapatkan cinta kasih.” Setelah kita tahu akar dari kesengsaraan dan penderitaan yang sering dialami, rasanya kita juga perlu mampu untuk mencintai dan mengasihi diri kita sendiri. Itulah keseimbangan yang akan membawa kita mampu menjalani kehidupan dengan lebih bahagia.

Lebih lanjut, Biksu Sunim menegaskan bahwa mencintai diri itu aspek yang penting untuk bisa mencapai bahagia yang sejati. Orang kebanyakan juga tidak jarang secara umum melekatkan egoisme sama dengan memberi perhatian pada diri sendiri. Padahal, menurut Biksu Sunim, memberi perhatian pada diri sendiri adalah bentuk penghargaan atas eksistensi kita sebagai manusia yang memang memiliki kelayakan untuk dikasihi. Sementara itu, egoisme memaksa orang lain dan sesama untuk “memenuhi” kebutuhan cinta kasih yang kita butuhkan. Sederhananya, ini adalah soal tahu batas. Sejauh kebutuhan cinta kasih itu tidak melebihi batas kewajaran, itulah sebentuk perhatian yang pantas untuk diri kita. Namun, ketika kebutuhan akan cinta itu melebihi batas wajar, rasanya kita sudah menjadi egois.

Ada ide menarik yang ditawarkan oleh Biksu Sunim untuk memberi perhatian secara wajar kepada diri sendiri, sebagai cara memelihara kebahagiaan. Alih-alih mengubah kerangka berpikir dan cara memandang dunia, Biksu Sunim menganjurkan langkah-langkah yang jauh lebih sederhana untuk dilakukan. Bahkan, Biksu Sunim menyadari betapa sulitnya mengubah kerangka berpikir, sehingga kita benar-benar bisa merasakan kebahagiaan!

Setidak-tidaknya, Biksu Sunim menyarankan delapan cara untuk menjadi lebih berbahagia dengan cara memberi perhatian secara layak pada diri sendiri. Pertama-tama, tidur dan beristirahat cukup. Biksu Sunim bahkan menyarankan agar kita beranjak tidur tidak larut malam. Pukul 22.30 adalah waktu paling telat untuk tidur cukup, kata Biksu Sunim, sebab ketika tubuh kita tidak cukup istirahat maka kita akan cenderung merasa mudah jengkel. Mengonsumsi makanan bergizi dan enak adalah cara kedua menjadi lebih bahagia. Sempatkan waktu dan keluarkan lebih banyak uang untuk berbelanja dan membuat makanan sendiri. Memasak membeli bahan makanan yang lebih segar dan sehat adalah cara untuk mengapresiasi diri sendiri. Lalu, jangan lupa berolah raga secara teratur. Ketika rajin berolah raga, kita akan membuat badan bergerak, sehingga otot tubuh kita bertumbuh. Hal ini tentu akan membuat kita lebih percaya diri, selain menghilangkan rasa kesepian dalam diri kita. Hal keempat adalah sempatkan waktu untuk berkonsultasi dengan para profesional yang memang bisa membantu kita saat menghadapi masalah psikologis. Kita bisa bertemu psikolog atau psikoterapis. Tentu saja, kita perlu memerhatikan anggaran yang kita miliki pada titik ini. Atau, carilah kawan bercerita yang tidak akan menghakimi kita. Kawan atau psikoterapis akan memberikan pendapat mereka di mana kita mentok dalam hidup atau juga bilamana kita telah mengalami kemajuan.

Selanjutnya, kita juga bisa membuat jurnal harian tertulis. Di sini, menulis bisa menjadi terapi bagi jiwa kita. Jurnal tertulis yang kita buat tidak akan menghakimi perasaan dan gagasan yang kita tuliskan. Selain itu, jurnal bisa membuat kita lebih transparan terhadap diri kita sendiri, karena kita tidak perlu khawatir dihakimi orang lain. Biksu Sunim juga menyebut bahwa menari bisa juga membuat kita lebih bahagia. Ketika kita mengalami masa sulit, otot-otot tubuh kita pun mengalami tekanan, sehingga jadi terasa kaku. Menari adalah cara untuk membebaskan tekanan emosional yang berpengaruh pada otot-otot tubuh kita. Cara ketujuh yang disebutkan oleh Biksu Sunim adalah salah satu yang paling umum, yaitu mendengarkan musik. Putar musik yang kita senangi, lalu menarilah. Jangan pedulikan apakah gerakan yang kita buat saat mendengarkan musik sudah cukup estetik atau belum. Bergeraklah sesuai irama dan gunakan intuisi musikal yang kita miliki. Langkah terakhir yang ditawarkan oleh Biksu Sunim adalah dengan melukis. Lagi-lagi, jangan pedulikan kemampuan estetis atau teknis dalam melukis. Melalui kegiatan melukis, kita bisa mengomunikasikan dan mengekspresikan rasa-perasaan yang mungkin tidak dapat kita ungkapkan melalui kata-kata maupun gerakan.

Satu hal lagi yang diingatkan oleh Biksu Sunim soal menumbuhkan cinta kasih dalam diri kita adalah soal bersyukur (gratitude). Menurut Biksu Sunim, kita bisa merasakan cinta tanpa syarat, cinta yang sepenuh-penuhnya, ketika kita memiliki kebiasaan bersyukur. Salah satu cara yang diajarkan oleh Biksu Sunim untuk bisa mencecapi kabahagiaan tanpa syarat adalah dengan membayangan bahwa dalam diri kita selalu ada bocah batiniah (inner child) yang butuh kasih sayang dan perhatian kita. Kita bisa menyapa bocah batiniah yang ada di dalam diri kita baik saat mengalami masa berat maupun ketika merasa senang. Libatkan bocah batin yang ada di dalam diri dalam keseharian kita, ajak dia berkomunikasi dengan mendalam dan penuh hormat, niscaya kita akan bisa bersyukur atas kehidupan kita. Setidak-tidaknya, meskipun kita pernah mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan di masa lalu, kita masih bisa melanjutkan hidup. Dan, kemampuan kita untuk melewati masa-masa berat dalam hidup adalah kemampuan super yang setiap dari kita memilikinya.

Ya Tuhan, jagalah ibuku

Kembali ke acara seminar web, ada pertanyaan “menantang” yang disampaikan oleh salah seorang peserta. Ia memberi latar belakang, bahwa saat ini dirinya sedang merawat ibunya yang tengah menderita kanker stadium tiga. Hal ini membuat pikirannya berkecamuk, penuh kekalutan, sehingga amat sulit menemukan ketenangan hati. Hal terbaik untuk sang ibunda memang tengah diusahakan, meskipun selalu ada rasa takut terkait kondisi ibunda. Si penanya lalu meminta saran kepada Biksu Sunim. Biksu Sunim nampak menyiratkan empati, dan ini bisa kita tangkap dari raut wajahnya yang ada di layar. Sejurus setelah mencerna pertanyaan yang disampaikan oleh moderator seminar web, barulah Biksu Sunim melontarkan jawaban. Ia lalu mengajak untuk masuk kepada kesadaran bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Dimensi spiritual ini, menurut Biksu Sunim, memiliki keluasan yang lebih tinggi daripada sekadar aliran agama tertentu. Lepas dari penyebutan dan ragam aliran kepercayaan yang dianut, setiap manusia pasti memiliki kepercayaan pada entitas yang lebih agung dari dirinya. Orang-orang beragama secara umum menyebutnya Tuhan atau Allah.

Dalam konteks kepercayaan pada Tuhan atau Allah itu, kita meyakini bahwa selain dimensi wadak, manusia juga memiliki dimensi rohani. Sebagai entitas yang tersusun dari jiwa dan raga, rohani dan wadak, kita perlu menyadari bersama bahwa aspek badaniah manusia bisa mengalami penurunan berkat usia yang bertambah atau penyakit yang diderita. Dengan demikian, penurunan kualitas ragawi akan membawa manusia pada sebuah titik akhir, yaitu kematian. Namun demikian, aspek rohani manusia bersifat kekal dan abadi. Setelah kematian menjelang, sebagai roh, kita tidak bisa sirna. Tepat di sinilah, menurut Biksu Sunim, tantangan keimanan kita diuji. Iman, menurut Biksu Sunim, adalah kepercayaan yang tak tergoyahkan (the unshakable trust). Orang beriman sejatinya percaya bahwa keabadian rohani itu adalah keniscayaan yang tidak tergoyahkan. Pada level ini, pada akhirnya orang akan mencapai tahap penerimaan (spiritual acceptance). Dengan penerimaan, orang beriman meyakini bahwa roh orang yang meninggal pun akan baik-baik saja di alam sana. Satu catatan kecil, menurut Biksu Sunim, seseorang yang sedang merawat orang lain jangan sampai melupakan bahwa dirinya juga membutuhkan kekuatan kasih. Untuk itu, agar tidak melulu didera kesedihan dan kekhawatiran atas orang yang dirawat, ada baiknya untuk mengambil jeda. Biksu Sunim menganjurkan agar si penanya bergantian dengan saudara atau orang dekatnya dalam merawat ibundanya. Waktu jeda ini bisa digunakan untuk melakukan hal-hal yang disenangi, sehingga bisa menjaga kesehatan mentalnya pula.

Biksu Sunim sendiri sebenarnya juga pernah mengalami pengalaman yang kurang lebih serupa. Dalam Love for Imperfect Things, Biksu Sunim membagikan pengalamannya merawat sang ibunda. Setiap kali pulang ke Korea Selatan, Biksu Sunim memang selalu menyempatkan diri untuk tinggal sepekan bersama orang tuanya. Dirinya menyadari bahwa ibunya sudah tidak muda lagi. Rambut ibundanya semakin memutih. Giginya pun sudah banyak yang tanggal. Lalu, suatu kali, Biksu Sunim mendapat kabar dari ayahnya, bahwa sang ibu sedang sakit. Berita ini tentu membuat hati Biksu Sunim ciut. Ibunda yang dibayangkannya selalu dalam keadaan sehat walafiat ternyata kini harus dirawat. Biksu Sunim memutuskan untuk pulang dan menemani perawatan ibunya selama sebulan penuh. Untung saja, penyakit ibundanya masih bisa disembuhkan. Namun demikian, merefleksikan pengalaman ini, Biksu Sunim mengemukakan gagasan yang bisa dipandang sebagai ironi. Sementara Biksu Sunim banyak mendoakan dan memberkati orang lain, kadang ia tidak memiliki waktu untuk seslalu bersama ibunya. Saat berada dalam situasi tersebut, Biksu Sunim hanya mampu membayangkan menggenggam tangan ibundanya dan menyatakan betapa ia mengasihi sang ibunda.

Seringkali, karena berbagai keterbatasan, kita memang tidak selalu bisa berdekatan dengan orang-orang yang terkasih. Namun demikian, kebersamaan dengan mereka masih bisa kita jalin melalui doa. Mengakhiri renungannya, Biksu Sunim juga berkisah bagaimana novel Korea berjudul Please Look After Mom (2011) karya Kyung-Sook Shin. Tokoh di akhir kisah novel itu mengadakan perjalanan ke Vatikan dan meletakkan seuntai rosario di sebuah patung pieta, sambil berdoa agar Bunda Maria menjaga ibundanya. Setelah menemani ibundanya memulihkan diri, Biksu Sunim harus meninggalkan Korea Selatan. Hatinya dipenuhi kesedihan dan belas kasih. Sebagaimana dilakukan tokoh novel tersebut, iajuga melambungkan doa kepada Bodhisattva Avalokitesvara, Bunda Belas Kasih dan Pengayom, agar melindungi ibundanya.

***

Seminar web yang diprakarsai oleh Periplus, bekerja sama dengan penerbit Penguin Life itu bergulir selama hampir dua jam. Keterbatasan ruang yang dijembatani oleh teknologi ini tidak menyusutkan keinginan besar para pembaca buku Biksu Sunim di Indonesia, juga beberapa wilayah Asia Tenggara lain, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Kamboja; lalu ada pula peserta dari India, Jepang, Rusia, dan Australia. Tim pendaftaran mencatat ada lebih dari 250 peserta seminar web, yang didominasi oleh Generasi Z dan Generasi Milenial akhir. Rasanya, dari data ini kita bisa melihat betapa isu kesehatan mental dan pencarian kebahagiaan memang sungguh relevan bagi generasi produktif di Indonesia.

Seorang kawan, setelah acara seminar web usai, berkelakar begini, “Acara seminar web dengan Haemin Sunim itu bukan melulu diskusi buku, deh. Dari apa yang terjadi, lebih menyerupai coaching clinic. Alih-alih banyak bicara soal buku, para panelis dan penanya justru membagikan pengalaman pribadi mereka dan meminta saran Biksu Sunim.”

Rasanya, memang benar apa yang disampaikan kawan ini. Akan tetapi, hal ini wajar-wajar saja dan mungkin lebih baik terjadi seperti itu. Sebab, dengan demikian, pengalaman membaca para penggemar buku karya Haenim Sunim bisa menjadi lebih hidup. Bukankah gagasan atau ide yang tertuang dalam buku itu sebenarnya beku? Hanya guratan tinta pada berhalaman-halaman kertas. Justru momentum seperti seminar web kemarin itulah yang membuat pengalaman membaca menjadi relevan dan lebih hidup. Gagasan dalam buku perlu dibaca untuk kemudian direnungkan dan didiskusikan. Tahap selanjutnya memang mengaplikasikan gagasan dan permenungan dalam langkah laku dan tindakan sehari-hari. Hanya melalui proses inilah, buku menerima nafas kehidupan yang diembuskan pembacanya. Semoga, seminar web kemarin membahagiakan, meskipun kita sadar bahwa kita tidak sedang baik-baik saja. Dan, semoga Biksu Haemin Sunim punya waktu dan kesempatan berkunjung ke Indonesia untuk menyapa para pembacanya. Rasanya, kita cukup layak berharap untuk dua hal ini.