Gen Z di Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dalam dunia kerja. Berdasarkan laporan CNBC Indonesia pada Mei 2024, sekitar 10 juta Gen Z menganggur, dengan tingkat pengangguran yang signifikan di kalangan usia muda (15 – 24 tahun). Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa 22,25% dari total penduduk usia tersebut termasuk dalam kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training). Kondisi ini diperparah oleh banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kian meningkat, setidaknya dari angka PHK terus naik menjadi 46.240 buruh per Agustus 2024. Dari sini kita bisa melihat betapa rentannya posisi generasi ini di pasar tenaga kerja Indonesia.
Di sisi lain, berita dari Kontan pada Oktober 2024 menyoroti tren pemecatan yang menimpa Generasi Z. Mereka yang baru memulai karir di tengah ketidakpastian ekonomi seringkali dianggap kurang memiliki pengalaman dan stabilitas dalam pekerjaan. Padahal, generasi ini seharusnya berada pada masa produktif dan memiliki potensi untuk berkontribusi secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Tingginya angka pengangguran dan rentannya posisi Gen Z dalam pasar kerja tidak dapat dipisahkan dari karakteristik unik generasi ini. Berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi ini memasuki dunia kerja dengan seperangkat nilai, ekspektasi, dan kemampuan yang khas. Merekalah generasi pertama yang benar-benar tumbuh di era digital. Pemahaman tentang karakteristik Gen Z di dunia kerja menjadi kunci penting untuk mengurai kompleksitas tantangan ketenagakerjaan yang mereka hadapi.
Siapa dan seperti apa Gen Z?
Generasi Z lahir antara tahun 1995 dan 2012, generasi ini dikenal sebagai generasi pertama yang tumbuh besar di era digital. Mereka tidak pernah mengalami dunia tanpa internet. Karena itu, keterampilan teknologi digital mereka sangat tinggi. Mereka terbiasa dengan akses cepat ke informasi, konten, serta komunikasi melalui media sosial. Hal ini membuat mereka sangat adaptif terhadap perubahan teknologi dan perkembangan dunia digital. Karena penggunaan teknologi dan internet merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari, Gen Z juga sering disebut sebagai “digital natives.”
Jika membaca buku Gen Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace (2017) oleh David Stillman dan Jonah Stillman, Gen Z lahir dalam era ketika semua aspek fisik memiliki padanan digital (phigital). Hal ini membuat mereka memiliki cara pandang yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka tidak hanya tumbuh bersama teknologi, tetapi juga mengintegrasikan dunia virtual ke dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ketika masuk ke dunia kerja, mereka akan mendorong perusahaan untuk mengadopsi solusi digital yang lebih cepat, fleksibel, dan efisien.
ISBN-13: 9780062475442
Selain itu, Gen Z dikenal sebagai generasi yang hyper-custom, sangat terfokus pada personalisasi, baik dalam kehidupan pribadi maupun pekerjaan. Mereka mengharapkan kustomisasi bahkan dalam hal pekerjaan dan karir. Dalam riset yang dilakukan oleh David Stillman dan Jonah Stillman, 56% Gen Z lebih memilih menulis deskripsi pekerjaan mereka sendiri daripada mengikuti yang diberikan secara umum. Data tersebut menunjukkan bahwa dalam konteks pekerjaan, mereka cenderung mengadopsi pendekatan yang disesuaikan dengan kebutuhan individu.
Satu hal lagi yang menarik, generasi ini adalah generasi yang paling beragam secara etnis dan rasial dalam sejarah. Dalam hal identitas, mereka menunjukkan pandangan yang lebih inklusif dan fleksibel terhadap gender, orientasi seksual, dan identitas pribadi. Mereka tidak hanya mendukung keberagaman dalam ras dan gender, tetapi juga mengharapkan organisasi dan perusahaan tempat mereka bekerja memiliki nilai yang sejalan dengan pandangan mereka tentang inklusivitas dan keadilan sosial. Akibatnya, anak-anak generasi ini akan condong memilih tempat kerja yang mencerminkan diversitas dan inklusi.
Realitas Gen Z di era pandemi dan pasca-pandemi
Perlu kita pahami bersama, bahwa generasi Z memasuki dunia kerja ketika pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan dunia. Banyak dari mereka yang harus menyelesaikan pendidikan secara virtual. Jika kita kembali pada masa itu, dunia benar-benar belum siap mengintegrasikan pendidikan jarak jauh. Gen Z yang seharusnya menikmati masa-masa kritis pembelajaran, justru terjebak dalam ketidaksiapan institusi pendidikan dalam mengelola pembelajaran jarak jauh. Lebih memprihatinkan lagi, kesenjangan akses teknologi semakin memperburuk situasi. Ketimpangan ini bukan sekadar menciptakan kesenjangan akademis, tetapi juga berpotensi membentuk jurang kompetensi yang lebih dalam pada Gen Z.
Setelah menikmati kegagapan instansi pendidikan semasa pandemi Covid-19, mereka langsung menghadapi situasi ekonomi yang tidak stabil, disertai ancaman PHK atau pemberhentian sementara. Kondisi ini menciptakan kesenjangan besar dalam pengembangan profesional mereka, terutama dalam membangun hubungan dengan rekan kerja dan mentor. Data LinkedIn yang dibagikan kepada BBC Worklife pada Desember 2022 menunjukkan bahwa hanya 43% Gen Z yang merasa sangat percaya diri dalam peran mereka saat ini. Data ini menunjukan bahwa tingkat kepercayaan diri dalam Gen Z lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh generasi Y (millennial), X, dan Baby Boomers.
Sementara itu kondisi ekonomi semakin memperburuk situasi Gen Z di tempat kerja. Menurut data McKinsey and Company yang dirilis pada Oktober 2022, 26% pekerja Gen Z melaporkan bahwa gaji mereka tidak memungkinkan untuk memiliki “kualitas hidup yang baik” dalam ekonomi saat ini, dibandingkan dengan 20% dari responden generasi lain. Ketidakmampuan untuk menabung secara signifikan dan hidup dari gaji ke gaji menjadi realita yang umum bagi generasi ini. Lebih mengkhawatirkan lagi, survei di AS menunjukkan 59% Gen Z berusia 18 – 24 tahun tidak berharap dapat memiliki rumah sendiri, berbeda jauh dengan hanya 29% dari kelompok usia 29 – 34 tahun. Hal ini menunjukkan kesenjangan yang semakin melebar dalam pencapaian tonggak kehidupan tradisional.
Jika Bibliobesties hendak membaca Rekomendasyik lainnya, temukan di sini!