Biksu Haemin Sunim menyadari bahwa akar masalah yang dia alami adalah ketakutan. Dalam permenungan dan keheningannya, dia malah diarahkan kembali ke masa kecilnya, masa di mana dia mengalami rasa takut yang begitu melekat. Rasa takut yang melahirkan trauma yang dialami Sunim kecil ini memengaruhi masa dewasa Biksu Sunim. Ketakutan utama yang menjadi akar emosional Biksu Sunim adalah rasa takut ditinggalkan.
Biksu Sunim menawarkan sebuah cara, cara yang sesungguhnya sederhana, cara yang didasarkan para keberanian kita untuk memulainya. Cara itu adalah mencoba menyingkirkan. Nampak sederhana bukan? Pada pekan spesial ini, Perimin mau berbagi tips merawat kebahagiaan langsung dari Haemin, langsung dari teks di dalamnya. Tips ini akan Perimin bagi menjadi tiga bagian. Yuk, ikuti perjalanan menepi Biksu Sunim bersama Perimin.
ISBN-13: 9780143135890
Masuk ke ruang hening
Setelah menemukan bahwa rasa takut sebagai akar emosionalnya, ia masuk lebih dalam ke wilayah batinnya dan bertanya pada dirinya sendiri, “Apa yang sebenarnya membuatnya takut?” Pertanyaan ini lalu membuatnya tersadar bahwa ia memiliki ketakutan ketika tidak lagi bisa menyediakan apa pun yang dibutuhkan orang-orang yang menggantungkan hidup kepadanya. Setelah menyadari ini dalam keheningan, secara tiba-tiba Biksu Haemin Sunim teringat pengalaman masa kecilnya.
Nyasar dan panik
Kala itu, Sunim kecil tengah tersesat di sebuah pasar yang cukup besar. Dengan gelisah, ia mencari-cari di mana ibunya. Haemin Sunim kecil mulai menitikkan air mata dan mengalami kepanikan yang luar biasa, sehingga terasa seperti berdiri di hadapan maut. Siapa tak panik hayo?! Lalu, entah dari mana seorang perempuan yang lebih tua meraih tanggannya dan berjanji mengantar Sunim kecil pada ibunya. Haemin Sunim kecil menurut dengan sedikit terpaksa. Setelah sampai di rumah si perempuan tua, Haemin Sunim kecil melihat seorang lelaki dengan sosok menyeramkan. Sunim kecil justru tidak menemukan ibunya. Demi merasakan hawa yang tidak benar, Haemin Sunim kecil kabur meninggalkan rumah perempuan itu dan berlari kembali ke pasar secepat yang dia bisa. Setelah berkeliling pasar dengan panik selama beberapa waktu, Haemin Sunim kecil akhirnya melihat ibunya hampir putus asa mencari-carinya.
Merangkul trauma
Trauma yang dialami Sunim kecil ini memengaruhi masa dewasa Biksu Sunim. Ketakutan utama yang menjadi akar emosional Biksu Sunim adalah rasa takut ditinggalkan. Selama bertahun-tahun, rupanya Biksu Sunim mengabaikan sisi masa kecil batiniah dirinya sendiri, yang jika diperhatikan, selalu merasa terpisah dari cinta kasih, kehangatan, dan rasa aman akibat trauma masa kecil yang dialaminya. Trauma, hal yang berat, dan segala kesulitan secara umum diyakini sebagai sumber kesengsaraan. Namun, mengapa sejatinya kita tidak merasakan bahagia? Berbekal spiritualitas Zen Buddhisme, Biksu Sunim menyakini, kesengsaraan hadir dalam kehidupan kita karena kita tidak mampu menemukan kedamaian dalam ke-apa-ada-an. Ada dua aspek yang bisa diperdalam di sini, yaitu menguasai (grasp) dan menolak (resist).
Grasp or resist?!
Ketika kita melihat atau mengalami sesuatu atau sebuah peristiwa yang menyenangkan, pikiran kita akan “melekat” pada barang atau peristiwa yang menyenangkan tersebut. Sebaliknya, ketika mengalami peristiwa atau melihat barang yang membuat hati tidak senang, secara otomatis pikiran kita akan meminta kita menghindarinya. Mungkin, gambarannya seperti seorang anak yang disodori ayam goreng tepung dengan merek terkenal dan brokoli dan wortel rebus.
Secara umum, anak yang diberi ayam goreng tepung akan merasakan sensasi rasa yang enak sehingga akan terus-menerus meminta orang tuanya membelikan ayam goreng tepung tersebut. Di lain sisi, brokoli dan wortel rebus yang dirasakan si anak tidak seenak ayam goreng tepung, tentu akan dihindari. Si anak mungkin hanya akan bertahan pada gigitan pertama dan melepeh brokoli dan wortel rebus yang disediakan orangtuanya.
Pikiran ajek berayun-yun
Dalam Buddhisme Zen yang didalami oleh Biksu Sunim, penderitaan yang sering kita alami tidak lain bermula dari aktivitas mental yang secara ajek terarah pada bermacam objek. Keterarahan mental pada objek-objek yang banyak dan beragam ini membuat pikiran kita seolah-olah berayun ke sana kemari: mencoba menguasai apa yang tidak kita miliki, sekaligus menolak semua yang sudah kita punya. Biksu Sunim menggambarkan dengan bagus kondisi ini: sebuah situasi bergumul dan sibuk secara kekal (a perpetual state of struggle and busyness).
Pikiran yang berayun ke sana kemari inilah yang kemudian membuat kita merasa menjadi “korban” ketika sesuatu berjalan tidak seperti yang kita harapkan. Lebih jauh lagi, menurut Biksu Sunim, pikiran tidak lain adalah sebuah agen antara yang bertugas untuk menafsirkan rasa-perasaan apa yang muncul di dalam diri kita terkait apa yang sedang terjadi di sekitar kita. Tafsiran kita atas realitas inilah yang sebenarnya menjadi sumber bagi kesengsaraan (atau bahkan kebahagiaan) yang kita rasakan.
Coba singkirkan!
Ambil contoh sederhana, misalnya ada sebuah pines yang tergeletak di lantai yang tanpa sengaja terinjak kaki. Pikiran kita akan menggerakkan tubuh untuk mengangkat kaki, berteriak mengaduh, dan mencabut pines di telapak kaki. Namun demikian, pikiran yang terlatih akan mampu membuat kita waspada dan berhati-hati ketika melangkahkan kaki sehingga kita tidak menderita karena menginjak pines tanpa sengaja.
Padahal, jika kita mau jujur dan melihat secara apa adanya, pines yang tergeletak di lantai tidak membuat diri kita tertarik untuk menginjaknya. Sebab, situasi ke-apa-ada-an adalah netral, artinya pines yang tergeletak di lantai hanya tergeletak begitu saja. Kita bisa menyingkirkannya sehingga tidak membahayakan diri kita atau orang lain. Namun, kita bisa saja tanpa sengaja menginjaknya, sehingga membuat telapak kaki kita kesakitan.
***
Pada akhirnya, Biksu Sunim mengajarkan bahwa kehidupan tidak bisa dihindari dari rasa takut, trauma, dan tantangan. Namun, dalam keheningan, kita dapat menemukan keberanian untuk menghadapi semuanya, tidak dengan melawan atau melekat, tetapi dengan menerima “keapaadaan.” Pikiran yang tenang dan terlatih akan mampu melihat setiap peristiwa dengan jernih, tanpa terombang-ambing oleh keinginan untuk menguasai atau menolak. Dengan cara sederhana seperti “menyingkirkan” hal-hal yang membebani pikiran, kita bisa membuka ruang untuk kedamaian dan kebahagiaan sejati. Mari kita mulai perjalanan menuju keheningan yang berdaya, dengan langkah kecil namun penuh makna, seperti yang diajarkan oleh Biksu Sunim.
Jika Bibliobesties hendak membaca Merawat Kebahagiaan a la Haemin Sunim Bagian 3, temukan di sini!