László Krasznahorkai: Menulis dari Parit Kehancuran Dunia

0
Share
László Krasznahorkai Menangkan Nobel Sastra 2025

László Krasznahorkai penulis asal Hungaria memenangkan Hadiah Nobel Sastra 2025. Keputusan ini dianggap sebagai upaya untuk mendukung nilai-nilai sastra yang mendalam dan intelektual di tengah zaman yang didominasi budaya serba cepat, distraksi digital, serta industri hiburan. Selain itu, Akademi Swedia juga memuji bahwa karyanya telah menyoroti kembali betapa kuatnya seni saat dunia berada dalam bayang-bayang kehancuran dunia. Atas kemenangannya ini Krasznahorkai berhak atas medali emas, diploma, dan uang tunai 11 juta krona Swedia atau senilai 19 miliar rupiah.

Laszlo Krasznahorkai menangkan nobel sastra 2025

Lebih dekat dengan László Krasznahorkai 

László Krasznahorkai lahir di Gyula, Hungaria, pada 1954, tepat dua tahun sebelum pemberontakan besar rakyat Hungaria terhadap Uni Soviet. Latar sejarah dan politik yang menjerat inilah kemudian membentuk perkembangan kreatifnya. Saat itu, Hungaria masih menjadi negara satelit Uni Soviet yang diperintah dengan ideologi komunis. Seluruh kehidupan masyarakat berada dalam kendali rezim. Begitu juga dengan karya sastra. Karya sastra harus menyesuaikan diri dengan batas-batas ideologis yang sudah ditentukan oleh rezim yang berkuasa saat itu. 

Nama László Krasznahorkai mulai dikenal luas setelah merilis novel debutnya yang berjudul Satantango pada 1985. Tiga dekade kemudian, terjemahan Inggris Satantango meraih Man Booker International Prize pada 2015, disusul National Book Award untuk novel The Melancholy of Resistance pada 2019. Karya ini juga telah diadaptasi menjadi film berdurasi tujuh jam oleh  Béla Tarr, sutradara yang sudah lama bekerja bersama Krasznahorkai.

Dalam sepak terjangnya di dunia kepenulisan, Krasznahorkai sering disebut sebagai penulis postmodern. Kalimat-kalimatnya terkenal panjang dan meliuk, bahkan 12 bab dalam Satantango masing-masing hanya terdiri dari satu paragraf. Intensitas tulisannya membuat para kritikus kerap mengaitkannya dengan nama-nama besar seperti Gogol, Melville, dan Kafka.

Melihat keresahan László Krasznahorkai pada dunia

Ada sesuatu yang tak berubah dalam seluruh karya dan pemikiran László Krasznahorkai, ialah sebuah keyakinan bahwa manusia hidup dalam suatu proses kiamat yang tiada ujungnya. Bagi penulis Hungaria ini, dunia tidak sedang menuju kehancuran, kita justru sudah berada di dalamnya. Ketika berbicara kepada The Yale Review pada Februari 2025, Krasznahorkai menegaskan bahwa kiamat bukanlah sebuah kejutan seperti yang dinubuatkan, melainkan kenyataan yang kita hadapi sehari-hari. Kiamat dalam pandangannya hadir sebagai napas zaman, sebagai getaran yang muncul dalam sejarah yang berulang, dalam perang yang tak kunjung usai, dalam keruntuhan yang selalu menemukan bentuk barunya, hingga dalam harapan yang rapuh namun tetap hidup.

Dalam pandangannya, kita hidup dalam narasi yang terus dibangun, masa lalu hanyalah cerita tentang masa lalu, masa depan hanyalah harapan yang tak pernah tiba. Satu-satunya realitas yang benar-benar ada adalah saat ini. Tetapi saat ini pun dipenuhi kehancuran, kebrutalan, dan keindahan yang samar. Dengan pandangan inilah László Krasznahorkai menolak pemahaman linear tentang waktu. Manusia, menurutnya hidup dalam lingkaran penghakiman yang terus berputar.

Rahmat dalam kekacauan, harapan di tengah kiamat

Bagi Hungaria, kemenangan nobel sastra adalah kali kedua seorang penulis dari negara itu meraih kehormatan tertinggi dalam sastra, setelah Imre Kertész pada 2002 lalu. Pemerintah Budapest, yang dipimpin Viktor Orbán, mengucapkan selamat di media sosial dan menyebut kemenangannya sebagai kebanggaan bagi negara. Akan tetapi banyak orang merasa ironis akan hal ini, sebab Krasznahorkai sejak lama menjadi salah satu pengkritik keras Viktor Orbán. Ia bahkan pernah menyatakan bahwa pemerintahan Orbán sebagai “a psychiatric case.” Dalam berbagai wawancara, ia juga mengecam melemahnya nilai demokrasi di negerinya serta budaya diam yang membiarkan hal itu terjadi. Tidak berhenti sampai di situ, kemarahannya terhadap situasi politik juga ia sampaikan melalui karya-karyanya.

Meski sarat akan unsur-unsur kekuasaan, Krasznahorkai bersikeras bahwa novel-novelnya bukan alegori politik. Dia tidak menentang satu doktrin tertentu, melainkan cara berpikir yang mencoba mengkategorikan atau menyederhanakan hidup manusia, seolah membuat pengalaman hidup manusia bisa dijelaskan dengan aturan yang jelas dan sederhana. Untuk itu, tokoh-tokohnya juga kalimat-kalimatnya, tidak pernah mau dibatasi. Mereka bergerak di antara kegilaan dan pencerahan, berusaha mencari makna di dunia yang kehilangan kepastian. Karya Krasznahorkai tidak bisa ditempatkan dalam genre atau gerakan mana pun. Dia menulis seakan-akan peradaban sedang berada pada babak terakhir dari proses memperbaiki dirinya. “Hidup saya,” katanya dalam sebuah wawancara “adalah koreksi yang tidak pernah selesai.” Begitu pula dalam karya-karyanya, Krasznahorkai  berupaya tanpa henti untuk mengubah keputusasaan menjadi harapan.

Kalimat-kalimat Krasznahorkai yang terkenal panjang dan berliku bukan dibuat rumit tanpa alasan. Bentuk itu adalah bagian dari cara pandangnya terhadap dunia. Setiap anak kalimat terasa seperti sedang mencari kebenaran yang terus menjauh, seakan-akan struktur bahasanya sendiri digerakkan oleh sesuatu yang tak pernah selesai. Banyak pembaca menggambarkannya sebagai pengalaman yang memikat, seperti ditarik masuk ke lorong kesadaran yang tidak mengenal ujung. Cara ia menyusun kalimat mencerminkan dunia yang ia gambarkan: penuh simpul, tak ada habisnya, dan sulit menemukan titik akhir. Gaya itu bukan sekadar pilihan asal estetik, melainkan sikap moral

Laszlo Krasznahorkai menangkan nobel sastra 2025

Jika Bibliobesties hendak membaca ulasan Perimin lainnya, temukan di sini!