Hari Buku Nasional dirayakan setiap 17 Mei. Awalnya, pada tanggal ini, warga Indonesia lebih mengenalnya sebagai hari Perpustakaan Nasional dibangun tahun 1980. Pada 2002, Menteri Pendidikan kala itu, Abdul Malik Fadjar, menetapkan tanggal 17 Mei sebagai Harbuknas untuk mengatasi problematika buta angka dan huruf. Dengan mendorong kecintaan membaca buku, diharapkan semakin banyak warga yang melek angka dan huruf. Menurut laporan UNESCO sendiri, hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang gemar membaca buku.
Angka di atas semakiin diperkuat dengan data dari survei Central Connecticut State University tahun 2016. Ditemukan bahwa minat baca kita berada di urutan 60 dari total 61 negara yang disurvei. Dua tahun sesudahnya, lewat program Indonesia Economic Quarterly bertajuk Learning More, Growing faster pada Juni 2018, World Bank merilis bahwa 5 dari 10 orang Indonesia dinilai kurang bisa memahami dan mencerna informasi yang dibaca. Istilahnya, buta huruf fungsional.
Lewat survei BPS pada 2019, tercatat masih ada sekitar 5 juta orang Indonesia yang buta huruf. Angka ini mengalami sedikit kenaikan pada 2020. Artinya, selama pandemi, lebih banyak orang yang masuk kategori buta huruf. Keprihatinan yang kurang lebih sama diserukan oleh pengamat pendidikan dari UGM Yogyakarta, Prof. Dr. Budi Santosa Wignyosukarta. Bahwa, ketidakefektifan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) atau BDR (Belajar Dari Rumah) menimbulkan kekhawatiran learning loss, menurunnya daya pengetahuan dan keterampilan dalam konteks akademis. Kekhawatiran learning loss ini biasanya muncul pasca para peserta didik liburan panjang (kenaikan kelas) dan penutupan sekolah karena force majeur, seperti bencana alam.
Pada 20 November 2020 lalu, Mendikbud Nadiem Makarim juga mengutarakan keprihatinan yang sama mengingat hilangnya pembelajaran tatap muka yang bersifat fisik (luring). Ada risiko jangka panjang yang akan menambah deretan pekerjaan rumah di sektor pendidikan. Tentunya, soal dampak buruk bagi perkembangan kognitif dan perkembangan karakter.
Sejak 2002, sejak Indonesia mulai menata kembali sistem pendidikan yang tentunya lebih adaptif dan responsif terhadap tantangan jaman, nampak banyak perkembangan yang signifikan, terutama terkait isu ‘human capital’. Dengan kata lain, perkembangan sebuah negara dalam hal sosial dan ekonomi tergantung pada sistem pendidikan yang memampukan warga negara dipandu untuk menumbuhkembangkan kemampuan kognitif dan non-kognitif, seperti kerja sama, komunikasi, dan daya kepemimpinan.
Meningkatan kegemaran membaca bisa menjadi salah satu cara untuk menjawab keprihatinan buta huruf fungsional dan kekhawatiran learning loss. Memaksa anak untuk membaca rasanya bukan cara yang bijak dalam hal ini. Salah satu temuan sederhana yang memungkinkan angka minat baca adalah dengan terlebih dahulu merangkul para orangtua untuk menanamkan kebiasaan berinteraksi dengan buku bagi putra-putrinya sejak dini.
Kampanye digital yang dilakukan Nadiem Makarim, lewat akun instagramnya @nadiemmakarim bisa menjadi inspirasi awal. Dalam beberapa postingan yang memperlihatkan dirinya dan istri membacakan buku untuk putrinya mendapatkan angka ‘engagement’ yang lebih tinggi dibandingkan dengan postingannya tentang buku. Gerakan kampanye digital #orangtuapenggerak dan #satuharisatubuku rupanya disambut baik oleh netizen Indonesia.
Kami, dari Periplus, hendak mengambil bagian dalam gerakan ini. Kami merancang program Lighteracy, sebagai program sederhana sebagai wadah saling berbagi pendekatan yang cocok untuk menumbuhkan minat baca di antara anak dan orangtua-penggerak. Sebagai distributor buku-buku pendidikan pun, lewat Lighteracy, kami juga berkesempatan untuk berbagi informasi tentang buku-buku bacaan yang pas untuk mendukung gerakan #satuharisatubuku.
Bagi Anda yang tertarik untuk mengikuti program ini, kami persilahkan untuk mengisi formulir melalui ikon LIGHTERACY di bawah ini: