Sebut saja namanya Dita dan Dika. Mereka kakak-beradik. Pada awal Tahun Ajaran 2021-2022 yang lalu, keduanya baru saja pindah sekolah. Sekolah sebelumnya adalah sebuah sekolah favorit di Jakarta. Sekolah yang baru berada di pinggiran, masih di area Jabodetabek, dengan bahasa pengantar Bahasa Inggris.
Secara umum, proses adaptasi dari keduanya berjalan lancar. Apalagi semua proses pembelajaran masih dilakukan secara daring. Hanya ada satu “hambatan” saja. Apa itu? Bahasa Inggris.
Di sekolah yang baru bahasa pengantar yang dipergunakan adalah Bahasa Inggris. Beberapa guru mereka adalah Native Speakers. Meski di sekolah yang lama mereka juga “belajar” Bahasa Inggris di kelas, dan nilai mereka termasuk excellent; tetapi rupanya itu saja belum mencukupi. Bahasa Inggris yang dipelajari masih sebatas sebagai pengetahuan (baca: teori) belaka.
Di sekolah yang baru, Bahasa Inggris sudah menjadi bagian alami dari atmosfir sehari-hari. Semua guru dan teman-temannya berbicara, bergurau dan berdiskusi secara natural dalam bahasa tersebut. Dita dan Dika merasa awkward. Setiap kali mau berbicara, mereka harus “menerjemahkan kata-katanya lebih dahulu, baru kemudian menyusunnya menurut English Grammar di kepala mereka.”
Pengalaman Dita dan Dika kiranya typical dialami oleh mereka yang tidak menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar (lingua franca) sehari-hari, termasuk di Indonesia.
Hore, masuk sepuluh besar!
Kalau Bahasa Inggris bukan Bahasa resmi di Indonesia, kenapa kita mesti repot-repot mengajari anak-anak (didik) kita agar mahir ber-Bahasa-Inggris? Lagipula, Bahasa Indonesia kan sudah termasuk dalam daftar 10 besar dari bahasa-bahasa yang banyak pemakainya.
Tentu saja tidak ada larangan untuk merasa bangga bahwa Bahasa Indonesia termasuk ke dalam 10 besar. Tetapi juga mesti ingat bahwa peringkatan itu pertama-tama berdasarkan jumlah pemakainya. Mari kita lihat data berikut:
Bahasa | Jumlah pemakai |
Inggris | 1.132.000.000 |
Mandarin | 1.117.000.000 |
Hindi | 615.000.000 |
Spanyol | 534.000.000 |
Prancis | 280.000.000 |
Arab | 274.000.000 |
Bengali | 265.000.000 |
Russia | 258.000.000 |
Portugis | 234.000.000 |
Indonesia | 199.000.000 |
Data di atas mesti disanding-bandingkan dengan data populasi penduduk di muka bumi. Menurut Worldometers, populasi negara China saat ini adalah yang terbanyak di dunia, yakni sebanyak 1,439,323,776 jiwa. India dengan 1,380,004,385 penduduk menempati urutan kedua. Dengan 331,002,651 jiwa, Amerika Serikat menduduki urutan ke-3, sedangkan Indonesia berada di urutan ke-4 dengan jumlah penduduk sebanyak 273,523,615 jiwa.
Dengan memerhatikan jumlah penduduknya, maka tidak heran apabila pemakai Bahasa Mandarin (China) dan Hindi (India) termasuk ke dalam 3 besar. Tetapi rerata para pemakai itu adalah penduduk sendiri yang terkonsetrasi di wilayah negara-negara itu sendiri.
Tidak demikian halnya dengan Inggris. Masih menurut Worldometers, Penduduk di Inggris sendiri tercatat “hanya” sebanyak 67,886,011. Lalu dari mana angka pemakainya yang mencapai 1,132 Milyar tersebut? Dari banyak negara lain. Selain di Inggris (United Kingdom), beberapa negara lain menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi mereka; misalnya Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Kanada (bersama dengan Bahasa Prancis) dan banyak negara bekas jajahan Inggris dari zaman dahulu. Kalau pun bukan sebagai Bahasa Resmi, Bahasa Inggris de facto dipergunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari (lingua franca). Pemakai Bahasa ini lebih tersebar di seluruh sudut bumi.
Webinar untuk menjawab pertanyaan dasar
Jadi, kenapa kita mesti mengajarkan Bahasa Inggris kepada para anak (didik) kita? Shubha Koshy akan menjawabnya pada webinar, yang akan diselenggarakan pada:
Rabu, 2 Februari 2022
Pukul 17:00 WIB
Shubha adalah salah satu penulis buku-buku Cambridge IGCSE ESL (terbitan Collins). Berbasis di Hong Kong dengan lebih kurang 27 tahun mengajar, beliau adalah Fasilitator bersertifikat ESL.
Melalui webinar ini kita diajak oleh Shubha untuk menelaah kembali MENGAPA kita mengajarkan Bahasa Inggris di Abad 21. Kita pun diajak menyermati perihal APA (saja) yang relevan dan perlu kita ajarkan, sehingga langsung bisa diterapkan di lingkungan pembelajaran maupun masyarakat sosial yang lebih luas.
Anak-anak perlu menentukan pilihan dan arah agar pembelajaran berhasil-guna. Bahasa Inggris merupakan sarana pemahaman antar-budaya maupun pemaknaan hidup personal. Karenanya BAGAIMANA cara-cara yang menyenangkan sekaligus efektif perlu didialogkkan bersama antara guru dan murid.
Webinar ini didasarkan pada pendekatan fungsional-sistemik untuk pembelajaran bahasa (M.A.K. Halliday, 2004). Intinya, pendekatan ini memberikan ruang luas bagaimana siswa belajar-bahasa, belajar-melalui-bahasa dan belajar-tentang-bahasa dalam proses yang cukup cair dan dinamis. Baik guru maupun murid justru akan diperkaya dengan pendekatan tersebut.
Setidaknya ada tiga pertanyaan dasar yang hendak dijawab bersama Shuba melalui webinar ini, yakni MENGAPA, APA dan BAGAIMANA.
Bahasa mesti menjadi sayap, bukan sangkar
Syukurlah, setelah satu Semester berjuang dan ter-ekspos dengan Bahasa Inggris, kemampuan Dita dan Dika berkembang dengan pesat, utamanya menyangkut Listening dan Speaking. Mereka tidak perlu lagi “menerjemahkan kata-kata, kemudian menyusunnya menurut English Grammar di kepala mereka.” Seberapa sudah pesat perkembangannya? “Paling tidak, kalau ada teman atau guru bikin jokes, udah bisa langsung ketawa bareng. Tidak telad lagi … kelamaan nerjemahin di kepala!” seloroh mereka sembari ketawa.
Sebagai media komunikasi, Bahasa apa pun mestinya harus menjadi bagian natural dari keseharian anak. Anak mesti diekspos sebanyak mungkin ke target Bahasa. Artinya, kalau kita hendak membantu anak semakin mahir berkomunikasi dalam Bahasa Inggris atau Mandarin atau apa pun itu; mereka harus sebanyak mungkin memiliki kesempatan untuk memratekkannya.
Janganlah kita (baca: orang dewasa, Lembaga Pendidikan) mengikat sayap-sayap bahasa anak-didik kita, apalagi mengurung mereka hanya pada satu zona nyaman bahasa saja, yang malah akhirnya menjadi sangkar yang memenjarakan mereka.