Pada 2014, Joko Widodo terpilih sebagai presiden ketujuh Republik Indonesia dan mendapatkan amanah untuk menjabat. Pada 2019, Jokowi, sapaan untuk Joko Widodo, kembali memenangi Pemilu dan kembali menjabat sebagai Presiden. Jokowi rupanya dibesarkan di tengah daerah kumuh tepi Kali Anyar, Solo. Sebelum terjun ke dunia politik, ia adalah eksportir barang-barang furnitur. Kisah Jokowi menjadi gambaran demokrasi baru di antara kisah-kisah para pemimpi politik dunia. Selama masa kepemimpinannya, nama Indonesia kian meroket dalam berbagai hubungan bilateral dan multilaretal. Bahkan, majalah Time edisi 27 Oktober 2014 merilis salah satu edisinya dengan wajah Jokowi memenuhi sampul dan memberi tajuk: A New Hope (Sebuah Harapan Baru)—yang mungkin menyitir subjudul episode keempat Star Wars (1977) garapan George Lucas.
Narasi para jurnalis yang menyorot perjalanan presidensial Jokowi baik untuk periode pertama atau juga kedua—boleh dikatakan—riuh rendah oleh pekik! Dua kubu pendukung pasangan capres dan cawapres terpecah karena “disetir” oleh aksi broadcast beragam berita palsu, tuduhan, ujaran negatif, hingga ragam meme ejekan yang kurang pantas dalam perspektif UU ITE. Sampai-sampai, salah satu media sosial kesayangan, WhatsApp, turut andil dalam penentuan kebijakan pembatasan fitur. Sontak, hal ini direspon kurang baik oleh beberapa netizen yang mengagung-agungkan kebebasan mengungkapkan pendapat lewat jempolnya.
Yang menarik di sini adalah peran kaum muda yang bersedia turun—atau sebenarnya, malah naik (?)—ke gelanggang politik. Mereka tampil sebagai tokoh akademisi, juru bicara alias influencer terkini. Mereka menebar testimoni lewat IG Story, jingle-jingle do-re-mi-fa-sol-la-si, juga pemberi motivasi dari hari ke hari. Bahkan, tidak sedikit yang turut protes karena ada mencurigai keuntungan pak Jokowi atas aksesnya ke aturan dan hukum pemilu di negeri ini. Semuanya dikemas dalam bentuk konten yang selalu siap saji dan siap edar melalui beragam platform media sosial—apa pun itu.
Embusan Angin Optimisme: dari Jakarta ke Kalimantan Timur
Tak kalah menarik, rencana pivot Jokowi, pemindahan ibu kota dari Jakarta ke kawasan Kalimatan Timur. Gagasan ini memang sudah terlebih dulu muncul sebelum masa Pemilu. Seperti dikutip harian The Sidney Morning Herald (13 April 2017), “Jakarta sebagai ibu kota dirasa terlampau padat, besar kemungkinan pemerintahan akan pindah ke Borneo (Kalimatan).” Pivot ini menjadi viral karena dilontarkan secara resmi pada saat masa kampanye presidensialnya yang kedua. Media menyorotnya sebagai ciri khas dalam pendekatan Jokowi: menampilkan masalah lantas menawarkan solusi yang paling riil bagi masyarakat secara luas. Inilah pendekatan Jokowi yang dinilai dramatis dan itu-itu-dari-dulu.
Beragam pandangan media dalam dan luar negeri turut berbicara. Jempol dislike diklik, karena menimbang kekhawatiran terkait Kalimantan sebagai wilayah penambangan, habitat, atau konservasi banyak spesies langka dan hampir punah. Belum lagi soal perkara kebakaran hutan dan perkara deforestasi lainnya. Dari sisi finansial, lagi-lagi ini terkait megaproyek 466 trilyunan rupiah yang malah akan menjadi beban utang negara.
Namun, bagi Jokowi, pemindahan ibu kota itu sendiri adalah bagian dari semangat optimisme beliau. Pembangunan ini demi masa depan Indonesia, nasib anak-cucu dan generasi berikutnya. Sekitar 6—7 juta orang akan berpindah dari Jakarta ke ibu kota baru. Populasinya tentu akan terus berkembang. “Kami tidak hanya ingin membangun ibukota sebagai pusat pemerintahan dengan cakupan yang terbatas, melainkan sebuah kota cerdas (smart metropolis), menimbang jumlah penduduknya yang bakal tiga kali lebih banyak dari kota Paris, bahkan 10 kali lebih padat dari kota Washington DC, mendekati kurang lebih 8 sampai 9 juta penduduk di New York dan London,” tuturnya dalam pidato pada forum Abu Dhabi Suistainability Week (ADSW) 2020, di Abu Dhabi National Exhibition Centre (ADNEC), Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) pada Januari 2020.
Duka Era Jokowi: Pandemi 2020 – … (hanya Dia yang tahu)
Kabar duka terdengar terhitung 4 hari sejak Jokowi menandatangani Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Muncul kabar dari harian medis, The Lancet, dengan judul, “A novel coronavirus outbreak of global health concern.” Dalam hitungan bulan, pada 2 Maret 2020, Jokowi mengumumkan bahwa dua warga negara Indonesia positif CoVid-19. Dua minggu setelahnya, pembatasan mulai diberlakukan, terlebih dalam pelaksanaan kegiatan belajar di sekolah. Pada 1 April 2020, Jokowi menetapkan Peraturan Pemerintah terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk Percepatan Penanganan Covid-19.
Beberapa hari sebelum penetapan ini, Jokowi menerima pesan duka terdalamnya; Sujiatmi Notomiharjo, ibunda tercinta, menghadap ke Sang Pencipta pada usia 77 tahun. Tepatnya 25 Maret, catatan medis RS TNI Slamat Riyadi Solo menyatakan sang Ibu meninggal dunia pada pukul 16:45 WIB.
Hubungan antara ibu dan anak ini terbangun dengan spesial. Di dalamnya, terlukis rasa hormat sang anak terhadap ibu yang menjadi teladan dalam hal moral dan spiritual. Sang Ibu menjadi alasan bagi Jokowi untuk menyelesaikan pendidikan formal dan membangun karirnya. Langkah pertama dari seorang pengusahan menjadi politikus pun ditapakkan setelah sang ibu memberikan restu. Doanya selalu menguatkan masa-masa terberat Jokowi dalam panggung politik yang penuh plot dadakan dan kejutan di tengah jalan.
“Kita sudah berobat, kita semuanya sudah berikhtiar, berobat, terutamanya di RSPAD Gatot Subroto. Tetapi memang Allah SWT sudah menghendaki. Atas nama keluarga besar, saya ingin memohonkan doa agar dosa-dosanya diampuni Allah SWT dan khusnul khotimah,” tutur Jokowi lewat media BBC pada 26 Maret 2020.
F.X. Hadi Rudyatmo, partner politis Jokowi pertama yang meneruskan jabatan sebagai Walikota Solo, mengenang mendiang Ibu Sujiatmi dengan penuh hormat. “Beliau itu sosok yang mengayomi, ngajeni (menghormati). Dan, yang paling utama, adalah njawani (memegang nilai-nilai kejawaan), karena dengan siapapun beliau itu tidak pernah melihat dan memandang suku, agama, derajat dan pangkat,” tambah Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo.
…
Dalam Jokowi and The New Indonesia (2021) karya Darmawan Prasodjo dan Tim Hannigan, jejak Jokowi sebagai anak laki-laki dari tepi sungai berhasil mencapai istana kepresidenan dalam waktu yang relatif singkat dinarasikan. Kedua penulis melukiskan latar belakang sosial dan kultural serta kebijaksaan lokal a la Jawa yang telah nampak pada gaya berpolitik yang khas dan menginformasikan tujuan pembangunannya yang ambisius—termasuk proyek infrastruktur besar-besaran, perawatan kesehatan universal, dan konsep ulang sistem pendidikan Indonesia. Terlebih, saat Nadiem Makarim bersedia mendukung optimisme Jokowi sebagai “Mas Menteri Pendidikan”.
Di dalam buku tersebut, kita bisa melihat bagaimana seorang pria yang dibesarkan dengan pandangan dunia tradisional dan konservatif gaya Surakarta hadir di tengah-tengah tegangan, kontradiksi dan konflik negara kepulauan yang luas ini. Biografi ini ditulis langsung oleh seseorang yang memiliki akses langsung untuk mengorbol dengan Jokowi, termasuk melihat sendiri bagaimana proses pengambilan keputusan Jokowi. Dan, dilengkapi dengan pandangan Tim Hannigan, seorang wartawan berkebangsaan Inggris yang menulis buku-buku tentang Indonesia, seperti Raffles and the British Invasion of Java (2012), A Brief History of Indonesia (2015), A Brief History of Bali (2016), A Geek in Indonesia (2018), dan Journey Through Indonesia (2018).