The Captain Class

0
Share

Untung saja, Sam mengangkat soal kehadiran seorang gelandang pengangkut air. Ia berangkat dari Eric Cantona yang “membaptis” Didier Deschamps sebagai Water Carrier, menengok kembali peran Deschamps sebagai kapten tim Perancis antara 1994—2000. Kehadiran sosok yang mampu menjadi jembatan kokoh tidak bisa diabaikan. Mereka mau berlari dari lini pertahanan ke poros serang tim. Dalam lari itu, ia memberikan kontribusi positif untuk membangun pertahanan dan serangan yang efektif. Kehadiran mereka ini harus diapresiasi sebagai bagian dari soliditas dan keberhasilan sebuah tim.

Selain bicara soal kehadiran itu sendiri, pemimpin juga perlu membangun trust atau kepercayaan. Trust ini diwujudkan dalam totalitas dan kedisiplinan tinggi dari bawahan. Hal ini penting karena taruhannya adalah karir mereka semua, bahkan nyawa orang banyak dalam dunia militer. Tidak bisa seorang pemimpin itu semata-mata mrantasi (Jawa: menyelesaikan segala urusan oleh dirinya sendiri), ia harus menjunjung tinggi kolaborasi dan kontribusi semua lini dalam timnya. Trust adalah kunci.

Laozi, seorang pemikir Tiongkok Kuno, pada sekitar abad ke-5 S.M. mencoba mengidentifikasi ciri-ciri seorang pemimpin dan mencoba merumuskannya, demikian: A leader is best when people barely know his exists, not so good when people obey and acclaim him, worst when they despite him. Fail to honor others and they will fail to honor you.” (h. 269)

Kapten dan pelatih

Poin yang keempat, pelatih menjadi hal sangat penting dalam tim. Jika peran pelatih tidak penting, tidak mungkin setiap tim berlomba memperebutkan pelatih sekelas Phil Jackson, Bill Parcells, Don Shula, Herbert Chapman, José Mourinho, Fabio Capello, dan Pep Guardiola. Jika peran pelatih tidak dibutuhkan, tidak mungkin banyak tim rela mengeluarkan uang besar untuk membeli pemain dan menggaji tinggi pelatih. Kepemimpinan kapten dalam tim tanpa pelatih bak kawanan bebek tanpa gembala. Di sinilah Sam menuliskan “We instinctively believe that he was the team’s most important figure” untuk Vince Lombardi, pelatih legendaris dalam sepak bola Amerika. (h. 82)

Jika peran pelatih tidak penting, tidak mungkin setiap tim berlomba memperebutkan pelatih sekelas Phil Jackson, Bill Parcells, Don Shula, Herbert Chapman, José Mourinho, Fabio Capello, dan Pep Guardiola.

Kelima, selain kualitas tim baik secara individual maupun keseluruhan, dan aspek pelatih, aspek yang lain dikesampingkan justru menjadi hal yang penting. Aspek ini adalah soal modalitas. Benar bahwa individu, pengalaman, relasi, dan juga kepemimpinan adalah modalitas dalam sebuah tim. Akan tetapi, agaknya Sam melupakan modalitas yang benilai nominal-ekonomis. Saat ini olahraga menjadi industri yang bernilai triliunan dolar per tahun. Tanpa dana segar yang mengalir, manajemen klub yang hebat, fasilitas kelas wahid, pelatih jempolan, atau kualitas individual tim tidak akan pernah ada. Klub sepak bola semacam Chelsea, Barcelona, Paris Saint Germain, Manchester City, dan Real Madrid memiliki kelebihan itu dan dalam beberapa dekade terakhir. Mereka berjaya baik di kancah domestik maupun Eropa, bahkan internasional.

Akhirulkalam, The Captain Class sangat menarik untuk ditelaah lebih jauh dan didiskusikan antarkawan atau pegiat olahraga. Tentu saja, buku ini bisa jadi sumber daya yang mumpuni bagi kalian pelaku usaha motivasi, baik untuk anak sekolah, komunitas, kantor, atau professional. Akan tetapi, yang perlu diingat adalah ruang lingkupnya. Tidak semua hal dalam “perkaptenan” olahraga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sosok pelatih atau kapten tidak perlu dikondisikan dalam komunitas tongkrongan kawula muda. Sungguh janggal dan tidak tepat!

Pages: 1 2 3