The World for Sale

0
Share

Dunia antah berantah

Membaca The World for Sale (2021) membuat kita seolah masuk ke dalam “dunia antah berantah” yang jauh namun dalam arti tertentu sangat dekat dengan keseharian. Sebab, dunia modern yang kita tinggali saat ini dibangun di atas berbagai komoditas. Komoditas—kata kunci dalam buku ini—dapat berupa minyak yang menggerakkan kendaraan yang kita tumpangi hingga logam yang menjadi tenaga untuk ponsel yang kita pakai. Namun demikian, komoditas sekaligus terasa jauh karena menyimpan liku-liku dan diliputi beragam misteri.

Pernahkah kita bertanya bagaimana komoditas yang menggerakkan kehidupan dunia modern ini diputar? Jawaban untuk pertanyaan dasar inilah yang coba untuk dijabarkan oleh The World for Sale. Di balik jawaban atas pertanyaan itu, hadirlah beberapa “jagoan-petualang” yang beroperasi dalam kesenyapan. Mereka menarik hubungan antara negara-negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam—tanpa peduli betapa korup pemerintahaannya, pun kenyataan bahwa mereka tercabik oleh kekejaman perang—dengan pusat-pusat keuangan dunia. Bagian awal buku ini menggambarkan proses ini.

Judul: The World for Sale: Money, Power and the Traders Who Barter the Earth’s Resources
Penulis: Javier Blas dan Jack Farchy
ISBN: 9781847942661
Tahun : 2021
Halaman : 416 hlm.

Adalah Ian Taylor, seorang Pejabat Tertinggi Eksklusif (CEO) Vitol, pada awal 2011 melakukan berjalanan bisnis yang tidak biasa. Vitol sendiri merupakan perusahaan dunia terbesar yang bergerak di bidang perdagangan minyak. Saking gentingnya situasi yang dihadapi Taylor, ia sendiri berharap agar “para kenalannya dalam Pemerintah Britania mengirimkan jet tempur yang layak [untuk berperang] demi mengawalnya.” (h. 1)

Mengapa Taylor membutuhkan pengawalan jet tempur dalam perjalanan bisnisnya? Pasalnya, Taylor juga melakukan hal yang tidak kalah sinting. Ia sedang dalam perjalanan menuju Benghazi, Libya di tengah-tengah perang saudara yang sedang berkecamuk. Taylor hendak bernegosiasi dengan para pemberontak Libya. Taylor datang bersama beberapa pengawal pribadi dan Chris Bake, orang Selandia Baru berperawakan pendek-kekar, yang melancarkan operasi-operasi perdagangan Vitol di wilayah Timur Tengah.

Vitol

Adalah Nuri Berruien, seorang insinyur veteran, yang pada musim semi 2011 menjalankan cabang pemberontak perusahaan minyak nasional Libya. Berruien berhasil melakukan kesepakatan-kesepakatan yang akhirnya menyelamatkan revolusi. (h. 4—5) Ujung dari perjudian ini adalah keberhasilan bagi Vitol. “Taylor merasa puas. Pihak yang membuat kesepakatan paling berisiko yang pernah dilakukan Vitol di hadapannya bukanlah orang sinting yang keranjingan perang, tapi seorang profesional dalam industri minyak.” (h. 5)

“Bantuan” yang diberikan Vitol terhadap para pemberontak Libya ini memiliki dampak yang instan. Dalam sekejap saja, intervensi Vitol mengubah kesetimbangan peperangan di Libya. “Bahan bakar [yang disuplai] dari Abdeljalil Mayuf, seorang pejabat dari perusahaan Arabian Gulf Oil di Benghazi yang dikuasai para pemberontak. (h. 7) Apa yang dialami oleh para pemberontak Libya ini tentu berkebalikan dengan apa yang dialami oleh pasukan Jendral Erwin Rommel (1891—1944) pada Perang Dunia II. Sang “Rubah Gurun”—demikian Rommel dijuluki karena kepemimpinan dan kecerdasannya sebagai seorang komandan pasukan tank di medan Afrika Utara—dan pasukannya kandas setelah kehabisan bahan bakar.

Apa yang dilakukan oleh Vitol di Libya pada 2011 merupakan sebuah demonstrasi bagaimana perdagangan komoditas memiliki daya yang luar biasa besar. Pengaruh yang dimiliki perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan komoditas tidak hanya meliputi persoalan ekonomi. Jauh melebihi itu, perusahaan yang memperdagangkan komoditas itu pun menjadi aktor-aktor politis yang memiliki kekuasaan yang tidak sedikit. Misalnya saja, para pedagang komoditas ini diam-diam menjual minyak pada rezim Saddam Hussein di Irak. Mereka mampu melewati larangan PBB terhadap Irak. Atau, pada periode yang lebih lampau, merekalah yang membantu rezim Fidel Castro menukar gula dengan minyak bumi sehingga revolusi kaum Komunis Kuba tetap berjalan. (h. 9)

Empat penyebab

Kedua penulis The World for Sale, Javier Blas dan Jack Farchy—dua jurnalis Bloomberg News yang sebelumnya bekerja di Financial Times—telah melakukan penelitian sejak awal 2000-an terhadap perkembangan perdagangan komoditas sumber daya alam. Minat keduanya tergugah karena rasa keingintahuan yang lebih atas “dunia antah berantah” ini. Blas, Farchy, dan banyak lagi orang-orang yang terlibat dalam perdagangan komoditas ini percaya bahwa ada tangan-tangan tak kasat mata yang memengaruhi pergerakan harga, bahkan peristiwa politik tertentu. Para pedagang komoditas skala besar seperti Taylor ini tidak sedikit jumlahnya. Namun, mereka hampir tidak pernah muncul di depan umum atau pun di surat kabar.

Ilustrasi oleh Mondriyan

Blas dan Farchy mengidentifikasi empat situasi yang membantu pertumbuhan pesat para pedagang komoditas pada skala global. Pertama-tama adalah proses nasionalisasi industri minyak di Timur Tengah pada dekade 1970-an. Peristiwa ini membuat pasar minyak yang sebelumnya dikontrol secara ketat menjadi jauh lebih terbuka. Kondisi kedua tidak lepas dari pecahnya Uni Soviet pada awal 1990-an. Akibatnya, peta politik dan perdagangan mengalami pergeseran hebat. Yang ketiga, tidak lain situasi Tiongkok yang berkembang menjadi negara industri besar pada awal 2000-an. Situasi ini membuat permintaan terhadap komoditas terhadap industrialisasi Tiongkok menjadi tinggi. Faktor terakhir adalah arus pertumbuhan perbankan yang dimulai sejak 1980-an. Akibatnya, bank dapat dijadikan penjamin bagi modal yang dibutuhkan dalam perdagangan komoditas dalam skala besar. (h. 17—8) Melalui gaya tutur mengalir dan narasi yang mirip dengan alur investigasi a la cerita detektif, The World for Sale adalah risalah yang enak untuk dibaca sekaligus bernas. Ada banyak nama, orang maupun perusahaan, tempat, atau peristiwa yang disebutkan di dalam buku ini. Meskipun demikian, pada akhirnya kita tidak benar-benar mampu dengan gamblang mengindra “dunia antah-berantah” perdagangan komoditas ini. Komoditas, setelah tiga dekade berlalu, tetaplah barang yang akan membawa keuntungan dan kekuasaan. Namun demikian, saat ini pengaruh para pedagang komoditas yang sebelumnya ada dalam bayang-bayang, tidak lagi dapat diabaikan.

Tulisan ini pernah dipublikasikan juga di akun Kumparan milik Periplus Bookstore Official.

Temukan pula Selisik Buku yang lain di sini.