Agustus menjadi arena untuk pesta besar bagi Indonesia. Peristiwa mahapenting dalam sejarah bangsa terukir dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diperingati saban 17 Agustus tiap tahun. Dalam sejarah penyusunan naskah Proklamasi, kita ketahui bersama juru ketik naskah tersebut adalah Mohammad Hatta dan yang mendiktenya adalah Ir. Soekarno. Akan tetapi, di balik kedua tokoh besar ini, ada peran orang muda.
Mereka adalah Soekarni, dr. Moewardi, Adam Malik, Sayuti Melik, Kusnandar, Chairul Saleh, Yusuf Kunto, Shodanco Singgih, Sudiro, BM Diah, Djohan Nur, Subadio, Margono, dan Armansyah. Para pemuda ini yang disebut sebagai “Golongan Sukarni” ini mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia sebelum Belanda datang membonceng Sekutu.
Kalau meminjam istilah pendukung sepak bola, mereka inilah ultras-nya Soekarno-Hatta. Mereka inilah yang setia berdiri di tribun belakang gawang Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia. Gerakan politis mereka terorganisir dan energik khas orang muda. Sembari menonton pertandingan Soekarno-Hatta dengan penjajahan, mereka bertempik, “Kalian beri kami 90 menit pertandingan, kami akan berikan seumur hidup kami!”
Sering kali mereka menuliskan aspirasi mereka di spanduk-spanduk yang terpasang di stadion dan kibaran giant flag kala laga. Mereka adalah kelompok yang terorganisasi dengan baik, walaupun kadang lebih bersifat anonim. Tak jarang mereka akan memprotes pihak klub jika kebijakan klub dirasa kurang menguntungkan. Di sinilah Sukarni dan kawan-kawan menempatkan diri dengan sangat tepat demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia.
Kadang kala, peran remaja dalam kancah perubahan ini tidak mendapatkan sorotan. Tetapi, hal ini bukan jadi alasan untuk tidak mengapresiasi mereka. Dalam konteks dunia internasional, UNESCO memperingati 12 Agustus sebagai hari Remaja Internasional. Selain itu, 14 Agustus juga diperingati. sebagai hari Praja Muda Karana alias Hari Pramuka. Dua kali dalam seakan-akan menjadi ruang pesta peringatan para remaja di seluruh dunia.
Demikianlah patut kita tancapkan dalam benak dan sanubari bagaimana para pemuda memiliki peran penting dalam usaha perubahan. Tentu saja, perubahan yang konstruktif dan juga berdampak baik lebih besar.
Siapakah orang muda?
Dalam usaha memahami orang muda secara lebih luas dan kontekstual, mari mengambil kacamata berikut ini. World Health Organization (WHO) menjabarkan orang muda dua kategori, yaitu remaja yang berusia 10-19 tahun (adolescent) dan anak muda yang berusia 15-24 tahun (youth). Sedangkan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menegaskan batasan usia 10-24 tahun dan belum menikah.
Dalam kultur Indonesia, remaja sering kali dialihbahasakan sebagai Anak Baru Gede (ABG) sebagai istilah slang yang kerap didengarkan. Mereka berada di rentang usia 13-16 tahun. Di masa ini, mereka mengalami peralihan dari dunia anak menuju dewasa. Lumrahnya, mereka ini berada di tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Orang muda dalam pandangan berikutnya adalah Anak Sudah Gede (ASG). Kelompok ini berusia antara 17-18 tahun. Golongan ini adalah “usia nanggung”. Proses pencarian jati diri biasanya lebih terjadi di fase ini. Masa seragam putih abu-abu merupakan masa yang penuh dengan pertanyaan dan pencarian jawaban akan eksistensi dan esensi diri para muda. Sedangkan, masa dewasa awal umumnya berada di usia 18-21 tahun. Anak muda menegaskan apa yang menjadi panggilan hidupnya melalui bekerja atau melanjutkan sekolah tingkat tinggi.
Orang muda sebagai “Agen Perubahan”
Dengan semangat dalam inovasi dan kreasi, orang muda mengekspresikan dirinya. Mereka memberikan dampak yang sangat segar dan luar biasa melalui pilihan tindakan mereka. Hal tersebut terwujud baik dalam lingkup sosial, sekolah, masyarakat, negara bahkan dunia, baik dalam ranah digital, maupun riil.
Kalau anak muda tidak punya imunitas diri yang kuat, tidak punya literasi digital, mereka akan menelan begitu saja konten di media sosial, termasuk yang mengandung ajaran terorisme. Kompas edisi 14 April 2021 mengunggah artikel berjudul “Anak Muda Melawan Radikalisme” dari Ester Lince Napitupulu dan rekannya.
Hari-hari ini, dunia sedang berada dalam pertarungan hidup dan mati melawan pandemi Covid-19. Beberapa negara sudah menunjukkan tren positif untuk terbebas dari wabah. Pusat keramaian hidup kembali, stadion sepak bola kembali bergemuruh, dan bahkan mobilitas sudah lebih terbuka. Di sisi lain, ada pula negara yang masih berjuang untuk mengurangi jumlah penularan, termasuk Indonesia. Pada titik inilah, orang muda dipanggil untuk menunjukkan kontribusi yang berdaya guna dan berdaya ubah.
Salah satu poin dari artikel Ester Lince adalah soal imunitas diri dan literasi digital. Konteksnya memang tidak hanya soal radikalisme, namun juga soal kesehatan fisik dan mental melawan pandemi. Peribahasa Jawa mengatakan, kebo nyusu gudel alias induk kerbau menyusu pada anaknya. Maknanya, orang muda mengambil peran dalam hal membagikan pengetahuan dan kebaikannya bagi generasi yang lebih tua.
Alih-alih ikut termakan arus bahwa Covid-19 hanya sebatas konspirasi, orang muda diajak untuk menyalakan lilin di tengah gulita pandemi. Orang muda justru menjadi percontohan bahwa kesediaan diri mengikuti vaksinasi adalah usaha untuk menciptakan kesejahteraan dan kebaikan bersama. Berketat diri dalam protokol kesehatan bukan semata-mata demi keselamatan diri, namun juga upaya untuk saling menyelamatkan.
Saat ini, menyamankan diri sebagai “korban” pandemi bukanlah pilihan orang muda. Kita diajak untuk mencari solusi, gagasan, dan ide melawan pandemi. Tindakan-tindakan sederhana yang dilakukan dengan sepenuh hati, konsisten, dan berkelanjutan harus dimaknai dalam kerangka besar perubahan. Setiap orang muda adalah agen perubahan.
Berkaca dari liyan
Ernest Prakarsa, seorang stand up comedy-an sekaligus sutradara muda, menunjukkan geliat untuk mengatasi keresahan bersama ini. Meskipun bukan sudah berkeluarga, Ernest seakan-akan “menantang” orang muda untuk bisa berbuat lebih daripada dirinya. Ia bekerja sama dengan jaringan Gusdurian memberikan bantuan dan menggalang dana untuk yang terdampak pandemi. Dengan memanfaatkan jutaan pengikut media sosialnya, berbagi kebaikan bukanlah hal yang tak mungkin. (Kompas, 5 April 2020, h. 6)
Beberapa bulan terakhir, rekan-rekan Banser, Muhammadiyah, dan Orang Muda Katolik di sisi barat Yogyakarta terlibat dalam kerja sama yang bikin merinding. Mereka menjadi relawan benteng terakhir penanganan Covid-19. Mereka mengesampingkan agama, latar belakang pendidikan, pekerjaan, maupun risiko atas dasar kepedulian dan kemanusiaan.
Orang muda ini membantu pemakaman yang layak dan pantas, penyediaan armada ambulans, pelayanan dekontaminasi wilayah, dan membantu proses isolasi mandiri. Salah satu dari mereka berbagi bahwa mereka sempat diusir oleh keluarganya karena keputusan menjadi relawan Covid-19. Inilah orang muda: mau dan mampu mengambil keputusan dan konsekuensinya, termasuk penolakan!
Lain lagi kisah Tirta Mandira Hudhi. Dia didukung warganet dalam usahanya mengatasi pandemi. Di saat yang bersamaan, dia juga dicap lebay dan mencari sensasi semata sebagai seorang pemengaruh. Padahal, kegigihannya untuk membangun solidaritas bersama tersebut mendapatkan sambutan dari para dermawan dengan mengirimkan donasi hingga 2,2 milyar rupiah. (Kompas, 1 April 2020, h. 16)
@EdyGypsum bercuit di Twitter pada 15 Agustus 2021 begini, “Selain Banser ada juga lho adik kita Gadhisa Ginanjar Siswi Kelas 2 MTs Maarif 2 Muntilan juga terjun sebagai relawan Generasi IPPNU Muntilan.” Hal ini mau menggambarkan Gadhisa bersikap saat pandemi, yaitu berempati; mempunyai rasa prihatin atas sesama dengan cara berbagi.
Pada waktu hampir bersamaan, pandemi tidak memadamkan prestasi pelajar. Phivelle, siswi SMP Santo Yakobus Jakarta Utara, terpilih sebagai juara 2 lomba FLS2N 2021 bidang desain poster tingkat SMP di Jakarta Utara. Situasi pandemi tidak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar. Phivelle tidak ingin hanya berdiam diri menghitung hari kapan pandemi ini berakhir.
Literasi digital modal aksi
Generasi milenial bisa saja diberi gelar homo digitalis. Orang muda abad ini adalah generasi digital yang lahir dari kelompok manusia pra-digital. Mereka tidak mewarisi kegagapan berteknologi ala boomers. Melihat fenomena dalam layar kotak dalam inchi, orang muda tidak diajak untuk menjadi insecure. Literasi digital bermuara pada sikap untuk cerdas membaca situasi dan cerdas untuk beraksi.
Hati-hati, tetap jaga dari. Media sosial itu senyap, namun bisa jadi pemantik untuk melolong lebih keras dalam kehidupan nyata karena bersinggungan dengan identitas tertentu. Orang lama berkata mulutmu harimaumu, orang sekarang bilang jemarimu harimaumu! Pemuda dan pemudi sebagai mitra-digital harus hadir dalam mengawal arus tersebut. Setidaknya, jangan sampai sekali klik justru terbitlah kekacauan baru.
Revolusi digital menuntut kecerdasan literasinya pula. Berhadapan dengan pelbagai macam pendapat, tidak jarang brutalitas di media sosial adalah musuh utamanya. Orang muda pun harus sadar akan pentingnya beraksi daripada menjadi social justice warrior atau nabi-nabi di media sosial. Hal ini adalah upaya menangkal yang menjadi ketakutan Thomas Hobbes, “Kehidupan bersama manusia tidak hanya menyedihkan, melainkan juga sangat berat.”
Orang muda memutuskan
Tagar #GardaMudaBerantasCOVID19 dan Gerakan #patunganIDE oleh Perkumpulan Warga Muda adalah bentuk penguatan literasi digital. Bentuk kampanye dan keterlibatan macam ini adalah arena orang muda untuk melawan pandemi dan mengurangi krisis jangka panjang. Kemauan untuk menjadi berkah semesta dan sesama adalah ciri khas orang muda yang inisiatif dan inklusif.
Pearl S. Buck mengatakan, “The young do not know enough to be prudent, and therefore they attempt the impossible, and achieve it, generation after generation.” Akhirnya, situasi tak menentu karena pandemi, apakah orang muda hanya bisa diam, mengeluh, dan mengkritik? Atau memilih apatis akan sesuatu kebenaran dan kemanusiaan? Pilihan sebagai generasi penerus bangsa ada di tangan orang muda. Kalian mau melakukan apa sekarang?
Mari, kita berpadu padan dengan pekik asa Peringatan Kemerdekaan Indonesia ke-76, “Orang Muda Tangguh, Indonesia Tumbuh!”