Tulisan ini akan banyak menyinggung perkara student wellbeing dari apa yang dialami Puteri. Selain cantik, Puteri adalah anak yang baik, cerdas dan bersedia untuk beradaptasi. Memasuki Tahun Akademik 2021-2021 lalu, Puteri bersekolah di sekolah yang baru, di daerah yang juga sama sekali baru. Sudah hampir 3 bulan proses pembelajaran berlangsung.
Lebih kurang seminggu terakhir ini Puteri tampak suntuk. Ketika ditanya, ada apa atau kenapa, dia malah menangis sesenggukan. Setelah beberapa saat dan mulai tenang, Puteri pun bercerita. Rupanya, dia merasa kerap tidak sambung dengan teman-teman maupun gurunya; bukan hanya dalam hal bahasa tetapi juga dalam hal cara berpikir. Bahasa daerah lebih kental dipergunakan di sekolahnya. Bila Puteri mengajukan pertanyaan yang agak sulit, dia dicap sebagai sok pinter.
Di akhir cerita, sambil masih terisak dia berkata lirih: “Puteri tidak happy di sekolah yang baru.”
Apa itu Student Wellbeing?
Ketika mendengar Puteri berkata bahwa dia tidak happy di sekolah baru, apakah reaksi kita? Apakah kita menganggapnya lumrah, atau terbersit dalam hati kita pertanyaan ini: sejauh mana wellbeing Puteri sudah terakomodasi di lingkungan sekolahnya?
Akhir-akhir ini tema mengenai wellbeing cukup dipercakapkan di dunia Pendidikan. Apa persisnya arti student wellbeing? Apa bedanya dengan student welfare?
Dalam buku berjudul The PROSPER School Pathways for Student Wellbeing (Springer, 2016), Toni Noble dan Helen McGrath menyitir beberapa definisi mengenai student wellbeing sebagai kondisi:
- emosi positif, yang merupakan hasil dari keselarasan antara semua faktor dalam konteks tertentu di satu sisi dan kebutuhan serta harapan pribadi terhadap sekolah di sisi lain (Noble et al, 2008),
- sejauh mana seorang siswa merasa aman-nyaman di lingkungan sekolah (De Fraine et al, 2005), dan
- di mana seorang siswa hidup secara aktif dan efektif dalam komunitas sekolah (Frailon, 2004).
Kemudian, Noble dan McGrath menyampaikan sebuah definisi yang lebih komprehensif yang merupakan kesepakatan banyak ahli Pendidikan dari pelbagai penjuru dunia. Saya kutipkan versi aslinya:
Optimal student wellbeing is a sustainable emotional state characterized by (predominantly) positive mood and attitude, positive relationship with other students and teachers, resilience, self-optimisation, and a high level of satisfaction with their learning experiences at school. (Noble et al, 2008)
Kesejahteraan siswa yang optimal adalah keadaan emosional yang berkelanjutan yang ditandai dengan (terutama) suasana hati dan sikap yang positif, hubungan positif dengan siswa lain maupun guru, kedaya-tahanan, pengoptimalan kemampuan diri, serta tingkat kepuasan yang tinggi terhadap pengalaman belajar mereka di sekolah.
Sementara itu, masih menurut Noble dan McGrath, student welfare lebih bernuansa kesejahteraan sosial. Artinya, sejauh mana seorang murid berkecukupan dalam hal sandang, pangan, papan, dan kesehatan.
Kembali ke perihal student wellbeing, bagaimana hal itu diterapkan dalam praksis? Atau, bagaimana kita bisa mengoptimalkan wellbeing dari setiap murid (utamanya), juga setiap pihak yang terlibat, di lingkungan sekolah kita?
Kisi-kisi PROSPER
Noble dan McGrath (2016) mengusulkan kisi-kisi PROSPER sebagai salah satu pilihan. PROSPER di sini merupakan akronim dari Positivity, Relationship, Outcomes, Strengths, Purpose, Engagement, dan Resilience. Komponen yang satu tidak bisa dipisahkan dari yang lain karena ketujuhnya saling terintegrasi sebagai satu kesatuan.
Dalam Bahasa Inggris, kata “to prosper” berarti “berkembang pesat dan berhasil baik dengan cara yang sehat”. Maka bukan tanpa alasan akronim PROSPER memiliki konotasi yang sama. Hal ini bisa dimengerti karena konsep tersebut berakar kuat pada literatur Psikologi Positif maupun Psikologi Pendidikan.
Sejatinya, PROSPER merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep PERMA (Positive emotions, Engagement, Relationship, Meaning and Purpose) yang ditawarkan oleh Martin Seligman (2011), salah satu pionir Psikologi Positif.
Lebih lanjut Noble dan McGrath menggarisbawahi bahwa kesejahteraan murid (student wellbeing) merupakan buah atau hasil dari kebijakan sekolah, struktur dan praxis yang disusun berdasarkan kisi-kisi tersebut.
Mari kita tinjau satu per satu ketujuh komponen PROSPER secara ringkas.
Positivity
Positivity mengacu pada pengalaman emosi yang bersifat positif dalam konteks sekolah. Ini bisa berarti rasa aman dan nyaman, menjadi bagian dari komunitas, memiliki keingintahuan atas hal-hal yang baru, kegembiraan dan keceriaan. Dalam Positivity dimasukkan pula rasa syukur, saling mengapresiasi, pola pikir positif termasuk kesadaran batin (mindfulness), dan sikap optimistis.
Relationship
Relationship merujuk pada kualitas relasi timbal balik yang positif di antara para murid, guru, orang tua maupun seluruh pihak yang terkait. Nilai-nilai pro-sosial dijunjung tinggi. Struktur organigram maupun aneka pola interaksi mesti mendukung terbangunnya relasi positif tersebut.
Outcomes
Outcomes meliputi adanya kemajuan dalam mencapai tujuan, kemampuan mengerjakan tugas sekolah (secara semakin mandiri), pemahaman yang benar perlunya ketekunan dan kerja keras dalam mencapai hasil, memiliki growth-mindset, mahir, dan berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan (target).
Strengths
Strengths berarti kemampuan mengetahui kekuatan diri dan mampu memergunakannya dalam pelbagai konteks. Kekuatan selalu dikembangkan lebih lanjut dan diberi kesempatan untuk menerapkannya.
Purpose
Purpose di sini berarti keyakinan bahwa hal-hal yang dipelajari memiliki nilai positif yang baik secara intrinsik. Murid merasa “terhubung secara bermakna” dengan sesuatu yang jauh lebih besar di luar dirinya. Selalu ada kesempatan untuk mengasah kepedulian dan mewujudkan pelayanan kepada kepentingan bersama/komunitas.
Engagement
Engagement mengacu pada rasa terlibat terhadap aktivitas serta proses pembelajaran. Murid merasa dengan senang hati terserap dan asyik di dalam proses tersebut. Beberapa strategi yang sudah teruji dan terbukti efektif pun diterapkan untuk semakin memperbesar keikutsertaan dan keterlibatan murid.
Resilience
Resilience menunjuk pada ketangguhan untuk menekuni sesuatu. Murid tidak takut pada kegagalan, tetapi selalu berani belajar dari setiap “kegagalan” untuk menemukan cara-cara alternatif yang baru sampai menemukan cara yang paling tepat dan berhasil. Anak gagah berani menyambut tantangan dengan jiwa besar.
Seperti telah disinggung di atas, ketujuh komponen di atas saling terintegrasi.
PROSPER ini merupakan framework (kerangka) atau kisi-kisi yang fleksibel. Beberapa gagasan pokok dari Psikologi Positif diintegrasikan di dalamnya. Ditambahkan pula di dalamnya pemahaman ilmiah yang mutakhir mengenai student wellbeing serta aspek pembelajaran emosional dan sosial. Kisi-kisi ini didesain sebagai panduan untuk level dari pra-Sekolah sampai dengan tingkat SMA.
Karena keterbatasan ruang, detail implementasi PROSPER tidak dijabarkan di sini. Bila berminat, silakan dengan merdeka memelajari dan mendalami buku Toni Noble dan Helen McGrath yang telah disebutkan di atas, The PROSPER School Pathways for Student Wellbeing (Springer, 2016), ISBN 9783319217949.
Penutup
Puteri dalam kisah di atas sudah berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Tetapi, proses adaptasi tidak serta merta mudah untuk sebagaian orang, bahkan bila yang bersangkutan juga bersedia.
Ketika Puteri bilang bahwa dia “tidak happy di sekolah baru” banyak hal terkait yang mesti masuk dalam check-list untuk dilihat. Setidaknya bisa dilihat dari dua aspek ini, yaitu dari sisi subjektif (hedonisme) dan sisi obyektif (eudaimonia): apakah rasa tidak happy itu semata-mata berdasarkan rasa suka/tidak suka? Ataukah, dia benar-benar mengalami hambatan dan sumbatan yang membuat potensi dirinya tidak teraktualisasi dengan baik? Asesmen terhadap lingkungan sekolah dibutuhkan, bahkan bersifat mendesak.
Kisi-kisi PROSPER (Positivity, Relationship, Outcomes, Strengths, Purpose, Engagement, dan Resilience) bisa menjadi salah satu acuan dan pembanding bagaimana mengupayakan lingkungan pendidikan yang lebih kondusif, yang mengedepankan wellbeing setiap insan didik dan semua pihak yang terlibat di dalam proses pendidikan.