Repetitio Est Mater Studiorum
“Tiger [Woods—ed.] hadir menyimbolkan gagasan bahwa jumlah latihan yang memang terprogram akan menentukan keberhasilan—dan sudah sewajarnya bahwa latihan harus dimulai sejak sedini mungkin.”
David Epstein, Range (h. 6)
Syahdan, dalam sebuah video yang bertarikh 1993, seorang bocah laki-laki tengah menggocek bola dengan lincah. Bocah itu nampak paling kecil di antara kawan-kawan sebayanya. Namun, bola yang digiringnya bagai mengandung magnet di kakinya. Bocah itu pun tak terintimidasi oleh perawakan lawan yang lebih besar darinya. Bocah itu pun tak terintimidasi oleh perawakan lawan yang lebih besar darinya. Bocah paling kecil di tim Grandoli—klub lokal di Rosario, Argentina—Itu mampu mencetak 4 atau 5 gol dalam satu pertandingan. Penasaran siapa nama bocah itu? Dialah Lionel Andres Messi.
Para atlet profesional pada umumnya menekuni bidangnya sedari usia muda. Lionel Messi bermain sepak bola dari usia 5 tahun. Begitu pula yang dialami oleh Eldrick Tont Wood muda. Anda merasa asing dengan nama ini. Tapi, itulah nama lengkap Tiger Wood. Tiger sudah bermain golf bahkan sebelum genap berusia dua tahun! Dalam bukunya, Range (2019), David Epstein mengemukakan bahwa pengulangan latihan-latihan yang terprogram dan bersifat sangat teknis akan menghasilkan atlet-atlet yang masuk dalam kasta elite.
Gagasan tentang latihan terprogram dan berulang-ulang dalam tempo yang lama juga diungkapkan oleh Malcolm Gladwell dalam Outliers (2008). Gladwell berpendapat bahwa orang akan sungguh menguasai suatu bidang jika mampu melalui “akumulasi latihan selama 10 ribu jam.” Dalam budi bahasa sehari-hari, kita menemukan peribahasa: Alah bisa karena biasa. Kepandaian yang kita miliki, terasah berkat keseriusan dalam berlatih. Jika menempatkannya dalam dunia pendidikan, ada tertulis: Pengulangan adalah ibu dari pembelajaran. Di masa pandemi, yang membuat kita banyak tinggal di rumah dan keluarga, rasanya baik kalau kita sedikit kepo: Adakah keutamaan yang dilatihkan secara berulang-ulang oleh keluargaku?
Spesialisasi apakah Koentji?
“Membuat pilihan beragam saat hendak memasuki jalur karir tertentu, saya pikir, adalah strategi yang produktif. Memilih untuk masuk pada spesialisasi sejak awal, sejauh hal tersebut masuk akal, adalah mungkin, sebagai satu pilihan dari banyak kemungkinan.”
David Epstein, Range (h. 304)
Sementara Tiger Woods sejak dini memang “dipersiapkan” menjadi seorang atlet golf profesional, ada pula atlet elite yang memiliki latar belakang sebaliknya. David Epstein menyebut satu nama, Serena Williams. Bersama dengan saudari kandungnya, Venus—yang juga termasuk deretan petenis elite level dunia—Serena, sejak kecil terbiasa berlatih balet, senam, taekwondo, dan atletik. Mereka berdua juga berlatih melempar bola American football untuk melatih kekuatan saat melakukan servis. Serena kecil sedikit berseberangan jalur dengan Tiger Woods. Serena tidak hanya berfokus pada olah raga tenis saja, sementara Tiger hanya berfokus pada golf.
Ada hal krusial lain yang juga terjadi pada fase awal kesuksesan para bocah ajaib. Tidak hanya Tiger Wood, Wolfgang Amadeus Mozart pun memiliki pengalaman ini. Menurut Ellen Wenner, yang menulis Gifted Children (1996), para bocah ajaib itu selalu memiliki keinginan keras untuk menguasai bidang yang mereka senangi (the rage to master). Maka, dalam pandangan Epstein, strategi terbaik adalah dengan memperkenalkan beragam bidang minat kepada para bocah ajaib itu. Harapannya, dari beragam bidang tersebut ada satu atau dua yang sungguh dapat memantik the rage to master dalam diri mereka.
Di tengah semangat zaman yang membuat kita menjadi spesialis, Epstein mencoba menawarkan hal lain. Ia mencoba menyadarkan kita. Pada dasarnya, ada lebih besar kemungkinan mencapai kesuksesan pada diri generalis. Barangkali, kita bisa belajar dari Christopher Nolan, sutradara film-film ajaib seperti Inception, Interstellar, dan The Dark Knight. Menurutnya, percik keberhasilan berawal dari keberanian mencoba banyak hal baru. Seperti seorang penulis, kata Nolan, kita perlu sekali banyak membaca. Bahkan, jika saat itu membaca tidak memiliki tujuan khusus untuk dicapai. Inilah proses penggalian untuk menemukan sesuatu yang belum Anda sadari bahwa Anda sendiri sudah memilikinya.
Tabik,
Periplus