Barack “Barry” Obama meluncurkan sebuah memoar pada akhir 2020 yang lalu. Di dalamnya, Barry Obama berkisah tentang perjalanan hidupnya. Barry berpanjang lebar soal perjalan hidupnya, mulai dari masa kecil dan latar belakang keluarga, juga sedikit kenangan tentang Indonesia. Ia berbagi banyak aspek soal kehidupannya, sebagai manusia, namun juga sebagai Presiden Amerika Serikat.
Barry memiliki harapan baik bagi orang-orang muda yang ingin terjun ke ranah politik. Ia juga berkisah soal beberapa keresahan. Dan, yang juga menarik, ia bercerita apa arti buku baginya: layaknya tempat “mengungsi”. Namun, Barry muda juga manusia biasa, dengan hormone remaja yang bergolak. Ia juga menjadikan buku-buku sebagai “karpet merah” menggaet gadis idaman. Berhasilkan Barry? Simak saja tulisan ini.
Menimba inspirasi dari Barry Obama
Pandemi Covid-19 barangkali telah mengguncang kehidupan kita. Ia datang laksana badai yang tiba-tiba muncul di cuaca yang cerah. Namun demikian, seperti kalimat puitis para penyair, setiap badai pasti akan berlalu. Yang muncul kemudian adalah pendar-pendar pelangi. Dalam beragam kebudayaan, pelangi adalah simbol harapan.
Sejenak merenung soal harapan, pikiran saya tidak bisa lepas dari sebuah buku autobiografi yang sedang saya baca. Buku itu adalah A Promised Land (2020) karya Barack Obama. Barry pun menyadari bahwa pandemi Covid-19 sekadar gangguan belaka dalam perjalanan panjang menuju dunia yang saling terhubung. Di dunia yang saling terhubung itu, menurut Obama, kita akan belajar untuk hidup bersama, sebagai warga dunia yang sama.
Selain soal hidup bersama, mantan Presiden Amerika Serikat itu, di awal bukunya, berpesan bahwa ia hendak menceritakan kisah pribadi yang dimilikinya untuk menginspirasi kaum muda. Barry Obama sungguh ingin mengajak kaum muda terinspirasi menjadi pelayan publik.
Obama ingin, agar orang-orang muda tidak “terpenjara” oleh latar belakang mereka. Maka, ia sendiri menjelaskan bahwa:
“karir saya dalam politik benar-benar dimulai dengan mencari tempat untuk menyesuaikan diri, sebuah cara untuk menjelaskan helai-helai beragam dari latar belakang keturunan campur dalam diriku, dan hanya dengan menaiki kereta menuju hal yang lebih besar dari diriku, bahwa saya akhirnya dapat menemukan komunitas dan tujuan hidup saya.”
A Promised Land, Barack Obama, h. xiv.
Latar belakang keluarga Barry sangat beragam. Ayah Barry, Barack Obama Sr., dibesarkan di Kenya. Sang ayah pada masa mudanya sempat menempuh pendidikan di Universitas Hawaii. Di sanalah ia bertemu dengan Ann Dunham, perempuan asli Texas, AS, dan memutuskan untuk menikah. Pada 4 Agustus 1961, pasangan tersebut dikaruniai seorang putra dan mereka menamainya Barack Obama. Namun, Barack Obama Sr. meninggalkan Ann Dunham dan bayinya tidak lama setelah si bayi lahir. Barack Obama Sr. pindah ke Massachusetts untuk mengejar gelar Ph.D. dari Universitas Harvard. Ann lalu memutuskan untuk bercerai dari Barack Obama Sr.
Keresahan-keresahan Barry Obama
Ketika duduk di bangku SMA, Barry mulai mempertanyakan keputusan orang tuanya. Ia tentu terpengaruh, baik oleh ketidakhadiran ayah kandungnya dan keputusan ibunya untuk bercerai. Meskipun demikian, bukan hanya itu yang membuat Barry resah. Keresahan utamanya bersumber pada persoalan ras selain juga kelas sosial. Ia merasa mengapa dirinya tinggal di lingkungan yang hanya ditinggali oleh orang-orang “yang sama” dengan dirinya. Barry juga merasa bahwa kesempatan dibesarkan di Indonesia membuatnya mampu melihat kenyataan akan adanya jurang menganga antara para elit yang kaya-raya dan kebanyakan orang yang miskin.
Kenyataan-kenyataan semacam ini, membuat Barry sedikit bingung. Dalam A Promised Land, ia menggambarkan kondisi ini demikian:
“Semua ini menarikku ke arah yang berbeda-beda. Seolah-olah, karena keanehan latar belakang diriku dan dunia yang kukangkangi, aku datang dari mana-mana sekaligus bukan dari mana-mana, sebuah kombinasi dari hal-hal yang tidak pas layaknya seekor platipus atau hewan buas imajiner, terbatasi oleh habitatnya yang rapuh, tak tentu asalnya. Dan, sebagaimana kurasakan, tanpa sepenuhnya memahami mengapa atau bagaimana, jika kecuali aku dapat menjahit hidupku scara utuh dan menempatkannya pada poros yang kokoh, aku barangkali akan berakhir sendirian saja menjalani hidup dengan sederhana.”
Perasaan yang demikian halus tidak pernah diungkapkan ke siapa pun. Tidak dengan kawan, tidak dengan keluarga. Obama hanya ingin menjaga perasaan orang-orang terdekatnya. Ia justru menemukan tempat berlindung pada buku-buku yang ia baca. Kebiasaan membaca ditanamkan oleh ibunya sejak dini. Ann sering berpesan begini, “Bacalah sebuah buku yang bagus. Lalu, ceritakan lagi ke Ibu apa yang sudah kamu pelajari.”
Barry kecil lalu dibesarkan oleh kakek dan neneknya, sementara Ann melanjutkan bekerja di Indonesia dan membesarkan adik tirinya, Maya. Suatu kali, saat duduk di kelas sepuluh, Barry ikut kakeknya ke tempat penjualan barang bekas. Matanya tertumbuk pada setumpukan buku. Ia memilih beberapa yang dia kenal.
Kakek Barry kebingungan karena cucu laki-lakinya pulang dengan satu boks penuh buku. Beberapa di antaranya adalah karya Ralph Ellison dan Langston Hughes, Robert Penn Warren dan Dostoyevsky, D.H. Lawrence dan Ralph Waldo Emerson. Si Kakek lalu menggoda Barry, “Emang, lagi pengin bikin perpustakaan?” Nenek Barry akan menyuruh Kakek diam, mengingat minat Barry yang besar pada dunia buku dan bacaan.
Obama sendiri ketika dewasa menyadari bahwa minatnya pada buku membuatnya mampu melewati masa SMA. Lebih lagi, kecintaannya pada buku membawanya masuk ke Occidental College, Los Angeles, pada 1979. Meskipun, Obama menyadari pengetahuan politiknya yang setengah matang hanya cukup untuk lolos dari ujian.
Selain itu, minatnya pada buku dan bacaan membantunya untuk mendekati beberapa perempuan semasa awal kuliah, meskipun hal ini diakuinya agak memalukan. Karya Marx dan Marcuse, misalnya, dilahap Barry muda demi mendekati perempuan berhaluan sosialis berkaki jenjang yang tinggal di asrama yang sama. Atau, ia membaca Fanon dan Gwendolyn Brooks demi mendekati perempuan berkulit halus yang mengambil mayor Sosiologi. Sayangnya, si perempuan tidak mengacuhkan Barry. Pada gilirannya, Barry Obama muda menyadari betapa intelektualisme semu yang dipraktikannya sungguh tak berguna untuk menggaet hati perempuan muda.
Literasi: jembatan dua dunia
Obama muda menemukan bahwa kegemarannya membaca membuatnya menganggap buku-buku sebagai tempat berlindung. Memang, membaca buku akan membawa kita masuk ke sebuah “dunia mental” milik penulis. Selain dimiliki penulis, “dunia mental” ini juga dimiliki tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita fiksi, misalnya. Kita, para pembaca, dibawa masuk ke sebuah dunia yang berbeda dari dunia kita sehari-hari.
Lalu, sebuah pertanyaan bisa diajukan. Di manakah dunia kita saat membaca—dalam arti masuk ke dalam dunia para penulis? Justru dengan literasi, kita diajak untuk bisa “membangun jembatan” antara dunia penulis dan dunia kita sendiri. Tulisan membuka lebar cakrawala pengetahuan kita. Dari sana, kita dapat menggali gagasan dan inspirasi untuk kita. Kita membaca, artinya kita menggali pengalaman orang lain.
Namun, sebagai pembaca yang memiliki kemampuan literasi, kita tidak cukup hanya mengerti apa yang kita baca saja. Tugas kita adalah mengaplikasikan gagasan dan inspirasi dari bacaan-bacaan kita ke dalam hidup sehari-hari. Dari proses ini, bacaan-bacaan yang sudah kita cerna menjadi bagian dari diri kita. Harapannya, jika kita menemukan persoalan-persoalan dalam hidup sehari-hari, inspirasi dari bacaan dapat kita panggil sehingga kita dapat menjawab persoalan-persoalan itu. Hidup akan sedikit lebih bermakna jika kita dapat melakukannya, bukan?