Douglas Abrams, penulis The Book of Joy (2016) mungkin salah satu penulis paling beruntung di muka bumi. Kita akan kembali pada peristiwa di April 2015. Uskup Agung Desmond Tutu berkunjung ke tempat sahabatnya, Dalai Lama, di Dharamsala, India. Kunjungan persahabatan itu terjadi dalam rangka perayaan 80 tahun kelahiran Dalai Lama. Kedua tokoh perdamaian ini memiliki kesamaan: sepanjang hidup mereka mengalami kesukaran. Dalai Lama menjalani masa pengasingan dari tempat tinggalnya sendiri selama 50 tahun. Sementara, Uskup Agung Desmond Tutu mengalami langsung sengatan kebencian karena politik apartheid di Afrika Selatan.
Ajaibnya, pasangan sahabat ini membicarakan hal paling luar biasa dalam kehidupan, sukacita (joy).
Sukacita itu ada di dalam batin
Sebelum melangkah lebih jauh, rasanya kita perlu memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan sukacita dalam perbincangan Dalai Lama dan Uskup Agung Desmond Tutu dalam The Book of Joy. Hal ini sebenarnya tak lepas dari apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Dalai Lama. Menurutnya, di dalam kehidupan ini, kita berhadapan dengan sebuah pertanyaan yang mendasari eksistensi diri kita. Apakah yang menjadi tujuan hidup kita?
Menurut Dalai Lama, berdasarkan apa yang dialaminya, tujuan hidup kita tidak lain untuk menemukan kebahagiaan. “Tidak masalah apakah seorang Buddhis seperti saya, atau seorang Kristiani seperti Uskup Agung, atau agama yang lain, atau bahkan tidak menganut agama tertentu. Sejak kita dilahirkan, setiap manusia ingin menemukan kebahagiaan dan menghindari penderitaan. Budaya, pendidikan, atau agama tertentu tidak berpengaruh pada kecenderungan ini. Dari lubuk terdalam sisi manusiawi, kita menginginkan sukacita dan kesenangan.” (hlm. 14)
Baik Dalai Lama maupun Desmond Tutu sepakat untuk membedakan antara sukacita (joy) dan kebahagiaan (happiness). Bagi keduanya, keadaan bahagia masih diliputi situasi menyangkut dengan rasa puas (satisfaction). Lain bahagia, lain pula dengan sukacita. Sukacita bisa jadi melibatkan pengalaman yang menyakitkan. Namun demikian, rasa sakit yang timbul dalam pengalaman itu bisa ditransformasi menjadi sukacita. Contoh terbaik dari gagasan ini adalah rasa sakit yang diderita seorang ibu dan sukacita yang ditimbulkan akibat kelahiran seorang bayi.
Nilai-nilai material ini tidak akan bisa memberi kedamaian dalam diri kita.
Sukacita (joy) yang dibicarakan dengan renyah namun mendalam oleh Dalai Lama dan Desmond Tutu adalah hal yang lebih dalam. Masyarakat pada umumnya terlalu menekankan nilai-nilai yang bersifat permukaan belaka. Keduanya bahkan memandang bahwa dunia pendidikan tidak memerhatikan nilai-nilai batiniah. Justru nilai-nilai material yang menjadi primadona bagi dunia pendidikan dewasa ini.
Karena dunia dewasa ini begitu mendewakan nilai-nilai material, bagi Dalai Lama dan Desmond Tutu, permasalahan ada di pikiran dan hati manusia. Nilai-nilai material ini tidak akan bisa memberi kedamaian dalam diri kita. Maka, apa yang perlu kita perhatikan tidak lain adalah nilai-nilai batiniah agar kita dapat membuat diri kita merasakan sukacita sejati.
Tentang sukacita sejati, Desmond Tutu memberi contoh yang sangat bagus. Sang Uskup Agung lalu bercerita soal seorang ibu yang kelelahan karena bekerja keras dan memikirkan banyak hal dalam hidup keluarganya. Seketika juga anak kesayangannya jatuh sakit. Namun, demi cintanya pada sang buah hati, ibu itu merawatnya siang-malam. Ketika anak itu sembuh, apa yang dirasakan si ibu tidak lain adalah sebentuk sukacita. (hlm. 32—33)