Setiap keluarga pasti punya cerita keluarga. Apa pun genrenya, pasti ada cerita keluarga yang terselip dalam insitusi paling sederhana yang membentuk masyarakat ini. Budaya populer membingkai cerita keluarga ini menjadi komoditas budaya yang siap dikonsumsi. Setiap hari raya Lebaran atau Natal, misalnya, televisi biasanya akan menyajikan program-program tontonan yang bisa dinikmati seluruh keluarga. Gerai-gerai makanan biasanya juga menyediakan menu-menu khusus yang bisa dipesan oleh rombongan keluarga. Belum lagi jika melirik industry pariwisata. Akan jamak kita temukan paket-paket liburan yang diperuntukkan bagi rombongan keluarga.
Untuk kita yang hidup dalam budaya dana lam pikir Timur, keluarga acap menjadi kata yang demikian penting. Bahkan, untuk beberapa kultur di Timur, keluarga memiliki derajat kesakralan. Mereka yang dituakan di dalam keluarga otomatis layak mendapat penghormatan dari mereka yang lebih muda. Dalam tata nilai masyarakat Timur, ketaatan yang muda kepada yang tua merupakan kewajiban yang harus dilakukan mereka yang lebih muda. Sementara itu, orang-orang yang dituakan wajib memberikan tuntunan kepada yang lebih muda. Sistem ini tentu didasarkan pada tata kelola masyarakat yang disebut sebagai tradisi.
Apa yang telah berjalan sedemikian lama terkait dengan tata nilai dalam institusi keluarga ini mendapat tantangan dari era modern. Dua hal yang menandai gerbang modernitas dan memengaruhi nilai-nilai tradisional, yakni sistem demokrasi dan kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi. Sebagai sebuah konsep, demokrasi memang lahir sekitar abad ke-5 sebelum Masehi. Namun, angin demokrasi makin kencang berembus sejak abad ke-20, ketika sistem pemerintahan monarki mulai ditinggalkan. Demokrasi membuka peluang bagi semua orang untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
Sementara itu, perkembangan teknologi, khususnya dalam bidang informasi, membuat pengetahuan semakin mudah diakses oleh siapa saja. Akibatnya, monopoli informasi menjadi semakin tidak relevan. Melalui media sosial, misalnya, siapa saja bisa menjadi penyedia informasi.
Imbas semangat zaman modern yang dibawa oleh demokrasi dan kemajuan teknologi informasi pada institusi keluarga tidaklah sedikit. Saat ini, peran orang tua sebagai penentu kebijakan dan mercusuar bagi kehidupan anak-anak mereka tidak lagi terlalu dominan. Suara dan pendapat yang dimiliki anak-anak perlu diberi ruang untuk didengarkan. Peran orang tua saat ini bukan hanya sebagai orang tua yang mengayomi anak-anak mereka. Orang tua zaman modern justru lebih dituntut banyak hadir sebagai sahabat bagi anak-anak mereka.
Artinya, tidak hanya anak yang berproses dalam hal pengasuhan, namun demikian para orang tua. Orang tua dan anak-anak layak membangun kerjasama seperti sebuah tim olah raga. Setiap anggota keluarga masing-masing memegang tanggung jawab berdasarkan peranan yang disepakati bersama. Dengan demikian, proses komunikasi yang luwes, bersahabat, namun tetap penuh rasa hormat dan cinta menjadi mutlak ada dalam keluarga modern.
***
Belakangan ini, saya sedang membaca autobiografi Simu Liu, We Were Dreamers (2022). Di sana, pemeran pahlawan super besutan semesta Marvel berlatar belakang Asia, Sang Chi, berkisah banyak tentang keluarganya. Ia memberi subjudul yang terkait langsung dengan keluarganya, An Imigrant Superhero Origin Story atau “Kisah Asal Mula Seorang Pahlawan Super Imigran”. Simu Liu memang berasal dari keluarga imigran Cina. Dalam buku autobiografinya, ia sendiri memang mencoba mengeksplorasi aspek imigran ini dengan renyah, jujur, dan penuh humor. Sebagai seorang yang berlatar belakang keluarga imigran, Simu banyak berhadapan dengan pergulatan yang menyentuh aspek identitas dan stereotipe budaya.
We Were Dreamers: An Immigrant Superhero Origin Story (Hardcover)
Simu Liu lahir di Harbin, Cina, pada 19 April 1989. Harbin adalah wilayah di Timur Laut Cina yang terkenal dengan musim dinginnya yang brutal. Wilayah itu juga terkenal dengan festival tahunan ukiran esnya. Ayah Simu mengambil program doctoral di Queen’s University di Kanada ketika Simu berumur delapan bulan. Selang setahun, ibunya menyusul pindah ke Kanada untuk mengikuti ayahnya. Ini membuat Simu dibesarkan oleh kakek dan nenek dari pihak ayahnya hingga ia berumur lima tahun.
Simu sendiri merefleksikan bahwa namanya—dalam karakter Tiongkok—menggambarkan pengorbanan yang harus ditempuh kedua orang tuanya. Demi kehidupan yang lebih baik, keduanya harus berpisah dengan anak sendiri. Di lain sisi, nama Simu juga mencerminkan keinginan yang tak kesampaian karena sebagai seorang bocah, Simu tidak seperti bocah-bocah lainnya yang selama masa pertumbuhannya didampingi oleh orang tua mereka sendiri.
Pengalaman ini pada gilirannya membuat hubungan orang tua-anak yang dimilikinya terasa sedikit hambar. Simu tumbuh sebagai anak yang baik dan penurut. Ia berhasil secara akademis, memenangi lomba matematika nasional, dan membuat kedua orang tuanya bangga. Maklum saja, dalam darahnya mengandung DNA akademisi. Kakek dan ayah Simu adalah seorang akademisi. Namun, seiring bertambahnya usia, kehidupan pribadi Simu terasa semakin melenceng dari apa yang seharusnya diterimanya. Ia tidak tamat perguruan tinggi, hingga akhirnya ia berada di titik terendah dalam hidup saat diberhentikan dari pekerjaan pertamanya sebagai seorang akuntan.
Hidup Simu bergulir perlahan hingga akhirnya, melalui beragam penolakan dan kebetulan-kebetulan yang menggelikan, ia merintis jalan untuk dirinya sendiri. Simu lalu terjun dalam dunia seni peran. Ia menjadi seorang aktor. Rupanya, jalan berliku inilah yang digariskan baginya oleh kehidupan. Pada akhirnya, ia turut serta dalam produksi paling bergengsi yang dating dari Marvel Studio. Kesempatan ini memang membawa nama Simu Liu tampil di dunia hiburan, bahkan dalam skala internasional. Namun, lebih dalam lagi, Simu memaknai kesempatan ini juga untuk berekonsiliasi dengan kedua orang tuanya.
Mengingat-ingat kisah hidup Simu Liu dan kisah tentang keruwetan setiap keluarga membuat saya kembali terngiang pada syair sebuah lagu.
Harta yang paling berharga adalah keluarga/Istana yang paling indah adalah keluarga
***
Begitulah dua baris lirik awal serial tentang keluarga paling fenomenal tentang keluarga di Indonesia, Keluarga Cemara. Lagu ini sendiri diciptakan oleh Harry Tjahjono bersama si penulis novel Keluarga Cemara, almarhum Arswendo Atmowiloto. Lirik lagu “Harta Berharga” ini memang puitis. Bisa dijadikan ode untuk keluarga dengan aroma wangi yang semerbak. Hal ini sedikit berbeda dari lagu tentang keluarga dari The Cranberries, “Ode to My Family” yang berkisah tentang segala keterbatasan si vokalis/pencipta lagunya, almarhum Dolores O’Riordan. Dalam satu wawancara, Dolores pun mengakui bahwa masa kecilnya tidak mudah, keluarga menjadi satu hal yang penting baginya.
Pun, lirik lagu “Harta Berharga” yang banyak memakai sanjungan untuk menggambarkan kata “keluarga”, kisah film—apalagi jika kalian sempat mengikuti versi serialnya yang diputar di televisi swasta antara 1996 hingga 2005—Keluarga Cemara pun jauh dari gemerlap. Setiap keluarga selalu memiliki keruwetannya sendiri, tidak ada keluarga yang sempurna. Sebab, kesempurnaan hanya milik Tuhan semata.
Mungkin, tidak akan pernah ada keluarga yang sempurna. Barangkali, sebuah keluarga layaknya gading gajah. Tidak ada yang tidak retak. Namun, justru mungkin gajah yang memiliki gading yang mulus adalah gajah yang tidak sehat dan kuat. Fungsi gading yang begitu krusial bagi kehidupan seekor gajah justru membuatnya harus terus-menerus digunakan. Barangkali, yang perlu diubah adalah cara memandang gading: semakin retak sebuah gading, semakin gading itu teruji. Begitu pula rasanya diri kita dalam keluarga. Semakin tidak “sempurna” cerita keluarga kita, jangan-jangan itulah kesempatan bagi kita untuk tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Semoga.
Selamat menginsyafi Hari Keluarga Internasional ya, BiblioBestie!
Kamu juga bisa melihat rekomendasyik Editor’s Pick dari Perimin tentang keluarga di bawah ini:
Editor’s Pick: Buku tentang Keluarga, Cinta, dan Hubungan