Setelah minggu lalu mengulas buku Haruki Murakami Manga Stories 1 bagian kedua, kali ini perimin akan mengulas bagian ketiga dari buku ini: “Birthday Girl”. Penasaran, seperti apa keseruan “Bithday Girl?” Yuk, simak lebih dalam.
Sekilas tentang “Birthday Girl“
Hampir pasti hari ulang tahun adalah hari yang spesial untuk setiap orang. Apalagi, ketika usia beranjak dari 19 ke 20. Dekade kedua dalam kehidupan ini bisa dibilang awal pondasi untuk dekade-dekade selanjutnya dalam hidup. Kurang patut apa ketika kita mewajarkan perayaan ulang tahun yang ke-20? Tapi, kewajaran itu tak terbayang dalam benak tokoh kita dalam “Birthday Girl,” cerpen karya Haruki Murakami.
“Birthday Girl” pertama di Inggris dan dimuat dalam Harper’s Magazine Juli 2003, dua puluh tahun yang laluampaknya—angka dua puluh adalah “benang merah” dalam tulisan ini! Setahun sesudahnya, pada 2004, “Birthday Girl” masuk dalam bunga rampai cerpen yang dipilih dan diberi pengantar oleh Murakami dan diberi tajuk Birthday Stories. Cerpen ini pendek dan sederhana. Ada yang bilang bahwa “Birthday Girl” bisa diselesaikan bahkan sebelum secangkir kopi panas yang kita pesan habis diminum.
Sebuah kisah di hari ulang tahun
Hari hujan. Tokoh kita, yang biasanya hanya bekerja di Jumat, tapi dia sudah meminta libur Jumat ini, karena dia berulang tahun. Namun, di luar rencana, ia harus menggantikan rekan yang tidak bisa masuk. Toh, beberapa hari lalu tokoh kita bertengkar dengan cowoknya, padahal mereka sudah bersama sejak SMA. Jadi, tokoh kita memutuskan untuk masuk kerja.
Ia bekerja di sebuah restoran Italia di area Roppongi yang mewah di Tokyo. Restoran itu sudah punya nama. Hal krusial yang terjadi dalam pekerjaan tokoh kita adalah saat ia harus menggantikan peran manajer restoran mengantar makan malam untuk pemilik restoran. Tanpa menyana, manajer restoran mengalami sakit di bagian perut. Sepertinya, si manajer menderita apendisitis dan memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Si manajer berpesan kepada tokoh kita untuk mengantar makan malam ke kamar 604 di atas restoran.
Dengan canggung, tokoh kita menjalankan pekerjaan itu. Maklum saja, tugas itu selalu dikerjakan oleh si manajer restoran. Baru kali itulah tugas yang hampir seperti ritual keagamaan itu bukan dikerjakan oleh si manajer restoran.
Lalu, kejadian yang mungkin susah dimasukkan dalam nalar tokoh kita itu terjadi. Si pemilik restoran, lelaki sepuh berpakaian rapi menerima makanan yang diantar oleh tokoh kita. Kamar 604 lebih cocok disebut sebagai ruang kerja. Ruang pemilik restoran itu luas, semacam griya tawang, dengan seperangkat meja dan kursi kerja. Ruang itu juga memiliki jendela luas dan dari sana terlihat bayang-bayang Menara Tokyo yang berpendar di malam yang basah karena hujan. Setelah tokoh kita menyiapkan meja, pemilik restoran meminta waktu lima menit. Dan, lewat percakapan kecil mereka, si pemilik restoran tahu bahwa Jumat, 17 November, malam itu tokoh kita sedang berulang tahun.
Si pemilik restoran mengucapkan selamat pada tokoh kita. “Selamat ulang tahun. Semoga engkau menjalani hidup berkelimpahan dan bermanfaat, dan semoga bayangan gelap tidak menaungi kehidupanmu,” kata si pemilik restoran. Ia lalu melanjutkan, “Ulang tahun kedua puluh ini hanya terjadi sekali seumur hidup, Nona. Hari ini tidak akan terulang.”
Si pemilik restoran lalu meminta tokoh kita melambungkan harapan di hari ulang tahunnya. Si pemilik restoran menjamin bahwa harapan itu pasti terkabul. Setelah bertanya ini-itu, tokoh kita mengungkapkan harapannya, dalam hati. Si pemilik restoran agak heran atas harapan yang dilambungkan oleh tokoh kita. “Hanya itu harapanmu? Agak sedikit di luar dugaan untuk gadis seumuranmu. Saya bahkan mengharapkan sesuatu yang berbeda,” kata si pemilik restoran.
Tokoh kita merasa harapannya cukup. Ia bahkan memberi alasan mengapa tidak berharap jadi lebih cantik atau lebih pintar atau semakin kaya. “Menjadi lebih cantik, pintar, atau kaya, sepertinya bukan sesuatu yang bisa tertangani. Saya masih belum benar-benar paham apa itu hidup. Saya masih belum paham bagaimana cara kerja hidup,” jawab tokoh kita.
Waktu berlalu dan tokoh kita keluar dari pekerjaannya di restoran Italia itu. Semenjak saat itu, tokoh kita melanjutkan kehidupannya. Ia tidak lagi pernah bertemu dengan si pemilik restoran.
Dari narasi yang singkat mengalun pikiran panjang
“Birthday Girl” adalah cerpen singkat, namun memancing pemikiran yang panjang. Coba saja ganti si pemilik restoran dengan Tuhan dan tokoh kita dengan umat beriman. Maka, seluruh kisah menjadi kisah tentang iman, harapan, dan kasih.
Murakami memang seorang pendongeng yang serius. Lewat kisah-kisah yang ditulisnya, ia hendak bersikap apa adanya di hadapan hidup. “Birthday Girl” tentu bisa ditafsir dari banyak sisi. Namun demikian, tema cerpen ini selalu relevan karena ia berkisah tentang hidup—di dalamnya banyak terangkum keajaiban dan terselimuti dengan hal sehari-hari yang banal tapi tetap harus dilewati.