“I Read, Therefore I Write”—Endgame Townhall

0
Share
(Ki-ka) Judo Suwidji, Iyas Lawrence, dan Herald van der Linde. (Foto oleh @move.shot)

Obrolan menjadi bermakna, kata orang sekarang “daging semua”, ketika komunikasi orang yang terlibat dalam obrolan itu berjalan lancar dan isi obrolan tersebut menginspirasi, baik untuk mereka yang mengobrol atau mereka yang menonton obrolan. Siniar, belakangan ini, banyak digemari berbagai kalangan dari berbagai latar belakang untuk mengasah wawasan dan meluaskan cakrawala pengetahuan. Konon, kebudayaan manusia memang berkembang melalui obrolan.

Pada masa prasejarah, manusia yang tinggal di gua-gua dan telah menemukan api yang membantunya menghemat energi untuk mengunyah makanan, menghabiskan malam-malam penuh bintang dengan mengobrol mengelilingi api unggun. Melompat agak jauh, dekade ’20-an dari abad yang lalu yang gemerlap dan menggelegar, perkembangan ekonomi, kemajuan budaya, dan perubahan sosial yang pesat diinisiasi oleh para pemikir, seniman, atau penulis yang merancang ide-ide besar dari berbagai sudut café di Paris, London, maupun Berlin, yang akan diterapkan di Eropa. Kebudayaan manusia berkembang melalui obrolan, yang bermakna—tentu saja.

Situasi penuh obrolan yang bermutu—bukan sekadar omon-omon belaka—inilah yang dibutuhkan oleh Indonesia. Tentu saja, hal ini relevan mengingat kita adalah sebuah bangsa yang sedang berkembang. Maka, adalah baik ketika kita bersyukur atas kehadiran siniar Endgame. Endgame, sejauh ini, telah berevolusi. Dari sebuah siniar, Endgame menjadi komunitas, untuk kemudian beralih menjadi wadah diseminasi gagasan. Kredo Endgame pun jelas: menumbuhkan sekaligus mencetak semakin banyak pencerita tentang Indonesia bagi dunia internasional. Dalam semangat inilah Endgame menggelar Townhall untuk mengumpulkan para cerdik cendekia yang siap membangun negeri.

Satu obrolan cukup menarik dalam pagelaran Endgame Townhall yang lalu­­ terjadi antara Judo Suwidji; co-founder Periplus, Herald van der Linde; penulis buku Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire (2024), dan Iyas Lawrence; penyiar dan pendiri Makna Talks. Tiga orang ini akan mengobrol soal buku, sejarah, pendidikan, dan kebudayaan—sembari di sana-sini menyisipkan kesan pribadi dan lelucon di sana-sini.

Berikut, Perimin sajikan transkripsi obrolan dari Iyas, Judo, dan Mas Heru.

Iyas Lawrence membuka diskusi. (Foto oleh @move.shot)

Ilyas Lawrence (IL):

Saya baru kembali dari bulan madu di Sumba. Dan, selama bulan madu ini, saya diminta membaca sebuah buku, Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire. Sungguh, sebuah bulan madu! (Audiens tertawa.)

Namun demikian, tugas ini membawa ingatan saya pada masa kecil. Di akhir pekan, saya sering dibawa makan siang di salah satu pusat perbelanjaan di seberang tempat ini. Kami akan makan di sebuah restoran, memesan menu yang sama, dengan sebuah ritual yang selalu sama. Ayah saya akan memberi uang Rp 300.000,00 untuk membeli majalah Formula One dan The Economist di sebuah toko buku impor. Sisa uang dari Ayah bisa saya belikan buku yang nanti isinya akan kami diskusikan. Dan, toko buku impor itu adalah Periplus. Menjadi sebuah kehormatan untuk saya, dapat bertemu tokoh yang tidak secara langsung membentuk saya pada hari ini.

Maka, dengan hangat, mari kita sambut co-founder Periplus Bookshop bersama dengan penulis buku Jakarta: History of a Misunderstood City (2020) dan Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire, Bapak Judo Suwidji dan juga Bapak Herald van der Linde.

(Kepada Herald) Saya baru menyadari bahwa ternyata Herald memiliki nama Indonesia.

Herald van der Linde menceritakan bahwa dia juga sering dipanggil “Mas Heru.” (Foto oleh @move.shot)

Herald van der Linde (HL):

Ya, benar. Tadi Anda menyebut nama saya Herald van der Linde. Tapi, sebenarnya nama lengkap saya cukup panjang (menyebut nama lengkap yang cukup panjang secara cepat). Nah, coba kamu ingat itu. Cukup susah.

IL:

Iya, memang susah.

HL:

Maka, cukup panggil saya Mas Heru saja. (Audiens tertawa.)

IL:

Oke, kita berikan tepuk tangan untuk Mas Heru. (Audiens bertepuk tangan.)

(Kepada Judo) Kalau Bapak, saya panggil Pak Judo atau ada nama Belanda-nya? (Audiens tertawa.)

Judo Suwidji (JS):

Cukup Judo saja. Mas Judo, boleh lah.

IL:

Bercakap tentang buku, di belakang panggung tadi kita sedikit menyinggung soal ini. Pertanyaan saya, buku apa yang membuat Anda berdua sangat terkesan dan merasa itu “buku pertama” saya. Silakan dimulai bercerita. Pak Judo dipersilakan.

JS:

Pertama-tama, saat masih kecil saat masih belum bisa membaca, seingat saya mulai diperkenalkan dengan buku-buku karya Hans Christian Andersen. Saya merasa dengan buku-buku tersebut, saya dilatih berimajinasi. Selain itu, kebaikan dan budi pekerti diajarkan kepada saya melalui buku-buku tersebut. Tentu saja, karena belum bisa membaca, orang tua sayalah yang menceritakan kisah-kisah dalam buku-buku tersebut. Selain itu, saya juga masih ingat bagaimana buku-buku bergambar juga diberikan oleh orang tua saya. Pada waktu itu, memang pilihannya belum sebanyak saat ini.

Pengalaman lain yang masih membekas dalam ingatan saya adalah saat orang tua saya menunjukkan peta yang digunakan saat mereka masih bersekolah. Peta itu adalah peta dunia, terbitan penerbit Belanda. Ketika dewasa, saat mengunjungi Frankfurt Bookfair, saya bahkan mencari penerbit peta tersebut. Penerbit itu adalah Wolters.

HL:

Ya-ya-ya. Saya tahu itu, penerbit Wolters.

JS:

Iya, Herald pasti tahu sekali penerbit Wolters. Penerbit Wolters itu, setahu saya, adalah penerbit khusus bagi peta untuk sekolah-sekolah di Belanda. Pada saat saya berkenalan dengan mereka, rupanya Wolters juga menerbitkan peta-peta untuk sekolah-sekolah di Amerika, Eropa, Jepang, dan Australia.

Saya merasa terinspirasi dengan apa yang saya lihat ketika masih kecil. Maka, salah satu kekhasan Periplus adalah buku-buku peta. Teman-teman sendiri bisa melihat kalau sedang ke toko Periplus, akan ada peta-peta bersampul merah dan kuning. Itu karena ketika masih kecil, saya terinspirasi oleh buku peta dari penerbit Wolters.

Selain itu, saya merasa bahwa peta memiliki keindahan tertentu. Ketika melihat peta Indonesia, misalnya, kita akan terpukau oleh bentuk-bentuk topografi yang tersaji di dalamnya. Kita bandingkan saja dengan saat kita melihap aplikasi Google Maps. Di sana, kita hanya melihat sebagian kecil saja dari bentang alam Indonesia. Malahan, kita hanya melihat kepadatan lalu lintas saja! Namun, ketika melihat peta Indonesia dalam versi cetak, di mata kita terbentang wilayah yang begitu luas—dari Aceh hingga Papua!

Saya sering ditanya oleh kenalan dari luar negeri tentang seberapa luas Indonesia. Saya jawab, Indonesia itu besar sekali. Bayangkan, Anda terbang dari Teheran ke London. Atau, seperti dari Pantai Timur Amerika Serikat hingga Pantai Barat Amerika Serikat. Kita perlu waktu terbang hingga enam jam dari ujung barat hingga timur Indonesia. Belum lagi, kita adalah negara kepulauan yang sangat cantik ketika dilihat dari peta.

Maka, saya rasa, guru-guru geografi harus berbangga mengajarkan bentang alam dan kekayaan budaya yang kita miliki. Selain itu, kita juga perlu mengajarkan pada anak-anak betapa Indonesia penuh kekayaan budaya dan mengajak mereka mencintai cerita-cerita tradisional di Indonesia.

Mungkin, begitu Iyas.

IL:

Baik, rasanya obrolan kita sudah dirangkum dengan baik oleh Pak Judo. Terima kasih banyak, sekian dari saya… (Seolah akan beranjak dari kursi. Audiens tertawa.)

Tapi, memang saya yakin, teman-teman turis yang berkunjung ke Indonesia akan berterima kasih pada Periplus karena perkenalan mereka ketika pertama kali dengan Indonesia adalah ketika “disambut” oleh toko buku Periplus di bandara dan peta-peta yang disediakan.

Oke, Herald, bagaimana dengan buku pertama Anda. Apakah buku Tolstoy? (Audiens tertawa.)

HL:

Saya sebenarnya juga suka peta, tapi kalau di Belanda, naik pesawat hanya 25 menit, sudah lewat itu Belanda. (Audiens tertawa.) Ya, kecil sekali kalau dibandingkan Indonesia. Tapi, di Amsterdam, dulu ada satu toko yang punya peta Amsterdam, kira-kira dari 200 tahun yang lalu. Petanya besar sekali, mungkin 5 meter kali 5 meter, dan bagus sekali. Dulu, saya kalau diajak paman, kami bisa mengamati peta itu selama setengah jam.

Tapi pertanyaannya tentang buku pertama. Seingat saya, dulu saya dikasih sepuluh buku ensiklopedia buat anak dari tante saya. Terus, beberapa tahun kemudian, suatu minggu saya ke rumah opa dan menonton program di televisi, Cosmos, tentang alam semesta, juga antariksa. Saya merasa saya tertarik dan itu punya pengaruh pada diri saya.

IL:

Latar belakang Mas Heru ekonomi, ya. Anda menulis tiga buku. Dua buku tentang sejarah dan hanya satu soal pasar uang dan saham. Mengapa secara spesifik menulis sejarah. Setahu saya, riset sejarah itu tidak mudah. Anda harus membaca banyak, melakukan penelitian di berbagai tempat, dan memakan banyak waktu. Padahal, menurut dokter Ryu (Hasan) tadi, penulis adalah pemalas. (Audiens tertawa) Saya rasa tidak demikian.

HL:

Benar. He-he-he. Buku pertama saya mengenai Jakarta. Saya beri subjudul Misunderstood City. Saya harus kembali ke tahun 1990. Saat itu, saya adalah seorang backpacker yang datang ke Indonesia. Saya keliling dari Bali dan Lombok ke timur Indonesia. Saat itu, saya bertemu dan mengobrol dengan satu keluarga di kapal feri. Mereka merekomendasikan tempat untuk menginap dalam perjalanan. Kami menjadi teman. Saya memang melanjutkan perjalanan ke Flores dan seterusnya. Namun, mereka berpesan bahwa sesampai saya di Jakarta nanti, saya harus mengontak nomor telepon yang mereka berikan.

Begitu saya sampai di Jakarta, Stasiun Gambir, saya berencana menginap di Jalan Jaksa. Saya lalu menelepon mereka. Mereka meminta saya check-out. Lalu, saya dijemput dan diajak menginap di rumah mereka di Pasar Minggu. Pada awalnya, saya berencana menginap satu atau dua hari. Namun, saya tinggal selama enam bulan. (Audiens tertawa.) Lalu, saya balik ke Belanda dan datang untuk tinggal enam bulan lagi.

IL:

Wah, kalau sekarang pasti udah viral. (Audiens tertawa.)

HL:

He-he-he. Iya, mungkin. Masalahnya, mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Saya juga tidak bisa berbahasa Indonesia. Saya hanya tahu satu dua kalimat saja dalam bahasa Indonesia. Apa kabar, nasi goreng. (Audiens tertawa.) Saya hanya bisa kata-kata seperti itu.

Saya ikut saja apa yang terjadi di keluarga itu. Mereka ke masjid, saya ikut. Ada yang berulang tahun, saya ikut. Ada yang begini, saya ikut. Tapi, mereka lalu mengajari saya berbahasa Indonesia. Saya gentian, mengajari anak mereka berbahasa Inggris. Saya sangat senang tinggal di Pasar Minggu bersama keluarga itu. Di sana banyak gang kecil-kecil. Saya bisa ketemu tukang bakso. Ada juga ketok magic. (Audiens tertawa.) Situasi seperti itu membuat saya suka tinggal di Jakarta.

Tapi, rekan-rekan di kantor, Hong Kong, berkomentar soal Jakarta yang macet. Mereka melihat Jakarta berbeda dengan saya. Maka, itulah yang membuat saya merasa harus menulis buku tentang Jakarta dan sejarahnya. Sebab, ternyata ada leluhur saya yang dahulu juga tinggal di Batavia. Pada 1653. Ada seorang perempuan van der Linde di sini, maka saya bisa dibilang orang Betawi. (Audiens tertawa.)

IL:

Wah, “Ketua” Pasmingbased, nih gaes! (Audiens tertawa dan bertepuk tangan@pasmingbased adalah sebuah akun di TikTok yang mengangkat isu-isu kekinian disertai musik “jedag-jedug”. Istilah “pasming based” adalah akronim dari Pasar Minggu based, yang menandakan creator akun tinggal di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan.)

Pada tahun yang kurang lebih sama, dekade 1990-an, pada 2000 lahirlah Periplus. Bukan begitu, Pak Judo?

JS:

Periplus lahir di akhir 1999. Kurang lebih bulan November.

HL:

Pas “krismon”, ya?

Pages: 1 2 3 4 5