Katabasis: Neraka Akademik dan Hegemoni Pengetahuan

0
Share
Review Katabasis R. F. Kuang

Melalui karya Babel dan Yellowface, R. F. Kuang telah meneguhkan posisinya sebagai penulis yang berani membongkar wajah dunia akademik dan industri budaya dengan ketajaman analisis sekaligus keberanian narasi. Dalam kisah Babel, R. F. Kuang menyingkap kolonialisme dan kekuasaan bahasa sebagai alat dominasi. Ternyata, dunia akademik tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kolonialisme yang membentuk wajah dunia. Sementara itu, dalam karyanya yang berjudul Yellowface, Kuang memperlihatkan sisi getis dunia penerbitan yang penuh persaingan dan hipokrisi. Dari kedua buku ini, kita bisa melihat ciri khas Kuang sebagai pengisah yang tidak hanya piawai dalam membangun dunia dengan narasinya, dia juga cermat dalam menyelipkan kritik sosial yang membuat kita terjebak dalam permenungan. Konsistensi gaya itu kembali hadir dalam Katabasis, sebuah novel yang memadukan mitologi klasik dengan realitas akademik kontemporer.

9780008501877 Katabasis by R. F. Kuang - UK

Katabasis by R. F. Kuang – UK

ISBN-13: 9780008501877

9780063455245 Katabasis by R.F. Kuang - US

Katabasis by R. F. Kuang – US

ISBN-13: 9780063455245

Katabasis berkisah tentang Alice Law, seorang mahasiswa pascasarjana Cambridge yang memiliki ambisi dalam bidang sihir analitik. Hidupnya jungkir balik ketika Profesor Jacob Grimes, mentor sekaligus dosen pembimbingnya, tewas mengenaskan dalam sebuah kecelakan sihir. Tanpa Profesor Grimes, masa depannya di dunia akademik terancam hancur. Maka, tidak ada pilihan bagi Alice selain menuruni neraka untuk menyelamatkan jiwa Profesor Grimes.

Namun, perjalanannya tak dilakukan seorang diri. Dalam perjalanan berbahaya itu, ia dipaksa bekerja sama dengan saingannya, Peter Murdoch, meskipun hubungan mereka dipenuhi kebencian. Dengan panduan kisah Orpheus dan Dante, mereka menelusuri neraka, menghadapi bahaya yang tak terduga. Setiap langkah menguji batas keberanian dan tekad mereka, sementara rahasia masa lalu mengintai untuk menentukan nasib. 

Struktur naratif & determinasi karakter

Dalam banyak karya yang mengangkat kritik terhadap dunia akademik, tidak jarang narasi yang disajikan terlalu sarat dengan persoalan-persoalan akademis. Alih-alih menghadirkan pengalaman membaca yang bersifat eskapistis, teks-teks tersebut justru menjelma menjadi bacaan yang kering dan penuh fakta. Akibatnya, pembaca menjadi kesulitan untuk menjalin keterhubungan emosional dengan tokoh-tokohnya. 

Berbeda halnya dengan Katabasis, di dalamnya R. F. Kuang berhasil merancang sebuah sistem sihir yang kompleks sekaligus menghidupkan karakter-karakter yang meyakinkan. Tokoh-tokoh dalam cerita ini digambarkan tetap hidup dan manusiawi, meskipun mereka berada di dunia yang keras dan penuh keterasingan. Setiap keputusan yang diambil tidak semata berfungsi menggerakkan alur cerita, melainkan lahir secara organik dari karakterisasi yang dibangun.

Salah satu contoh yang paling menonjol adalah sosok Alice. Sebagai figur muda dengan kerentanan yang besar, Alice digambarkan memiliki kebutuhan yang kuat akan validasi. Rasa lapar akan pengakuan itu tampak dalam hampir setiap ucapan dan tindakannya, hingga pada titik ia rela menembus Neraka demi membawa kembali sosok yang paling buruk sekalipun, hanya untuk memperoleh validasi dari seorang profesor. 

Representasi ini menunjukkan bagaimana lingkungan sosial maupun sistem akademik mengeksploitasi kerentanan Alice, menjadikannya sekaligus sumber motivasi dan kehancuran dirinya. Dorongan psikologis yang demikian mudah dikenali, yakni kebutuhan akan afirmasi untuk meredakan sindrom penipu (imposter syndrome), menjadikan tokoh Alice relevan bagi pembaca kontemporer. Ia memaknai setiap kata —baik yang bersifat positif maupun negatif— sebagai indikator kesuksesan atau kegagalan personal. 

Hal ini menciptakan keterhubungan yang unik antara pembaca dan sosok yang, meski digambarkan memiliki kemampuan magis dan pencapaian akademik luar biasa, tetap terasa manusiawi. Lebih jauh, gaya penulisan Kuang turut mempertegas karakterisasi tersebut: terstruktur dan lugas, namun senantiasa menyisakan lapisan keputusasaan dan emosi yang berusaha ditekan oleh tokohnya.

Neraka dalam ruang akademik

Kuang menyusun narasinya dengan ritme yang menyerupai struktur tulisan akademik, namun tetap diselimuti oleh intensitas emosional layaknya pengakuan seorang pendosa. Pendekatan ini membawa pembaca tenggelam dalam alur pemikiran Alice yang senantiasa berusaha merasionalisasi setiap keputusan, meski keputusan-keputusan tersebut kian rapuh dan problematis. Bahkan untuk memulai perjalanannya, Alice rela menerima perjanjian Faustia yang harus mengorbankan separuh sisa hidupnya. Tindakan tersebut bukanlah sesuatu yang asing baginya, sebab sepanjang karier akademiknya ia telah terbiasa mengorbankan aspek-aspek penting dalam hidupnya.

Dalam konteks ini, Kuang membangun perbandingan yang jelas antara dunia akademik dan akhirat. Hal tersebut ditunjukan dengan menghadirkan Neraka yang Alice lihat dalam bentuk kampus. Pada awalnya, gambaran ini mungkin terlihat sekadar sebagai hiasan cerita, namun perlahan terbukti bahwa dunia fiksi yang ia ciptakan terstruktur sangat rapi dan presisi, layaknya sebuah rumus matematis. Cambridge versi Kuang digambarkan sebagai ruang yang menumbuhkan budaya asketis yang membuat Alice terbiasa menekan kebutuhan jasmaninya demi ambisi intelektual, seperti melewatkan makan, tidur di laboratorium, bahkan menggunakan sihir untuk menunda kebutuhan biologis. Selain itu, budaya institusional yang bobrok   juga diperlihatkan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan kampus. Misalnya, candaan mengenai relasi dosen–mahasiswa dianggap lumrah hingga kritik terhadap seksisme dipandang basi.

Singkatnya, menukar harga diri, emosional, moral, hingga fisik demi validasi akademik adalah hal yang begitu akrab bagi mahasiswa pascasarjana. Bedanya dengan Babel, Alice tidak buta terhadap harga yang harus ia bayar. Ia tahu persis tuntutan akademik. Namun, sekedar memahami masalah bukan berarti ia bisa lepas dari jeratnya. Justru cara berpikir itu membuatnya semakin terbiasa menormalisasi luka-luka baru yang terus datang.

***

Perjalanan Alice Law dalam Katabasis bukan hanya kisah fiksi tentang seorang mahasiswa pascasarjana yang menembus neraka demi menyelamatkan mentornya. Lebih jauh, cerita ini adalah cermin dari dunia akademik yang kita kenal, sebuah ruang yang kerap menuntut pengorbanan fisik, emosional, hingga moral demi secarik validasi. R. F. Kuang menunjukkan bahwa institusi pengetahuan tidak pernah benar-benar netral, sebab ia selalu dipenuhi oleh mekanisme kuasa yang membuat ambisi intelektual bercampur dengan luka dan keterasingan. 

Dalam kerangka ini, pemikiran Antonio Gramsci menemukan relevansinya. Gramsci menegaskan bahwa hegemoni tidak hanya bekerja melalui paksaan, melainkan melalui persetujuan yang lahir dari keyakinan bahwa pengorbanan adalah harga wajar demi cita-cita. Alice menjadi contoh nyata bagaimana hegemoni akademik menjerat manusia, sebab ia rela menukar separuh hidupnya demi pengakuan seorang profesor, seakan itulah satu-satunya jalan menuju makna. Akan tetapi, Gramsci juga membuka pintu keluar melalui gagasan tentang intelektual organik, yakni sosok yang menggunakan pengetahuan untuk membangun kesadaran dan solidaritas, bukan untuk mempertahankan dominasi. 

Dari sudut pandang ini, Katabasis dapat dibaca bukan hanya sebagai kisah getir tentang neraka akademik, tetapi juga sebagai alegori tentang kemungkinan lahirnya intelektual yang menempatkan pengetahuan sebagai praksis pembebasan. Di situlah kita menemukan kerinduan terdalam dari pendidikan, yaitu menghadirkan ruang di mana ilmu tidak lagi menjadi alat untuk menormalisasi penderitaan, melainkan untuk meneguhkan martabat manusia. Gramsci mengingatkan bahwa manusia perlu memelihara pesimisme intelek sekaligus optimisme kehendak, sebab kesadaran akan kerasnya realitas akademik tidak pernah menutup jalan bagi pengetahuan untuk tetap menjadi cahaya yang membebaskan.

Jika Bibliobesties hendak membaca ulasan lainnya, temukan di sini!