Pada 6 Agustus 1945,Boeing B-29 dari Amerika menjatuhkan bom atom untuk pertama kalinya di dunia. Bom ini di jatuhkan dari langit kota Hiroshima, Jepang. Ledakannya langsung menewaskan sekitar 80.000 orang. Tiga hari kemudian, Boeing B-29 kembali menjatuhkan bom atom di Nagasaki yang merenggut sekitar 40.000 korban jiwa. Tidak hanya itu, puluhan ribu orang lainnya meninggal karena paparan radiasi nuklir.
Rasanya, kita semua tahu peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Kita menginsyafi pula bahwa sekuel paling mengerikan dalam sejarah perang ini turut “menyumbang” peran dalam episode panjang perjuangan kita sebagai bangsa yang merdeka. Namun, pernahkah kita mencari tahu apa yang terjadi di balik jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima? Baru-baru ini, Christopher Nolan meluncurkan film terbarunya, Oppenheimer (2023). Inilah film tentang ilmuwan penemu alias “bapak” bom atom, J. Robert Oppenheimer (1904—1967).
Sebagai manusia penimbrung kalcer dan penunggang FOMO, Perimin coba mengulas sedikit hidup dan keresahan Oppenheimer, baik dari biografi maupun filmnya. Tapi, tenang saja, Perimin tidak akan memberikan spoiler filmnya. Sebab Perimin sadar—sebagai cinephile—selain melakukan pembajakan, menyebar spoiler film adalah dua hal yang harus musnah dari muka bumi.
Surat untuk salah satu orang paling berkuasa di muka bumi
Dunia sedang ada dalam situasi perang saat itu. Di bawah bayang-bayang Nazi yang menguasai lebih dari sepertiga daratan Eropa, pada 1939 seorang fisikawan bernama Leó Szilárd mengirimkan sebuah surat kepada Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt. Dalam surat yang juga ditandatangani oleh Albert Einsten itu, Szilárd memperingatkan Roosevelt tentang kemungkinan Nazi menciptakan bom jenis baru. Bom ciptaan Nazi itu bakal menjadi bom terkuat yang pernah diciptakan.
Surat itu mendorong Presiden Roosevelt untuk segera memulai program pengembangan bom atom melalui “Uranium Committee.” Selang tiga tahun sejak Szilárd mengirim surat pada Presiden Roosevelt, Oppenheimer ditunjuk untuk memimpin laboratorium pengembangan bom atom di Los Alamos, kota antah-berantah baru di dekat New Mexico. Usaha ini tidak lain adalah bagian dari Proyek Manhattan untuk menciptakan senjata nuklir pertama di dunia.
Karena tidak bisa selesai tepat waktu, usaha menundukkan Jerman Nazi ditempuh melalui sederet pertempuran yang diawali dengan invasi tentara Sekutu bernama sandi “Operasi Overlord”. Meskipun Proyek Manhattan belum selesai, tentara Nazi menyerah terhadap Sekutu pada 7 Mei 1945, setelah kematian Adolf Hitler. Meskipun pasukan Nasi telah dikalahkan, bukan berarti Perang Dunia II telah usai. Amerika Serikat dan Sekutu harus menghadapi Jepang di medan perang Asia Pasifik.
Dari biografi ke layar lebar
Sinema terbaru Nolan, Oppenheimer, ini diadaptasi dari buku biografi yang berjudul American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer (2006). Konon, sejarawan Martin J. Sherwin mulai mengerjakan biografi Oppenheimer sejak 1979. Dari awal mula pengerjaan proyek ini hingga 1985, Sherwin telah mewawancarai 112 orang yang mengenal dan bekerja sama dengannya. Di antara orang-orang itu ada pula Haakon Chevalier, penulis, penerjemah, dan pengajar Sastra Prancis di Universitas California, Berkeley. Ada pula Peter, putra Oppenheimer, yang menolak wawancara resmi.
Dari kerja keras itu, Sherwin berhasil mengumpulkan sekitar 50 ribu halaman informasi berdasarkan wawancara, transkripsi, surat, korespondensi, catatan harian, hingga berkas-berkas F.B.I yang sudah dideklasifikasi. Meskipun demikian, Sherwin tidak berhasil menyelesaikan buku yang dikerjakannya sesuai tenggat yang ditetapkan oleh penerbit. Atas kejadian ini, orang-orang mengolok-olok Sherwin sebagai “korban terbaru kutukan yang melekat pada Oppenheimer.” Menurut pengakuan Sherwin, ia juga mendapat olok-olok dari keluarganya sendiri. Buku itu nantilah yang akan menemaninya hingga liang lahat.
Dua puluh tahun sejak pertama kali mengerjakan proyek ini, Sherwin mengundang kawan penulis dan editornya, Kai Bird, untuk mengerjakan biografi Oppenheimer bersama-sama. Awalnya, Bird menolak ajakan Sherwin, meskipun pada akhirnya ia memenuhi permintaan Sherwin. Begitu draf buku selesai, karya itu hendak diberi judul Oppie, merujuk pada panggilan akrab Oppenheimer. Namun, editor dari penerbit menolak gagasan itu. Adalah istri Bird, Susan Goldmark, yang kemudian bahwa judul buku itu seharusnya memuat kata “Prometheus” dan “Amerika.” Rupanya, majalah Scientific Monthly edisi September 1945 pernah menyebut bahwa “Prometheus era modern telah menyerbu kembali Gunung Olympus dan membawa kembali petir-petir milik Zeus.”
Dalam wawancaranya dengan fisikawan asal Inggris, Brian Cox, Nolan merasa bahwa Oppenheimer adalah tokoh yang sangat menarik. Nolan juga meyakini bahwa American Prometheus adalah karya yang mendalam dan autoritatif untuk memahami apa dan siapa Oppenheimer. Nolan sendiri melihat bahwa Oppenheimer layaknya seorang “penyihir” magang dengan bakat di luar nalar yang memiliki gagasan radikal yang akan mengubah cara pandang manusia kebanyakan terhadap bagaimana alam semesta bekerja. Nolan yang belakangan, sebagaimana kita semua tahu, beberapa karyanya kental dengan unsur fiksi ilmiah, begitu tertarik untuk mengangkat persona Oppenheimer ke layar lebar.
Drama biopik yang “Nolan bingits”
Oppenheimer adalah sebuah biopik. Tokoh sentral dalam film ini begitu terang: J. Robert Oppenheimer, sang Bapak Bom Atom. Oleh Nolan, kita dibawa masuk ke dalam beberapa lapis kehidupan Oppenheimer. Ia mulai memperkenalkan sosok Oppenheimer dengan masa formasi intelektual, proses pematangan sebagai pengajar fisika kuantum, pergolakan batin sebagai pemikir bebas, hingga keterlibatannya dalam menyudahi Perang Dunia II. Oppenheimer dan kawan-kawan ilmuwannya ada dalam sebuah perlombaan untuk menemukan sebuah kekuatan yang tepermanai sebelumnya.
Oleh pemerintah Amerika Serikat, Oppenheimer diminta mengelola laboratorium fisika kuantum rahasia di Los Almos, New Mexico. Tugasnya tidak main-main. Bersama para ilmuwan lain, ia harus membuat bom atom yang pada saat itu hanya mungkin ada di kepala fisikawan menjadi senjata pamungkas yang akan menghentikan Perang Dunia II. Proyek yang dipercayakan pada Oppenheimer ini meneliti reaksi nuklir untuk senjata pembunuhan massal yang sangkil sekaligus mangkus.
Nolan, satu sineas kontemporer yang ambisius baik secara tema maupun teknis, menggarap biopik Oppenheimer dengan sangat rapi. Nolan menjadi sutradara sekaligus penulis film ini. Digarap bersama sinematografer cemerlangnya Hoyte van Hoytema, Nolan telah mengambil gambar dengan film 65 milimeter yang diproyeksikan dalam 70 milimeter. Sementara itu, untuk urusan tata suara, Nolan memercayakannya pada Ludwig Göransson, komponis berkebangsaan Swedia yang juga menggarap tata suara pada film Nolan sebelumnya, Tenet (2020).
Keahlian Nolan sebagai sutradara kawakan ini bisa kita lihat dalam setiap framenya. Meskipun menggunakan alur maju mundur, Nolan membuat kita dengan mudah membedakan perpindahan waktu secara halus. Tentu saja, cara bercerita yang “Nolan bingits” ini bakal memecah penonton menjadi dua kubu: menyukai sekali dan membencinya sampai ubun-ubun. Padahal, kita semua tahu bahwa biopik Oppenheimer ini bisa dikemas secara “biasa saja,” namun tentu saja Nolan tidak akan bercerita dengan cara yang biasa-biasa saja.
Selain itu, dalam film ini, Nolan mencampur sekaligus visual berwarna dan hitam-putih. Langkah ini ditempuh Nolan untuk menggambarkan situasi batin dan pergulatan yang dialami oleh sang Bapak Bom Atom. Menariknya, di sinilah Nolan ingin bercerita tentang kompleksitas film hingga mencapai puncak. Berbagai fragmen menyatu saat Nolan menyelesaikan potret seorang pria yang berkontribusi pada penemuan ilmiah yang akan mengubah zaman.
Kisah Prometheus dari Negeri Paman Sam
Kehidupan Oppenheimer yang diangkat dalam American Prometheus dan digambarkan lebih hidup melalui biopik ini rasanya adalah salah satu naratif paling ambigu tentang manusia. Di satu sisi, bom atom yang dikerjakan oleh Oppenheimer dan rekan ilmuwannya adalah upaya paling masuk akal untuk menghentikan Perang Dunia II. Namun, dampak dijatuhkannya dua bom atom di Nagasaki dan Hiroshima tidak kalah besar. Situs atomicarchive.com bahkan mencatat hampir 200 ribu orang menjadi korban, baik meninggal maupun luka, dari ledakan bom atom di kedua kota tersebut.
Layaknya sebuah karya seni, film ini memuat nilai dan pesan melalui drama dan konflik di balik peristiwa paling bersejarah. Nolan hendak mengajak penonton merefleksikan lebih dalam kompleksitas yang terjadi dalam diri Oppenheimer. Sebuah paradoks dan dilema etika yang dihadapi oleh Oppenheimer ketika mengambil keputusan untuk melakukan penelitian yang akan mengubah sejarah umat manusia.
Selain itu, film karya Nolan yang berdurasi tiga jam ini adalah kisah misteri tentang warisan rumit Oppenheimer. Tidak hanya mengangkat hubungan antara manusia dengan senjata pembunuh massal, Nolan juga mengangkat kebutuhan masyarakat akan ilmuwan sebagai intelektual publik. Meskipun, kita semua tahu, masih banyak masyarakat yang masih meragukan ilmuwan dan gagal memahami upaya-upaya ilmiah yang tengah dilakukan.
Mirisnya, kehidupan Oppenheimer setelah Perang Dunia II layaknya sebuah kutukan. Oppenheimer sendiri mengaku menyesali peristiwa pengeboman di Nagasaki dan Hiroshima. Dalam sesal yang mendalam itu, Oppenheimer juga menjadi sasaran tembak musuh-musuh politisnya. Mereka mencurigai Oppenheimer sebagai mata-mata Uni Soviet pada Era Perang Dingin. Namanya juga terseret oleh gerakan para komunis di Eropa, khususnya Spanyol.
Oppenheimer adalah contoh bagaimana kehidupan seorang ilmuwan terentang di antara berbagai semesta. Di hadapan alam semesta, ia adalah seorang pendengar yang baik bagi musik yang dimainkan alam. Di hadapan semesta erotika, ia adalah penakluk wanita—meskipun tidak secara ugal-ugalan. Dan, di hadapan moralitas, ia seolah menari salsa di antara kebajikan dan kebengisan.
Oppenheimer dicandra sebagai Prometheus, pencuri api milik Zeus dari Gunung Olympus. Api yang dicuri Prometheus dibagi-bagikan kepada umat manusia. Itu semua dilakukan Prometheus agar kehidupan umat manusia bisa semakin sejahtera. Masalahnya, Zeus tidak menyukai tindakan Prometheus. Zeus menghukum Prometheus dengan mengikatnya ke batu dengan rantai. Lalu, Zeus mengutus elang Kaukasia untuk mencabik dan memakan hati Prometheus. Namun demikian, saat malam menjelang, hati Prometheus akan tumbuh lagi, sehingga esoknya elang Kaukasia akan mencabik dan memakan hati Prometheus kembali.
“Oppenheimer’s warnings were ignored—and ultimately, he was silenced. Like that rebellious Greek god Prometheus—who stole fire from Zeus and bestowed it upon humankind, Oppenheimer gave us atomic fire. But then, when he tried to control it, when he sought to make us aware of its terrible dangers, the powers-that-be, like Zeus, rose up in anger to punish him”
Kai Bird dan Martin J. Sherwin, American Prometheus.
***
Hukuman abadi untuk Prometheus inilah yang seolah juga dialami oleh Oppenheimer. Penyesalan yang tak berujung akibat jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima membuatnya menentang mati-matian proyek bom hidrogen. Bisa jadi, kita memaklumi Oppenheimer sebagai kambing hitam dari permainan kuasa dan keculasan penguasa. Namun sejatinya, Oppenheimer tidak kurang dari seorang anak manusia yang hendak mendengarkan semesta. Itu semua dilakukannya demi kemanusiaan yang semakin luhur.