Jika rendang diibaratkan sebagai raja dalam khazanah kuliner tradisional Indonesia, sulit rasanya memungkiri keberadaan gudeg sebagai salah satu permaisuri yang paling menawan dan manis. Makanan ini memang makanan yang secara tradisional cenderung memiliki manis. Meskipun demikian, saat ini tidak jarang dijumpai gudeg dengan cita rasa yang lebih gurih bahkan cenderung pedas di beberapa wilayah di Jawa Tengah. Hal ini sah-sah saja, sebab menurut Haryani Triwidodo, seorang putri Yu Djum, sang legenda gudeg Yogyakarta, gudeg adalah teknik memasak. Haryani, yang juga menjadi kepala peracik gudeg Yu Djum sejak 2005 lalu untuk rumah produksi gudeg di Karangasem, Yogyakarta, berkisah bahwa gudeg adalah cara memasak nangka muda dengan banyak air, gula jawa, dan garam.
Menilik sejarahnya
Tentang sejarah gudeg, ada beberapa versi yang bisa ditelusuri. Konon, gudeg dikaitkan dengan pendirian Kerajaan Mataram Islam di wilayah hutan Mentaok pada sekitar 1500-an. Ketika kerajaan dibangun, ada banyak pohon nangka, kelapa, dan melinjo yang ditebang, sehingga banyak buah nangka muda atau gori, kelapa, dan daun melinjo yang bisa digunakan sebagai bahan makanan. Para pekerja pembabat hutan lalu membuat masakan dari bahan-bahan itu. Besarnya jumlah pekerja membuat makanan yang dimasak juga harus banyak. Bahkan, untuk mengaduk makanan dari gori, digunakan alat yang menyerupai dayung perahu. Kata “gudeg” konon timbul dari kegiatan mengaduk (“hangudeg” dalam bahasa Jawa) sayur gori ini. Gudeg adalah masakan populer yang berasal dari kalangan rakyat biasa, bukan dari kalangan ningrat atau bangsawan.
Sumber lain yang bisa dirujuk sebagai risalah sejarah gudeg adalah Serat Centhini yang ditulis pada 1814—1823 atas perintah Sunan Pakubuwono V. Di dalam risalah tersebut, dikisahkan pada 1600-an Raden Mas Cebolang singgah di padepokan Pangeran Tembayat di wilayah Klaten sekarang. Pangeran Tembayat menjamu tamu yang bernama Ki Anom dengan bermacam-macam makanan. Nah, gudeg ada di antara suguhan untuk Ki Anom. Serat Centhini juga menyebut bahwa gudeg adalah makanan yang disajikan di wilayah Mataram (Yogyakarta), Wanagiri (Wonogiri), dan Tembayat (Bayat, Klaten). Bahkan, risalah itu menyebut pula bumbu gudeg, yaitu daun salam, daun jeruk, lengkuas, gula jawa, santan, kemiri, ketumbar, terasi, jintan, dan garam.
Di abad ke-20, perkembangan gudeg sebagai kuliner khas Yogyakarta beriringan dengan pembagunan Universitas Gajah Mada pada 1940-an. Para mahasiswa yang menuntut ilmu dari berbagai daerah membawa pengaruh. Gudeg dibuat kering dan dimasak dalam kendil agar lebih tahan lama supaya bisa dijadikan buah tangan para mahasiswa Yogyakarta yang pulang ke kampung halaman. Selain itu, kampung Mbarek yang jadi domisili sebagian besar mahasiswa di Yogyakarta berkembang menjadi sentra gudeg demi mencukupi kebutuhan konsumsi harian. Yogyakarta yang dipromosikan sebagai kota wisata juga mengatrol popularitas gudeg sejak dekade 1970-an dan 1980-an. Akibatnya, pemerintah membuat sentra gudeg baru di wilayah Wijilan.
Gudeg basah dan gudeg kering
Jika menilik jenisnya, secara umum bisa dibagi menjadi dua macam, gudeg basah dan gudeg kering. Gudeg basah disajikan bersama kuah santan. Di lain sisi, gudeg kering disajikan bersama areh yang gurih dan kental. Selain itu, ada pula varian gudeg yang dibuat dari manggar (bunga dan tangkai kelapa yang masih muda) dan rebung. Meskipun demikian, tidak banyak orang yang menjual gudeg manggar dan rebung. Sebagai makanan khas, variasi gudeg berkembang sesuai wilayah. Gudeg di Yogyakarta cenderung sangat manis dan disajikan bersama nasi putih. Di Solo dan Semarang, gudeg dibuat lebih gurih, tidak semanis yang ada di Yogyakarta.
Sajian pendamping
Lauk pendamping gudeg pun sangat bervariasi. Secara umum, gudeg disajikan bersama sambal goreng krecek, telur pindang atau bacem, hingga tempe, tahu, ayam bacem. Namun, di beberapa wilayah di luar Yogyakarta, gudeg disajikan bersama opor ayam dan telur, bahkan juga sambal goreng koyor. Gudeg umumnya disajikan bersama nasi putih. Akan tetapi, ada pula yang menyajikan gudeg bersama nasi liwet dan bubur putih. Variasi ini menjadi sangat wajar, sebab pada dasarnya gudeg adalah makanan rakyat.
***
Kampanye tagar #TualangRasa dan #FlavorEscapade
Untuk memahami lebih dalam hubungan antara kuliner dan identitas bangsa, Perimin mengajak Bibliobesties untuk mengkampanyekan #TualangRasa dan #FlavorEscapade di media sosial. Dengan menjelajahi kekayaan kuliner Indonesia, kita dapat merasakan sejarah dan nilai-nilai yang membentuk jati diri kita. Dengan kampanye #TualangRasa dan #FlavorEscapade, mari berbagi pengalaman dan pengetahuan khazanah kuliner Indonesia sembari menjaga warisan leluhur!
Bersamaan dengan ini, Perimin juga mengajak Bibliobesties untuk memaknai dan meresapi aneka kuliner di Indonesia. Kalian bisa tekan di sini untuk menuju halaman Ayam Taliwang. Tekan di sini untuk menuju halaman Nasi Tumpeng. Tekan di sini untuk menuju halaman Gudeg. Dan tekan di sini untuk menuju halaman Aneka Minuman.