Sejarah ditulis oleh para pemenang. Demikianlah adagium paling lumrah dan mujarab ketika kita mendengar kata “sejarah”. Para pemenang tentu berhadapan dengan pihak lain: para pecundang. Konteks kalimat ini tentu saja dekat dengan entitas yang melekat pada sejarah: perang, konflik. Dan, inilah yang dilihat oleh David van Reybrouck dalam kurun waktu antara 1945 hingga 1949 di sebuah negeri bekas koloni Kerajaan Belanda. Namun demikian, David memberi konteks yang lebih panjang, hingga awal abad ke-17, kala para pelaut VOC menginjakkan kaki ke Nusantara untuk berdagang rempah-rempah. David juga mengetengahkan puluhan, bahkan ratusan, nama yang mungkin asing bagi orang Indonesia sendiri karena nama mereka tidak ditemukan di buku teks sejarah Indonesia. Buku Revolusi: Indonesia and the Birth of Modern World (2024) karya David ini hendak menunjukkan bagaimana kemerdekaan sebuah bangsa ditata di atas balok-balok kehidupan begitu banyak orang yang namanya tidak kita kenal. Mereka yang tanpa nama, anonim, rupanya telah mengupayakan sebuah republik bernama Indonesia.
Goenawan Mohamad dan Perspektif Revolusi
Goenawan Mohamad, pada kesempatan peluncuran buku Revolusi versi bahasa Belanda pada 2020, menyebut bahwa orang-orang Belanda dan kita, orang-orang Indonesia, sama-sama enggan membicarakan Revolusi. Bagi orang-orang Belanda, era Revolusi sangat kental dengan kekerasan. Sementara untuk kita, Revolusi tidak lebih soal mitos. Mas Gun—sapaan akrab Goenawan Mohamad—mengajukan pertanyaan yang sedikit “nakal” dalam diskusinya dengan David. “Berapa banyak korban dari kedua pihak saat terjadi Revolusi?” tanya Mas Gun. David menjawab, “Ya, sekitar 100 hingga 200 ribu orang Indonesia dan sekitar 5.000 tentara Belanda. Namun, separuh tentara Belanda meninggal bukan karena perang Revolusi, tapi karena sakit, kecelakaan, dan sebagainya.” Dari kenyataan ini, asumsi Mas Gun menemukan relevansinya. Bagi orang-orang Belanda, masa Revolusi adalah aib, karena begitu banyak darah tertumpah. Bagi orang Indonesia, Revolusi adalah mitos karena sifatnya yang kontingen, tidak stabil. Namun demikian Mas Gun menandaskan bahwa Revolusi justru membentuk subjek-subjek di dalam masyarakat Indonesia. Seperti tokoh Farid dalam novel karya Pramoedya Ananta Toer, Di Tepi Kali Bekasi (1951), yang menyadari dirinya sebagai subjek ketika terlibat dalam Perang Kemerdekaan.
Atas komentar Mas Gun inilah kita bisa menyadari betapa karya David, Revolusi, ini menjadi penting. Setidak-tidaknya, dengan membaca kronik tentang masa Revolusi, kita orang-orang Indonesia—lahir, tinggal, ber-KTP, atau berpaspor Indonesia—sungguh tersadar dan bisa melahirkan “subjektivitas” baru sebagai orang Indonesia. Setidak-tidaknya, kita sendiri sadar bahwa Revolusi bukanlah sebuah mitos yang hanya tertulis pada buku-buku pelajaran sejarah, atau tersimpan rapat di museum-museum di penjuru negeri. David menyebut bahwa Indonesia sesungguhnya adalah sebuah negara yang raya, namun tak terlihat. Dan, demi mencelikkan mata khalayak internasional, ia menulis kronik sejarah Indonesia dengan rapi dan interpretatif, pembabakan yang rapat, namun sungguh mengasyikkan untuk dibaca.
Tafsir Sejarah dan Kolonialisme
Tafsirannya tentang tenggelamnya kapal uap milik perusahaan Belanda, Kapal Van der Wijck yang melayani rute Batavia—Makassar pada 1936 menggambarkan bagaimana strata sosial yang tidak adil dibentuk oleh pemerintah kolonial. David, melalui buku ini, juga seolah bertaruh bahwa nasionalisme yang menjalar di deru nafas para pemuda Indonesia pada 1920-an hingga 1940-an turut memberi wajah bagi nasionalisme di era modern. Menghabiskan waktu lima tahun untuk berkeliling Indonesia dan Belanda, menemui para subjek Revolusi yang sebagian besar namanya lesap dari catatan sejarah Indonesia. David sendiri mencandrakan bukunya sebagai “buku yang memuat banyak macam suara, kadang berupa ujaran yang jelas di hadapan kita dan kadang pula berupa bisikan dari belakang.” Dan, satu hal menarik lagi dari gagasan David soal kolonialisme. Ia mencoba lebih reflektif daripada naratif di sini. Baginya, kolonialisme yang dialami Indonesia bukan lagi soal teritorial. Ia curiga, jangan-jangan, wajah kolonialisme di era modern ini menjelma dalam dimensi waktu. Melalui kenyataan perambahan hutan secara ugal-ugalan yang menyebabkan banjir dan erosi, pengerukan sumber daya tambang yang eksploitatif, polusi udara akibat keserakahan manusia meraup keuntungan, bahkan kemacetan di kota-kota besar yang menambah tekanan hidup sehari-hari, David mengajukan pertanyaan: jangan-jangan kita adalah rupa penjajah kolonial baru bagi anak dan cucu kita sendiri? Sampai di sini, David berhenti bernarasi. Mungkin, sudah giliran kita yang menulis sejarah bagi anak dan cucu kita sendiri.
Periplus Talk: Refleksi Sejarah Modern Indonesia
Periplus, sebagai toko buku berkualitas, memberi ruang untuk membahas isu-isu aktual dalam wadah Periplus TALK. Kali ini, Periplus mencoba memberikan ruang reflektif dari sejarah modern Indonesia, khususnya pada masa Revolusi. Melalui diskusi buku Revolusi, kita akan mencoba merefleksikan sari pelajaran apa yang bisa kita cecap barsama. Harapannya, tentu saja, kita—juga generasi yang lebih muda—yang hidup pada era internet bisa belajar membuat langkah yang lebih bijak menata kehidupan berbangsa dan bernegara di masa mendatang, sebagai subjek yang benar-benar merdeka dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan.
Diskusi diarahkan pada keprihatinan-keprihatinan yang dirumuskan dalam latar belakang. Arah diskusi akan berfokus pada mempelajari dan mendiskusikan bersama sejarah Indonesia modern, khususnya dari era 1920-an hingga masa 1950-an.
Mengingat begitu dalam dan luasnya gagasan yang ditawarkan David van Reybrouck dalam buku Revolusi, gagasan utama yang menjadi dasar diskusi adalah:
“Pergulatan dan Perjuangan Menjadi Subjek Merdeka: Menggali Inspirasi Sejarah Indonesia di Masa Revolusi”
Diskusi kali ini mengangkat tema sejarah masa Revolusi dengan mengundang penulis dan pemerhati sejarah, David van Reybrouck, sabagai narator. Harapannya, ada banyak inspirasi yang bisa ditimba, utamanya bagi kaum muda, sehingga kecintaan akan budaya dan sejarah Indonesia semakin deras.
Pelaksanaan Acara
Demi memperdalam dan sekaligus memperluas wawasan sejarah Indonesia modern, khususnya pada masa Revolusi, Periplus merancang diskusi dari buku Revolusi (2024) yang akan berjalan sebagai berikut:
Tempat: Ruang diskusi virtual Zoom
Hari/Tanggal: Jumat, 16 Agustus 2024
Pukul: 18:00-20:00 WIB
Staf Periplus yth,
Saya Eduard Hilwan di Toronto, Canada kemarin hadir dalam diskusi di atas. Apakah saya bisa mendapatkan rekamannya? Terima kasih sebelumnya.