Buku-Buku tentang Kemanusiaan

0
Share
Rekomendasyik buku tentang kemanusiaan

Jika sobat Bibliophiles iseng mencari di laman pencarian mbah Google, ‘buku tentang kemanusiaan’, sebenarnya Perimin sendiri yakin bahwa semua buku pada dasarnya bicara soal kemanusiaan. Kok? Sejauh yang menulis adalah manusia, sejauh alasan menulis adalah refleksi atau perspektifnya adalah tentang kehidupan, entah fiksi atau nonfiksi, entah bergambar atau buku masak, pasti tersimpan di dalamnya pesan tentang apa dan bagaimana memaknai kemanusiaan. Bedanya, pemaknaan tentang kemanusiaan ini tergantung dari beragam sudut pandang. Ada yang menggunakan paradigma sejarah, agama dan kebudayaan, kepentingan, kehidupan sehari-hari, imajinasi, hobi atau minat diri, filsafat, sampai narasi. Perimin menemukan seutas panjang benang merah di sini: membaca dan membicarakan tentang kemanusiaan merupakan upaya para pembaca untuk terus menerus menemukan identitas diri.

Melalui artikel ini, Perimin punya rekomendasyik khusus untukmu, buku-buku yang Perimin rasa cocok bagi kamu dan kamu yang butuh inspirasi tentang ‘Apa dan Bagaimana Menjalani Hidup sebagai Manusia Sungguhan’.

Langsung saja, kamu bisa lihat buku-buku tentang kemanusiaan pilihan Perimin.

1. Meditations oleh Markus Aurelius

Seorang kaisar Romawi, Markus Aurelius, menawarkan hasil permenungannya untuk memahami alam semesta sekaligus diri sendiri dalam waktu yang bersamaan juga bertautan. Di dalamnya, ditawarkan kebajikan-kebajikan jaman sebelum masehi yang mencoba memotret rasionalitas manusia, memiliki karakter bak para dewa, sampai soal kepemimpinan. Meditations yang tentunya kental dengan stoikismenya menjadi pondasi yang ideal untuk memahami gagasan tentang kemanusiaan secara klasik, unik, antik, juga arkais.

2. Humankind, Hopeful History oleh Rutger Bregman

Rutger Bregman sungguh-sungguh ingin memperlihatkan perjalanan tentang konsep kemanusiaan dalam lintasan jurnalistik, perseteruan politik, penelitian, dan pembuktian beberapa mitos-mitos. Atmosfer situasi pandemi yang membuat banyak hal serba tidak pasti, kabur dan terlalu rapuh pun juga menjadi latar belakang yang pas dalam membaca buku ini. Para pembaca akan terbantu untuk memahami: Benarkah Humankind itu beneran Kind? Rutger akan menunjukkannya lewat rangkumnan optimisme Harapan sepanjang masa-masa krisis umat manusia sebagai Roh Jaman. Yang menarik di sini nih! Rutger mengatur pengetahuan-pengetahuan yang ada di kepalanya untuk sampai ke Ide Keseluruhan – Sejarah bicara soal Harapan! Dalam bahasa Kantian, Humankind itu sampai di titik Intelek (Vernunft) yang dipimpin oleh Ide Jiwa-Dunia-Tuhan. Ringkasnya, Rutger meneliti suara batinnya (Ide Jiwa) yang muncul setelah melihat hal-hal lahiriah (Dunia) – lantas, diendapkan guna mendapatkan “Semua ini tentang apa sih sebenarnya?

3. Soldiers: Great Stories Of War And Peace oleh Max Hastings

Wartawan kawakan, Max Hastings, berbagi narasi-narasi hidup dan mati para pejuang mulai dari jaman Yunani sampai Irak-Afganistan. Melalui tulisan bernasnya, sejarah hidup Joan de Arc, Cromwell, Wellington, Napoleon, Ulysses S. Grant, George S. Patton, Ratu Boudicca, Cobbett dan Tolstoy, Edward Gibbon dan Siegfried Sassoon, Marcel Proust dan Evelyn Waugh, George Orwell, George MacDonald Frase, termasuk tokoh-tokoh pejuang di dalam kitab-kitab suci dipentaskan di dalam latar belakang peperangan yang pada intinya hendak mengukuhkan apa makna menjadi manusia di dalam dunia yang tragis, horor, tidak adil, serakah, bahkan kejam–yang tanpa disadari terbungkus dalam nilai dan norma teologis pun juga budaya yang nampak luhur.

4. Astronaut’s Gd to Life on Earth oleh Chris Hadfield

Bersiaplah untuk yang terburuk dan nikmati setiap momennya,” begitulah kurang lebih pesan moral dari Kolonel Chris Hadfield yang pernah menghabiskan 167 hari di luar angkasa. Gagasan kemanusiaan di sini ditempatkan dalam konteks bagaimana melampaui keterbatasan diri, bahkan intuisi: mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin. Beragam kisah-kisah pendek nan ringan disuratkan oleh sang kolonel yang menjalani hidup dari krisis satu ke krisis lainnya. Tentu, bakalan menjadi bacaan yang menarik untuk membuat rumusan bagaimana menjadi manusia bumi yang sepatutnya.

5. Uncomfortable Truth About Racism oleh John Barnes

John Barnes, legenda Liverpool, menghabiskan belasan tahun pertama hidupnya di Jamaika sebelum pindah ke Inggris bersama keluarganya pada 1975. Anggapan bahwa hanya seorang titisan wangsa kulit putih yang layak menjadi pelatih sepak bola membawanya pada keyakinan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperjuangkan aspirasinya tanpa melihat warna kulit. Rasisme yang menjadi ‘tuman’ di dalam dunia persepakbolaan pun lambat laun meluntur bersamaan dengan kisah-kisah pilu yang dituliskan oleh John Barnes, pemain Liverpool pertama yang berkulit hitam. Melalui buku ini, Barnes memberikan kesaksian yang begitu mengharukan tentang … apalagi kalau bukan esensi kemanusiaan yang kok ditentukan oleh sebatas warna kulit

6. Future of Humanity oleh Michio Kaku

Dr. Michio Kaku mengajak para pembacanya melintasi batas astrofisika, kecerdasan buatan, dan teknologi untuk menawarkan visi yang menakjubkan tentang masa depan manusia di luar angkasa, dari menetap di Mars hingga bepergian ke galaksi yang jauh bak Guardian of The Galaxy’nya Marvel. Berangkat dari antusiasme eksploasi luar angkasa atas dasar kemajuan robotika, nanotekonologi, sampai bioteknologi di bumi, Dr. Michio yakin bahwa umat manusia mampu mengembangkan peradaban melintasi atmosfer. Gagasan dasar fisika pun ditawarkan demi menunjukkan kemungkinan adanya kehidupan abadi dan ragasukma modern mirip yang dialami Stephen Strange saat pertama kali berjumpa The Ancient One.

7. Man’s Search for Meaning oleh Viktor E. Frankl

Pengalaman pahit di kamp Nazi menuntun Viktor E. Frankl, seorang psikiater yang mengembangkan logoterapi, memahami bahwa motivasi manusia adalah upaya pencarian akan makna. Di sinilah, terdapat sinergi antara ilmu pengetahuan dan humansime yang saling berkelindan menjadi kekuatan di hadapan penderitaan. Manusia tidak dapat menghindari penderitaan tetapi dapat memilih bagaimana mengatasinya, menemukan makna di dalamnya, dan bergerak maju dengan tujuan baru. Melalui buku ini, Frankl mencerahkan para pembacanya untuk segera melepaskan dorongan hidup dalam rupa kesenangan, melainkan upaya terus menerus menemukan apa yang kita anggap paling bermakna.

8. Art of Happiness oleh Dalai Lama

Jika sebelumnya kita membaca usulan menjalani hidup dari Viktor E. Frankle yang mengamini bahwa manusia tidak bisa menghindar dari penderitaan, dengan nada yang sama, Dalai Lama juga mengatakan hal serupa. Saat berhadapan dengan pertanyaan dari Dr. Howard Cutle, “Apakah seorang Dalai Lama bisa bersedih? Bagaimana mengatasi kesedihan?” jawaban yang muncul begitu singkat. Tidak ada di dalam dunia ini, rumus untuk menghindar dari penderitaan. Justru, Dalai Lama malah mengajukan pertanyaan, apakah penderitaan sebegitu harus dihindari alih-alih direngkuh saja apa adanya. Jika sedang bersedih, ya bersedihlah, berkabunglah. Di dalam buku ini, pembaca akan melihat dengan jelas ilustrasi-ilustrasi bagaimana melewati (bukan menghindari) rintangan hidup pada sumber kedamaian batin yang dalam dan abadi. Berdasarkan 2.500 tahun meditasi Buddhis dalam balutan akal sehat, buku ini mengajak pembaca untuk melintasi batas-batas tradisi untuk membantu pembaca memahami kesulitan umum semua manusia. Semakin paham, semakin tahu bagaimana cara menyambutnya.

9. Lost Connections oleh Johann Hari

Johann Hari adalah seseorang dengan pengalaman panjang hidup berdampingan dengan depresi dan kecemasan. Lost Connections merupakan catatan pribadi sebagai penderita depresi dan kecemasan. Dia menyadari bahwa penyebab depresi dan kecemasan adalah perkara: diskoneksi. Perjumpaannya dengan Dr. Derek Summerfield yang membuat penelitian tentang pengaruh perang terhadap kebahagiaan seseorang di Kamboja berbuah pemahaman mendalam soal makna kemanusiaan. Alkisah, salah seorang korban ranjau yang kehilangan sebelah kakinya tetap hidup dalam depresi meskipun sudah mendapat kaki palsu. Depresinya berangsur pudar kala para tetangga membelikannya seekor sapi dengan pertimbangan sederhana: Bekerja menjadi peternak sapi untuk menghasilkan susu jauh lebih mudah daripada mengurus sawah bagi si korban ranjau. Melalui bukunya, Hari menjelaskan bahwa setidaknya ada tujuh hal yang harus dibangun untuk mengatasi depresi.

10. Yuval Noah Harari Boxset

Narasi tentang penciptaan dan evolusi penciptaan umat manusia yang disajikan dalam

Sapiens: A Brief History of Humankind menjadi pondasi rasional untuk memahamai sejarah biologis tentang arti menjadi spesies ‘manusia’. Kolaborasi gagasan historis-saintifik sekaligus evolutif yang diawali dari 70.000 tahun yang lalu berhasil memetakan terbangunnya kerajaan yang dipenuhi oleh spesies-spesies berkognisi. Maka, tidak heran gagasan dalam Homo Deus yang menyuguhkan malapetaka kelaparan, pandemi karena wabah penyakit, dan soal perang atas nama Sang Khalik pun berhasil menjawab pertanyaan lanjutan, “Lantas mau apa setelah menjadi manusia? Apakah manusia akan berevolusi menjadi dewa yang sejajar dengan Sang Khalik itu sendiri?” Dan, kedua pondasi tentang kemanusiaan dari sudut pandang historis dan teologis pun membantu generasi masa kini memaknai konsep kemanusiaan dengan lebih jeli di tengah-tengah kehadiran spesies robot dan tradisi lembaga keagamaan yang masih kokoh berdiri. Dalam 21 Lessons for the 21st Century, Yuval Noah Harari mengusulkan sikap-sikap di hadapan kemajuan teknologi yang lebih cepat dari pemahaman kita tentangnya sampai soal polarisasi dunia; yang ujung-ujungnya kembali dengan pola pertanyaan yang kurang lebih sama, “Bagaimana kita bisa mempertahankan kebebasan memilih saat spesies teknologi mampu menghasilkan Big Data yang justru memantau manusia?

Selamat memilih buku-buku tentang kemanusiaan rekomendasyik Perimin.

Periplus Toko Buku Online