Hari Ibu Nasional: Kisah Kasih Perjuangan Perempuan

0
Share
image: Periplus Hari Ibu

Hari Ibu Nasional di Indonesia akan selalu identik dengan lirik lagu berikut ini. Kasih Ibu kepada beta/ Tak terhingga sepanjang masa// Hanya memberi/ Tak harap kembali// Bagai sang surya/ menyinari dunia// Lirik itu melukiskan kasih ibu yang tidak ada awal dan akhirnya, cintanya tak terhingga sepanjang masa.

Penggalan lirik lagu di atas begitu populer di kalangan anak TK atau SD di Indonesia. Karya Mochtar Embut ini selalu mengingatkan kita untuk lebih menghargai, menghormati, patuh, dan terlebih-lebih menyayangi ibu. Betapa besarnya kasih sayang seorang ibu tiada hentinya kepada anak, bagaikan sang matahari yang selalu menyinari bumi. Syairnya yang mudah diingat, singkat namun penuh makna.

Namun demikian, karya lelaki pemalu dan lembut hati kelahiran Makassar, 5 Januari 1934 itu juga rajin diputar mendekati dan pada 22 Desember. Maklum saja, di Indonesia, Hari Ibu Nasional, jatuh pada tanggal 22 Desember. Uniknya, perayaan Hari Ibu di seluruh dunia berbeda-beda. Mengapa kita selalu memperingati Hari Ibu Nasional pada 22 Desember?

Kongres Perempuan Indonesia I

image: Periplus Hari Ibu
Komite Konggres Perempuan Indonesia: (ki-ka) Ismoediati (Wanita Oetomo), Soenarjati (Poetri Indonesia), St. Soekaptinah (Jong Islamieten Bond), Nyi Hadjar Dewantoro (Wanita Taman Siswa), R.A. Soekonto (Wanito Oetomo), St. Moenjiyah (Aisyiyah), R.A. Harjadiningrat (Wanito Katholiek), Soejatien (Poetri Indonesia), St. Harjinah (Aisyiyah), B. Moerjati (Jong Jaca Meisjeskring). (Sumber: wikipedia)

Hari Ibu Nasional diperingati pada 22 Desember, sebenarnya merujuk pada Kongres Perempuan Indonesia I yang diselenggarakan pada 22 Desember 1928. Kongres waktu itu bertempat di pendopo milik Raden Tumenggung Joyodipoero di Yogyakarta. Organisasi-organisasi yang menyelenggarai kongres ini merupakan gabungan dari berbagai macam etnis dan agama di Indonesia, antara lain: Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Mulyo, perempuan-perempuan Sarekat Islam, perempuan-perempuan Jong Java, Jong Islamiten Bond, dan Wanita Taman Siswa.

Kongres Perempuan I di Yogyakarta ini juga dipelopori oleh Ibu R.A Soekonto (Wanita Oetomo) sebagai ketua, Nyi Hadjar Dewantoro (Wanita Taman Siswa) sebagai wakilnya, serta Ibu Soejatien (Poetri Indonesia) selaku sekretaris, Ibu Ismoediati (Wanita Oetomo), Ibu Soenarjati (Poetri Indonesia), Ibu St. Soekaptinah (Jong Islamieten Bond),  Ibu St. Moenjiyah (Aisyiyah), R.A. Harjadiningrat (Wanito Katholiek), Ibu B. Moerjati (Jong Java Meisjeskring). Selain itu, Kongres Perempuan Indonesia I dihadiri oleh 30 organisasi perempuan yang tersebar di 12 kota di Jawa dan Sumatera, total keseluruhan yang menghadiri kongres tersebut mencapai 600 perempuan. Turut pula beberapa organisasi kaum laki-laki.

Perempuan Indonesia merdeka, bebas, dan bersatu

Para pemimpin organisasi perempuan dari berbagai daerah turut andil dalam kongres itu karena mereka ingin menjunjung hak-hak demi kebebasan dan kemerdekaan perempuan khususnya dalam bidang pendidikan dan pernikahan, menyatukan cita-cita dan usaha memajukan wanita Indonesia, memperjuangkan kedudukan derajat wanita, membahas masalah perdagangan anak dan wanita, perbaikan gizi, kesehatan bagi ibu dan balita, hingga pernikahan usia dini. Selain itu, tujuan mereka juga menyatukan pemikiran kritis untuk mendukung kemerdekaan, pembangunan, dan kemajuan bangsa dan negara. Itulah yang membuat perbedaan emansipasi wanita Indonesia dengan wanita-wanita mancanegara. Kongres ini sempat membuat kecemburuan para kaum feminis Eropa di Indonesia, karena kongres ini hanya diperuntukkan bagi perempuan-perempuan atau ibu-ibu “pribumi” Indonesia.

Salah satu hasil penting dari kongres tersebut adalah menggalang persatuan dan kesatuan antara organisasi wanita Indonesia, yang masa itu masih bergerak pada organisasi masing-masing. Kongres Perempuan Indonesia pada 1928 akhirnya berhasil secara mandiri membentuk badan federasi organisasi wanita yang bernama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI). Peristiwa itu menjadi tonggak bersejarah untuk kesatuan pergerakan wanita Indonesia. Pada tahun 1929, PPPI berganti nama menjadi Perikatan Perkoempoelan Isteri Indonesia (PPII). Kemudian di tahun 1935, PPII berubah nama menjadi Kongres Perempoean Indonesia. Di tahun 1946, nama Kongres ini berganti menjadi Kongres Wanita Indonesia atau disebut KOWANI, kongres ini masih berlangsung hingga saat ini.

image: Periplus Hari Ibu
Kongres Wanita Indonesia atau disebut KOWANI masih berlangsung dan aktif mengadakan beragam kegiatan hingga saat ini. (sumber: kowani.or.id)

Hari Ibu Nasional

image: Periplus Hari Ibu

Pada Kongres Perempuan Indonesia III tanggal 22 Desember 1938 yang bertempatkan di Bandung, menetapkan hari tanggal lahir PPII pada 22 Desember sebagai “Hari Ibu”.  Setelah kemerdekaan, Kongres Perempuan Indonesia ini dianggap sangat penting bagi negara. Bahkan Presiden RI pertama, Soekarno mengenang semangat perempuan maupun ibu-ibu dalam pergerakan nasional ini demi perbaikan kehidupan perempuan era kolonial masa itu. Soekarno mendeklarasikan peringatan Hari Ibu dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959, yang menyatakan Hari Nasional yang bukan hari libur.

Jadi peringatan Hari Ibu dilatarbelakangi oleh Kongres Perempuan Indonesia yang memperjuangkan hak-hak perempuan menjadi pribadi yang maju dan mandiri. Kilas balik pada jaman sebelum merdeka, perempuan sangat dipandang rendah, dipaksa menikah diusia belia bahkan tidak dapat menempuh pendidikan. Oleh karena itu, para wanita patut bersyukur, karena peran para pahlawan wanita dan organisasi-organisasi wanita di seluruh Indonesia telah memperjuangkan keadilan, kemerdekaan, dan kebebasan kaum perempuan hingga akhirnya perempuan mendapatkan kesetaraan derajat serta mendapatkan pendidikan tinggi.

***

Terlepas dari itu semua, Hari Ibu Nasional adalah momen yang tepat untuk mengingat semua jasa dan pengorbanan ibu kepada anak maupun keluarganya. Hari Ibu Nasional bukanlah sekadar ajang menunjukkan afeksi kepada ibu, tetapi juga sebagai pengingat bahwa setiap perempuan harus saling memberdayakan dirinya sendiri sekaligus perempuan lain di sekitarnya. Kita tahu, sejatinya perempuanlah yang pertama kali menjadi “pondasi” dan sumber daya untuk kemanusiaan yang lebih baik juga pembangunan bangsa. Maka dari itu, perempuan harus saling menguatkan serta memberikan dukungan bukan justru menjatuhkan. Setiap perempuan perlu bersyukur bahwa mereka spesial, lepas dari tantangan untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender. Setiap perempuan mempunyai pilihan untuk menantang ketidaksetaraan gender dan membantu menciptakan dunia yang inklusif. Tetaplah memiliki keinginan kuat untuk terus maju dan mengasah kemampuan agar menjadi modal untuk memberikan dampak positif bagi sekitar.

Semua perempuan yang selalu berjuang dan tidak kenal menyerah, selayaknya seorang ibu yang selalu mengupayakan yang terbaik untuk anaknya. Ibu adalah “rumah” untuk kita, ibu bagaikan sahabat, teman yang selalu ada dan setia menemani, ibu adalah sekolah dan menjadi pendidik sejak kita berada dalam kandungannya. Ibu yang membekali sikap, watak, kepribadian, akhlak, iman, dan perbuatan. Doa ibu akan selalu menuntun dan melindungi anaknya dimanapun berada. Ungkapkanlah perasaan sayangmu pada ibu kapan pun kamu memiliki kesempatan. Lakukanlah sebelum kesempatan itu tidak ada lagi dan sebelum kita tidak bisa melihatnya lagi.

Baca juga Selisik Buku tentang perjuangan Melinda Gates memberdayakan kaum perempuan di sini.

image: Periplus Moment of Lift