Sobs Periplusians, selama 2-3 tahun belakangan ini, istilah Sandwich Generation menjadi topik bahasan di lingkaran netijen +62. Konsepnya sederhana, ‘berada di antara’ seperti (roti) sandwich—berada di antara 2 generasi. Jika mereka merupakan generasi Y (baca: milenial), maka anggaplah mereka bertanggung jawab atas kestabilan generasi X dan kepastian masa depan generasi Z (baca: First Digital Natives).
Generasi Y atau The Gen-Why Millenials ini hadir di tengah-tengah brand yang menawarkan beragam added value, mulai dari produk makanan cepat saji sampai trustworthy jasa konsultansi. Mereka punya banyak pilihan untuk manifesting impian lewat beragam jalur pendidikan. Meski masih ada generasi Y yang makan bangku sekolah model tradisional, tapi setidaknya angkatan milenial-akhir sempat mencicipi sistem pendidikan yang lebih terbuka. Tidak heran, mereka dituntun menjadi generasi yang—boleh dikata, open mind, lurs!
Hal ini tentunya terasa pada bagaimana cara mereka memandang dan menata kehidupan, khususnya secara finansial. Platform untuk menata uang tidak hanya melulu setor tunai, mengisi blanko yang dengan kotak-kotak isian seperempat icon aplikasi HP, yang musti antri dan berbaris rapi di sela-sela jam kerja. Artinya, cara memperlakukan uang pun berbeda. Tidak melulu, untuk dibelanjakan. Malahan, sudah muncul teori-teori pembagian dalam penggunaan. Sekian persen untuk pendidikan. Sekian untuk belanja habis-habisan. Sebagian untuk jalan-jalan. Bahkan, sekian persen untuk diputar demi mendapat cuan. Perubahan cara pandang terhadap uang pun pada akhirnya mengubah cara berlaku terhadap uang, dan dengan uang.
Dalam salah satu buku terlaris tahun 2021, The Psychology of Money, sang penulis, Morgan Housel mengubah paradigma soal relasi antara manusia dan uang. Uang yang punya beberapa jenis nilai berpotensi untuk selalu menjadi rujukan dan alasan. Tidak memiliki uang menjadi alasan untuk tidak hadir ke kondangan (mantan). Dimungkinkannya kartu kredit dan cicilian menjadi alasan untuk membeli barang-barang bakal modal jadian atau tiket pesawat ke pulau impian. Perlunya uang untuk membayar iuran ini dan itu menjadi alasan untuk mengurungkan niat membeli beberapa perabotan. Di sinilah, muncul perintah “Waspada!” Bisa jadi, hidupmu dikendalikan oleh keberadaan uang.
Morgan mengangkat banyak kisah yang mencerminkan relasi antara manusia dan uang itu soal kejiwaan. Bahwasanya, ada yang butuh memiliki suatu itu bukan soal barangnya, melainkan soal ‘pengalaman memiliki’. Bahwasanya, ada yang menginvestasikan sekian persen untuk investasi di pasar saham pun bukan soal banyaknya uang yang akan dimiliki di hari nanti. Namun, soal kepastian masa depan, kestablian, dan kenyamanan.
Di sinilah, ada pergeseran pandangan. Saat kita bisa melihat sisi psikologis dari relasi antara kita dan uang, kita cenderung lebih mampu mengendalikan uang, alih-alih dikendalikan uang. Sebab, hanya kita yang paling paham apa yang kita butuhkan. Hanya kita yang paham apa yang paling membuat kita nyaman, baik kini, nanti, dan sampai seterusnya. Di sinilah, kita baru bisa berbincang tentang literasi finansial. Rekan-rekan Periplusetiawati dan setiawan yang sama-sama butuh insight soal literasi finansial, mbak Anggie Marthin punya pandangan yang sangat kekinian dan relevan yang disarikan dari pengalamannya membaca The Psychology of Money. Kamu tinggal tekan tombol-tombol yang sudah Perimin sediakan di bawah ini.