Four Thousand Weeks: Sisi Gelap Produktivitas

0
Share
Four Thousand Weeks Sisi Gelap Produktivitas

Kesadaran akan kehidupan manusia yang begitu pendek sebenarnya sudah menjadi keresahan sejak manusia mampu berpikir. Keresahan ini pernah diangkat oleh seorang filsuf Yunani Kuno, Seneca (4 SM—65 M). Dia menganggap bahwa kehidupan manusia yang begitu pendek adalah masalah mendasar. Seneca mengingatkan kepada kita bahwa sumber daya terpenting dalam kehidupan manusia adalah waktu. Waktu merupakan sumber daya yang tidak bisa diperbaharui lagi. Sekali kita memakai waktu, ia akan habis dan tak tergantikan.

Keresahan arkaik yang dirasakan Seneca ini rupanya sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh Oliver Burkeman. Dalam penelitian yang dituangkannya dalam Four Thousand Weeks (2021), Burkeman menilai rata-rata manusia hanya memiliki umur tujuh puluh hingga delapan puluh tahun. Jika dikonversi ke dalam minggu, kita hanya memiliki waktu empat ribu minggu sepanjang hayat.

Kenyataan bahwa kita memiliki waktu yang singkat membuat kita mencari cara dan belajar tentang manajemen waktu yang baik ataupun efektif. Namun, tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya. Berbagai saran dan kiat untuk mengatur waktu demi meraih produktivitas kadang kala membuat kualitas hidup kita semakin buruk. Kita menjadi semakin terburu waktu. Dan, dengan demikian, mencapai kepenuhan makna dalam hidup terasa semakin jauh.

Kebenaran tentang waktu

Masalah yang kita alami tentang waktu sebenarnya bukan soal keterbatasan waktu. Masalah itu sepenuhnya berada pada pola pikir kita soal waktu. Para petani Inggris di Abad Pertengahan, misalnya, tidak merasa membuang waktu ketika mereka meninggalkan pekerjaan mengirik gandum untuk sejenak menonton sabung ayam. Pemikiran ini membuat kita merasa bersalah ketika waktu berjalan begitu saja saat kita tidak mengisinya dengan aktivitas yang berharga. Sebelum sistem jam ditemukan, para pekerja bangun di pagi hari saat matahari terbit dan tidur saat matahari terbenam. Namun, semejak sistem jam ditemukan, kita mulai berpikir waktu sebagai sesuatu yang bekerja dari luar.

Para peternak akan memerah sapi hanya ketika mereka membutuhkan susu sapi. Begitu juga para petani. Mereka memanen tanaman hanya ketika waktunya panen. Tidak ada tekanan untuk mengerjakan semuanya dalam kurun waktu tertentu. Ini karena pekerjaan petani tidak terbatas, mereka akan mengerjakan pekerjaan sejauh yang mereka perlu. Para ahli menyebut cara hidup mereka sebagai “orientasi pada pekerjaan” (task orientation). Hal ini karena ritme kehidupan mereka bergerak secara alamiah mengikuti adanya tugas atau pekerjaan itu sendiri, daripada menentukan sendiri satu tugas ke tugas lainnya berdasarkan sebuah linimasa yang abstrak.

Saat ini, pemahaman kita terhadap waktu hanya terbatas pada jam. Kondisi ini membuat waktu terasa lebih terbatas dan begitu berharga. Kita hidup dalam peralihan detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari, begitu seterusnya. Dari kondisi ini, muncullah rasa khawatir kita akan waktu yang terbatas. Menurut Burkeman, kekhawatiran ini berasal dari fakta bahwa setiap momen keberadaan kita dipenuhi batasan atau perasaan bahwa kita mungkin membuang-buang waktu.

Atas kesadaran itu, banyak dari kita yang berjuang mati-matian untuk mengoptimalkan waktu yang dimiliki. Namun, semakin kita berjuang untuk mengendalikan waktu agar sesuai dengan agenda kita, sejatinya semakin jauh waktu dari kuasa kita. Menurut Burkeman, inilah kenyataan paling pahit tentang waktu yang bisa membuat kita sinting.

Produktivitas

Pada 1930 J. M. Keynes dalam pidato yang berjudul “Economic Possibilities for Our Grandchildren” berpendapat bahwa di masa depan, karena pertumbuhan kekayaan dan teknologi, manusia tidak perlu bekerja lebih dari 15 jam dalam seminggu. Namun, sayang sekali, pendapat J. M Keynes tidak pernah menjadi kenyataan. Ini karena sifat dasar manusia yang tidak pernah merasa puas, sehingga membuat kita selalu menginginkan sesuatu hal secara lebih. Ketika terjadi ledakan ekonomi (economic boom), orang-orang malah meningkatkan standar kebahagiaan dan standar gaya hidup. Ketika memperoleh uang lebih banyak, mereka ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Akibatnya, membuat mereka harus bekerja semakin keras atas nama produktifitas.

Dalam dunia kerja, kita cenderung terobsesi dengan daftar tugas di kotak masuk surel yang tidak bisa membuat kita fokus sepanjang hari. Dari sini, kita lalu mencari cara dan belajar bagaimana cara mengatur waktu dengan baik. Alih-alih bisa mengontrol waktu, yang terjadi justru sebaliknya. Saran dan kiat yang kita pelajari malah membuat hidup kita semakin buruk. Hidup kita menjadi semakin terburu-buru dan membuat kita semakin jauh untuk mendapatkan hidup yang bermakna.

Kesadaran bahwa waktu begitu pendek, membuat manusia memiliki fokus lebih pada manajemen waktu. Sampai sekarang, bisa kita buktikan dengan begitu banyaknya buku dan konten-konten di berbagai media yang mengangkat tema produktifitas atau efisiensi dalam menggunakan waktu. Namun, gagasan tentang manajemen waktu atau yang kita kenal dengan produktifitas adalah sesuatu yang sangat sempit. Sejauh ini, produktifitas hanya berfokus pada penyelesaian tugas kerja semata atau perancangan suatu rutinitas.

Menyerah pada harapan

Manusi rata-rata memiliki umur yang relatif singkat. Namun, ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk kita putus asa atau hidup dalam kepanikan serta kecemasan. Sebaliknya, ini adalah alasan mengapa kita harus bersyukur bahwa keterbatasan ini membuat kita dapat mengakhiri sesuatu yang terasa tidak akan pernah berakhir.

Bersikap merangkul keterbatasan dapat diartikan sebagai sikap menyerah akan harapan. Misalnya, menyerah akan harapan bahwa kita memiliki kendali sepenuhnya di dunia. Sejatinya, dunia benar-benar bergerak di luar kendali kita. Dan kenyataannya, di peradaban ini kita tidak akan pernah mengalami kehidupan yang penuh prestasi atau keamanan. Alih-alih mendapatkannya, kita malah menghabiskan waktu untuk belajar berbagai cara untuk meraihnya.

Four Thousand Weeks (2021) adalah sebuah argumen tentang potensi menyerah pada harapan. Buku ini mengajak kita untuk menerima bahwa dunia adalah lautan ketidakpastian dengan tragedi sebagai dasarnya. Lebih dari sekadar saran dan kiat agar lebih produktif, buku ini mengajak kita jauh ke dalam diri untuk memahami—dan kemudian membuat—keputusan yang tepat di hadapan sang kala. Dengan begitu, kita tidak perlu memaksakan diri untuk berusaha mewujudkan harapan yang tidak mungkin kita dapatkan.

Jika Bibliobesties hendak membaca ulasan buku lainnya, temukan di sini!