Membaca Haruki Murakami Manga Stories 1 (Bagian 4)

0
Share

Setelah minggu lalu mengulas buku Haruki Murakami Manga Stories 1 bagian ketiga, kali ini perimin akan mengulas bagian keempat dari buku ini: “The Seventh Man”. Penasaran, seperti apa keseruan “Bithday Girl?” Yuk, simak lebih dalam.

Kisah pria ketujuh

Persahabatan, untuk sebagian orang, lebih bernilai daripada harta kekayaan. Dan, sebagaimana kebanyakan orang, kehilangan persahabatan sering kali menakutkan, tanpa pernah benar-benar kita sadari. Barangkali, itu pula yang dirasakan oleh pria ketujuh yang hadir dalam pertemuan itu. Pria itu berumur sekitar lima puluhan. Perawakannya tinggi dan kurus, dengan kumis bertengger di bibirnya. Ia tak pernah menyebut nama atau pekerjaan dalam pertemuan itu. Ia adalah orang terakhir yang mengungkapkan cerita malam itu.

“Ombak besar hampir saja menyapuku. […] Rasanya, itu ombak paling besar yang pernah kulihat. Ombak yang ganjil. Sungguh ombak berukuran raksasa,” demikian si pria ketujuh mengawali kisahnya.

Kisah pria ketujuh lalu berlanjut. Suatu hari pada bulan September saat berumur sepuluh tahun, tempat tinggal pria ketujuh dilanda badai topan. Ia tinggal di pinggir pantai di sebuah tempat yang tidak memiliki kekhasan tertentu, sampai-sampai jika menyebut namanya, tidak mengundang asosiasi apa pun di benak orang. Karena ayah si pria ketujuh adalah seorang dokter, masa kecilnya bisa dibilang lumayan.

Si pria ketujuh lalu juga bercerita tentang hubungan persahabatan yang dialaminya saat itu. Ia tidak dekat dengan kakak lelakinya yang enam tahun lebih tua. Kepribadian kedua saudara sekandung itu pun bertolak belakang. Si pria ketujuh malah lebih dekat dengan adik kelas yang dinilainya sebagai anak lelaki yang baik dan tulus. Ia memanggilnya K. K mengalami gangguan bicara, sehingga anak-anak lain menganggapnya terbelakang. Tentu saja, gangguan bicara membuat K sedikit keteteran dalam pelajaran di sekolah. Namun, dalam pelajaran seni rupa, K sungguh berbakat. Si pria ketujuh bahkan selalu membela K jika ada anak lain yang merisaknya.

K paling gemar menggambar pemandangan laut. Guru yang mengajar kesenian pun mengakui bakat yang dimiliki K. Bahkan, bisa dibilang bahwa K adalah jenius alami dalam bidang seni rupa. Sayang sekali, sebuah kejadian memilukan membuat K tidak bisa mengembangkan kejeniusannya dalam melukis. Dan, si pria ketujuh menyalahkan dirinya secara mendalam atas kejadian yang seharusnya tidak menimpa K tersebut.

Karya pamungkas dalam Haruki Murakami Manga Stories 1

“The Seventh Man” adalah karya pemungkas dalam Haruki Murakami Manga Stories (2023) yang diadaptasi oleh Jean-Christophe Deveney dan ilustrasinya dikerjakan oleh PMGL. Dalam “The Seventh Man,” kita akan berhadapan dengan seorang lelaki paruh baya yang selama bertahun-tahun berhasil dengan gemilang menghukum dirinya sendiri atas sebuah peristiwa tragis yang sebenarnya bukan melulu disebabkan olehnya. Semenjak kejadian tragis tersebut, si pria ketujuh tak pernah berhenti dirundung mimpi buruk.

“Mungkin, inilah alasan kenapa aku tidak pernah menikah. Aku tidak ingin membangunkan seseorang yang tidur di sisiku dengan teriakan tengah malam. […] Kengerian ini sudah merasuk ke sumsum tulang. Aku tidak akan pernah bisa membiarkan orang lain ambil bagian dalam kengerian itu.”

Demikianlah penderitaan yang ditanggung si pria ketujuh karena kejadian yang dialaminya sekitar empat puluh tahun yang lalu. Namun, dalam kisah ini, Murakami tidak sekejam itu. Ia tetap memberi jalan keluar dalam kehidupan si pria ketujuh. Mungkin saja—ini murni spekulasi—karena angka tujuh adalah angka keberuntungan dalam kepercayaan masyarakat Jepang.

“The Seventh Man” ditutup dengan sebuah kesimpulan yang masuk akal. Sesuatu yang rasanya hampir mustahil kita temukan dalam karya-karya Murakami. Entah apa yang sedang merasuki jiwa dan pikiran Murakami saat menulis “The Seventh Man.” Biarlah itu jadi misteri, karena penutup kisah ini begitu masuk akal. Di bibir si pria ketujuh yang dihiasi kumis itu, Murakami menyematkan harapan dan kesempatan untuk menghadapi ketakukan.

Rasa takut yang tidak pernah hilang, bahkan bisa mengambil beragam rupa di hadapan kita. Rasanya, pemberani bukanlah mereka yang tidak memiliki rasa takut. Yang membedakan para pemberani dan para pengecut hanyalah bagaimana para pemberani bisa “mengabaikan ketakutan, memejamkan mata. Untuk kemudian mengambil hal paling berharga dan menyerahkannya pada sesuatu ‘yang lain’.” Para pemberani berani mengorbankan diri, egonya, sementara para pengecut tidak.