Menumbuhkan Budaya Membaca Sedari Dini

0
Share
image: Periplus Buku Bahasa Inggris Sekolah

Seorang teman menghadiahkan sebuah buku kecil kepada saya. Judulnya The Little Prince, karya Antoine de Saint-Exupéry. Dia bilang begini, “Nitip buku ini buat anakmu, ya.” Padahal dia tahu kalau anak kami belum lahir. Usianya juga baru sekitar 5-6 bulan dalam kandungan ibunya.

Konon, selain dengan menyetelkan musik klasik, membacakan buku juga merupakan exposure yang bagus untuk bayi dalam kandungan. Maka isenglah saya. Setiap malam saya membacakan satu bagian kecil dari buku tadi untuk Si Dede.

Hasilnya? Saya kurang faham kaitan ilmiahnya, nyatanya sejak kecil anak kami selalu senang dibacakan buku menjelang tidur. Kadang satu atau dua buku. Untuk buku-buku yang dia sukai, kami bisa diminta membacakannya beberapa malam (bahkan minggu!) berturut-turut.

Bahkan, beberapa bulan yang lalu dia sedang senang dengan kamus berbahasa Inggris: Collins Junior Illustrated Dictionary. Secara random dia akan sebutkan satu entri (entry) dari kamus tersebut. Lalu saya diminta membacakan arti kata tersebut, dilanjutkan dengan entri-entri lain di halaman tersebut … sampai dia tertidur! Aneh tapi nyata, kamus bisa membantunya tidur pulas.

Tingkat literasi kita

Berbicara mengenai kebiasaan membaca berarti berbicara mengenai literasi. Kita patut bersyukur bahwa menurut data UNESCO (per September 2021), lebih dari 95% orang Indonesia dewasa sudah (dianggap) bisa baca-tulis. Kalau penduduk di Indonesia ada sekitar 272,23 Juta; maka kira-kira terdapat 13,6 Juta orang yang masih butuh pendampingan khusus dalam hal baca-tulis. Jumlah itu menyumbang sekitar 2% dari 800 juta orang dewasa di dunia yang ditengarai memiliki kapasitas literasi yang sangat rendah atau bahkan mendekati nol.

Kita tahu, literasi ibarat ‘batu penjuru’ yang sangat menentukan kualitas hidup seseorang. Dalam sebuah penelitian di USA, mereka yang memiliki literasi yang rendah memiliki kemungkinan 16,5X lebih besar menjadi kelompok masyarakat yang harus selalu ditopang oleh subsidi dari Negara.

Kita tidak perlu menyalahkan siapa pun. Toh dalam 2 abad terakhir ini perkembangan literasi (setidaknya dari sisi presentase) tampak sangat pesat. Masih menurut UNESCO, kalau pada era 1800-an ada 87,95% penduduk dunia yang buta-aksara dan 12,05% yang bisa baca tulis; maka pada tahun 2016 angka tersebut sudah berbalik. Sekarang, lebih dari 86% penduduk dunia sudah bisa baca-tulis.

Lingkungan sebagai salah satu faktor penentu

Nah, bagaimana agar literasi (dalam arti baca-tulis) tersebut semakin berkembang? Lain kata, bagaimana agar keingin-tahuan, kecakapan mencari informasi yang valid serta mengolahnya, dan kemampuan memahami sesuatu dalam sebuah konteks yang lebih utuh bisa lebih dikembangkan?

Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kebiasaan Anak, termasuk dalam hal kecintaan membaca dan/atau belajar. Ibarat biji tanaman di kebun, bila tanahnya gembur dan subur, sinar matahari kecukupan, siraman air juga mencukupi, pun aman dari gangguan hama dan gulma; hampir pasti dia akan bertumbuh subur. 

Artinya, kalau mau meningkatkan kualitas literasi, maka kualitas lingkungan juga perlu ditingkatkan.

Beberapa kali saya mendengar complaint dari beberapa orangtua bahwa anak mereka lebih suka game daripada membaca buku. Saya bertanya apakah ada buku atau majalah yang anak-anak mereka sukai di rumah. Tak satu pun yang spontan menjawab dengan yakin bahwa ada buku bacaan atau majalah berkualitas di rumah. Maka ada kemungkinan bahwa buku masih merupakan salah suatu “benda asing” di lingkungan rumah mereka.

Bagaimana Orangtua mengharapkan anak-anak mereka menjadi pembaca yang baik kalau tidak tersedia bacaan yang menarik di rumah buat mereka, pun mereka tidak pernah melihat Orangtua mereka membaca?

Maka lingkungan yang ramah dan kondusif untuk budaya-membaca kiranya perlu dimulai dan dikembangkan. Yang seperti apa itu yang ramah dan kondusif? Umpama saja:

  • Buku yang mudah diperoleh (accessible). Ini bisa berarti harganya yang cukup terjangkau maupun ‘tempat’ yang mudah ditemukan untuk memerolehnya –entah bisa dengan dibeli secara online di market-place, atau toko buku terdekat, entah tersedia di banyak perpustakaan.  
  • Budaya membaca perlu dibiasakan. Di banyak sekolah ada alokasi waktu khusus buat membaca. Ada sekolah yang menyebutnya sebagai sessi DEAR (Drop Everything And Read) dan dijadualkan secara khusus. Dulu sempat populer Jam Belajar Masyarakat di lingkungan RT/RW. Nah, tidak ada salahnya Jam Masyarakat Membaca digalakkan sampai di tingkat RT.
  • Ruang-baca bagi masyarakat/komunitas hendaknya menjadi bagian dari fasos/fasum (fasilitas sosial/fasilitas umum) yang diwajibkan untuk setiap Pengembang yang membuka kompleks perumahan baru.
  • Dukungan positip untuk Komunitas-komunitas Baca yang dimotori pegiat literasi di lingkungan masing-masing.

Dengan demikian semoga membaca bukan saja menjadi kebiasaan, tetapi menjadi gaya-hidup yang dihayati dengan gembira oleh semakin banyak anggota masyarakat. Ada banyak benefit diperoleh dari membaca buku/majalah bermutu.

Webinar Collins

Banyak orang memiliki keprihatinan mengenai budaya membaca (baca: kualitas literasi). William Collins adalah seorang Pendidik ketika mengawali penerbitan buku pada tahun 1819. Tingkat literasi dunia masih di bawah 15% kala itu. Maka banyak penerbitan Collins erat berkaitan dengan dunia pendidikan, dengan literasi.

Charlotte Raby telah bekerja di Pendidikan Dasar selama lebih dari 20 tahun sebagai guru. Dia juga menjadi konsultan, pembicara dan penulis. Charlote sangat percaya pada kekuatan transformatif dari budaya membaca. Dengan semangat Collins yang sama, melalui webinar kali ini Charlotte mengajak kita mengulik beberapa hal terkait bantuan untuk anak belajar membaca:

  • Apa saja manfaat dari mengajarkan semua aspek membaca secara eksplisit?
  • Apa landasan ilmiah yang mendasari pengajaran membaca maupun mengeja?
  • Secara bagaimana pendekatan phonics yang istematis merupakan cara paling paling tepat untuk mengajarkan membaca kepada anak-anak?
  • Apa saja pendekatan pengajaran phonics yang sistematis tersebut?
  • Jenis buku yang seperti apa yang akan membantu anak-anak untuk menjadi pembaca seumur hidup?

Webinar akan dilaksanakan pada

Hari Rabu, 26 Januari 2021

Pukul 17:00 WIB

Melestarikan ritual membaca

Saya beryukur bahwa setidaknya direktori nomor telefon, atau yang biasa dikenal sebagai Buku Kuning (Yellow Pages), tidak dicetak lagi. Rasanya koq seram membayangkan bahwa anak kami minta dibacakan satu per satu nama beserta nomor telefon dalam buku seberat 1,5 kg itu sampai dia tertidur.

Ritual membaca buku sebelum tidur masih berlangsung sampai sekarang, meski anak kami sudah Kelas 2 SD. Pilihan bacaannya lebih variatif. Bahkan dia punya rak sendiri untuk buku/majalah koleksinya. Ada kalanya, terutama di akhir pekan, kami bertiga sepakat mengadakan reading-time bersama. No gadget/smartphone! Kami masing-masing membaca buku di ruang yang sama sembari mendengar relaxing music yang lembut sebagai latar-belakang. Kami menikmatinya.

Selamat membaca (apa saja)!