Perempuan Penulis Asia “Bicara” Lewat Karya

0
Share
Jung Chang - Perempuan Penulis Asia

Menjadi perempuan adalah menjadi seorang individu. Kira-kira, ini pula pesan yang ingin disampaikan oleh Jung Chang. Perempuan penulis kelahiran Tiongkok yang sejak akhir paruh kedua dekade tahun 1970-an tinggal di tanah Britania ini terkenal berkat karya fenomenalnya, Wild Swans.

Buku yang terbit pada 1991 ini berkisah tentang tiga wanita: nenek, ibu, dan dirinya sendiri. Di dalamnya, kita dapat menemukan bagaimana kekecewaan Jung terhadap pemerintahan Mao Tse Dong yang memperlakukan kaum perempuan secara semena-mena dalam bidang politik.

Melalui biografi tiga generasi perempuan dalam kehidupannya, Jung hendak berkisah bagaimana kehidupan tiga orang perempuan dari generasi yang berbeda. Nenek Jung lahir pada awal abad ke-20 di Tiongkok yang ditandai oleh tradisi mengikat kaki yang dikenal dengan “kaki lotus”. Masa ini menggambarkan situasi sosial-politik masa sebelum Revolusi Komunis. Sementara itu, generasi kedua, ibu Jung Chang, lahir pada 1931. Di sini, pergulatan nasib perempuan generasi ini bergulir pada rezim Komunis yang baru naik merengkuh takhta politik. Ia adalah pegawai pemerintahan dan istri seorang pejabat Komunis.

Sebagai individu, Jung hidup sebagai perempuan Tiongkok yang mengenyam pendidikan era 1960-an. Begitu banyak pergolakan sosial-politik baik di level global maupun dalam negeri Tiongkok. Pergolakan politik pada akhirnya menyudutkan keluarganya dan membuatnya harus menerima “pendidikan ulang.” Hidup dalam rezim Revolusi Kebudayaan, Jung kemudian pindah ke Inggris dan melanjutkan hidup sebagai seorang penulis.

Perempuan dalam karya Jung tampil bukan sebagai sekadar “residu” dari suatu rezim sosial-politik. Ia, kaum perempuan, adalah sepenuhnya individu, meskipun bergulat dengan zaman dan kondisi masyarakatnya. Pilihan hidup Jung sebagai seorang penulis menunjukkan keberanian kaum perempuan untuk menegaskan diri dan memilih jalan hidup sendiri. Jung sendiri mengakui bahwa menjadi seorang penulis adalah memilih sebuah pekerjaan yang berbahaya. Dari pengalamannya, para penulis Tiongkok pada masa rezim Revolusi Kebudayaan adalah kaum yang terkutuk.

Benturan kultural rasanya tidak akan dapat dikesampingkan dalam kehidupan para perempuan penulis berdarah Asia. Sebagai bagian dari masyarakat Asia diaspora, mereka tentu perlu menyesuaikan diri dengan budaya setempat tanpa menghilangkan akar identitas mereka. Dalam risalah penelitiannya, Lisa Lau mencatat bahwa karya sastra penulis Asia diaspora tidak hanya berkutat tentang kehidupan kaum diaspora. Para penulis juga berkontribusi pada pembentukan identitas komunitas diasporanya. Di dalam karya-karya penulis diaspora, menurut Lau, ada sebuah imajinasi akan akar budaya yang lalu dicangkokkan kepada budaya tempat si penulis tinggal. (Lau, 2005; 242—3)

Hafsah Faizal - Perempuan Penulis Asia

Tentang hal ini, perlulah kita menengok pada seorang perempuan penulis kelahiran Florida berdarah campuran Sri Lanka-Arab, Hafsah Faizal. Kedua orang tua Hafsah adalah imigran Muslim dari Sri Lanka. Karyanya yang paling moncer, We Hunt the Flame terinspirasi dari kisah-kisah Arab kuno. Dalam sebuah wawancara dengan publishersweekly.com, Hafsah mengungkapkan bahwa ia sengaja menciptakan dunia baru dalam karyanya dan menggambarkannya melalui lingkungan budaya Timur Tengah.

Hafsah ingin bicara bahwa budaya Timur Tengah adalah “rumah” bagi beragam bangsa, bukan tempat terpencil eksotis sebagaimana gambaran media dan karya-karya fiksi. Besar harapan Hafsah agar dunia Barat melihat bahwa situasi Timur Tengah tidak jauh berbeda dengan dunia mereka.

Bicara-bicara apa yang terjadi dengan perempuan penulis berdarah Asia dalam beberapa paragraf di atas, rasanya sedikit banyak nyambung dengan kampanye International Women’s Day 2022, #BreakTheBias. Melalui kampanye ini, IWD mengajak agar dunia bisa menjadi dunia yang lebih setara, terutama dalam hal ketimpangan gender. Meskipun demikian, kampanye ini juga bicara soal dunia yang bebas dari bias, stereotipe, dan diskriminasi. Kampanye ini mempromosikan dunia yang lebih beragam, setara, dan inklusif.

Melalui karya sastra, para perempuan penulis Asia mempromosikan pengalaman dan gagasan-gagasan mereka. Harapannya, melalui karya sastra itu, dunia bisa menjadi lebih inklusif. Membuat dunia mendengarkan suara dan keresahan para perempuan penulis menjadi kampanye serius bagi asianwomenwriters.org. Organisasi nirlaba ini menyediakan pula pelatihan menulis bagi perempuan (berdarah) Asia yang berniat menjadi seorang penulis. Di sana, juga tersedia para mentor yang merupakan para professional perempuan yang berkecimpung di dunia penulisan dan penerbitan. Akhirnya, harapan baik bahwa suara perempuan dalam mempromosikan dunia yang lebih baik semakin dapat terwujud selekasnya.

Pages: 1 2